FILSAFAT AL-KINDI
A. Pendahuluan
Al-Kindi adalah filosof Islam pertama yang berupaya mempertemukan ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Sebagai seorang filosof, al-Kindi lebih mengandalkan kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama, diakui keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karena itu, menurut al-Kindi, diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Dengan demikian, al-Kindi tidak sependapat dengan para filosof Yunani dalam hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Misalnya, tentang kejadian alam berasal dari ciptaan Tuhan yang semula tidak ada. Al-kindipun berbeda dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Oleh karena itu, al-Kindi bukan termasuk filosof yang dikritik al-Ghazali dalam kitabnya: Tahafut al-Falasifah (Serangan terhadap para filosof).
B. Definisi Filsafat al-Kindi
Definisi filsafat menurut al-Kindi adalah sebagai berikut:
1. Filsafat terdiri dari gabungan dua kata: philo (sahabat) dan Sophia (kebijakan). Filsafat adalah cinta kebijaksanaan. Definisi ini berdasarkan etimologi Yunani.
2. Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi fungsional.
3. Filsafat adalah latihan untuk mati. Yaitu bercerainya jiwa dari badan, mematikan hawa nafsu untuk mencapai keutamaan. Definisi ini merupakan definisi fungsional.
4. Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini menitikberatkan pada fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya sendiri.
5. Filsafat adalah mengetahui tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh, baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan pada sudut pandang materinya.
Menurut al-Kindi, filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama yakni kausa dari semua kebenaran. Filosuf yang sejati adalah filosuf yang memiliki pengetahuan tentang yang utama. Pengetahuan tentang kausa (penyebab) lebih utama daripada pengetahuan tentang akibat. Orang akan mengetahui realitas secara sempurna jika mengetahui pula yang menjadi kausanya (penyebabnya).
C. Filsafat al-Kindi
1. Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia. Pertama, pengetahuan indrawi. Kedua, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal atau rasional. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi (iluminasi).
a. Pengetahuan indrawi.
Pengetahuan indrawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap objek-objek material. Pengetahuan indrawi ini tidak memberi gambaran tentang hakikat suatu realitas. Pengetahuan indrawi selalu bersifat juz'iy (parsial). Pengetahuan indrawi sangat dekat pada pengindraannya, tetapi jauh dari gambaran tentang alam pada hakikatnya.
b. Pengetahuan rasional.
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal sifatnya universal, tidak parsial. Objek pengetahuan rasional ialah genus dan spesies, bukan individu. Orang mengamati manusia berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih, dan lain sebagainya. Semua ini akan menghasilkan pengetahuan indrawi. Tetapi jika orang mengamati manusia dan menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berfikir, maka pengetahuan tersebut diperoleh dengan akal atau rasional, dan telah mencakup semua individu manusia.
c. c. Pengetahuan isyraqi.
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan indrawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat sesuatu. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua jalan tersebut. Al-Kindi, sebagaimana filosuf isyraqi lainnya, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi (iluminasi). Yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah wahyu yang diperoleh para nabi yang berasal dari Tuhan.
Selanjutnya, al-Kindi mengatakan bahwa selain Nabi mungkin ada sebagian orang yang mampu memperoleh pengetahuan isyraqi meskipun derajatnya di bawah yang diperoleh para nabi yang berasal dari wahyu Tuhan. Hal ini mungkin terjadi pada orang-orang yang suci jiwanya.
2. Metafisika
a. Filsafat ketuhanan.
Pandangan al-Kindi tentang ketuhanan sangat sesuai dengan ajaran Islam. Bagi al-Kindi Allah adalah wujud yang sebenarnya. Allah akan selalu ada dan akan ada selama-lamanya. Allah adalah wujud yang sempurna, tidak didahului oleh yang lain. Dia tidak berakhir. Sedangkan wujud yang lain disebabkan adanya Allah.
Menurut al-Kindi, benda-benda yang ada di alam ini mempunyai dua hakikat: sebagai juz'i (parsial) yang disebut 'aniah. Dan hakikat sebagai kulli (universal) yang disebut mahiyah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.
Tujuan akhir dalam filsafat adalah untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan. Allah dalam filsafat al-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti 'aniah dan mahiah. Allah tidak 'aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari materi dan bentuk. Allah Tidak mahiah karena Allah tidak berupa genus atau spesies. Bagi al-Kindi, Allah adalah unik. Dia hanya satu dan tidak ada yang setara denganNya. Dialah yang benar pertama, dan yang benar tunggal. Selain dariNya semuanya mengandung arti banyak.
Untuk membuktikan adanya Allah, al-Kindi memajukan tiga argument. Pertama, baharunya alam. Kedua, keanekaragaman dalam wujud. Ketiga, kerapian alam.
Tentang dalil pertama, yakni baharunya alam, al-Kindi berangkat dari pertanyaan, "apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya?". Menurut al-Kindi, tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu, dan yang mempunyai permulaan pasti berakhir. Oleh karena itu, setiap benda ada yang menyebabkan wujudnya dan mustahil adanya benda tersebut menjadi penyebab wujudnya. Hal ini berarti alam semesta sifatnya baru, dan diciptakan oleh yang menciptakannya, yakni Allah.
Tentang dalil kedua, yakni keanekaragaman dalam wujud, al-Kindi menyatakan bahwa terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya. Sebagai penyebabnya, mustahil jika alam itu sendiri yang menyebabkannya. Jika alam yang menjadi sebab, maka akan terjadilah tasalsul (rangkaian) yang tidak akan ada habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi pada alam ini. Oleh karena itu, penyebabnya harus yang berada di luar alam itu sendiri, yakni zat yang Maha dahulu. Dialah Allah Yang Maha Esa.
Tentang dalil ketiga, yakni kerapian alam, al-Kindi menegaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tentu yang berada di luar alam. Ia tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena-fenomena yang ada di alam ini. Zat itu tiada lain adalah Allah SWT.
b. Filsafat alam.
Di dalam risalahnya yang berjudul al-Ibanat 'an al 'illat al-Fa'ilat al-Qaribat fi kawn wa al-Fasad, pendapat al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila terhimpun empat 'illat, yakni: materi benda, bentuk benda, pembuat benda, manfaat benda.
Tentang barunya alam, al-Kindi mengemukakan tiga argumen, yakni gerak, waktu, dan benda. Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda. Mustahil jika ada gerak tanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan pasti berakhir.
Pada sisi lain, benda mempunyai tiga dimensi: panjang, lebar, dan tinggi. Ketiga dimensi tersebut membuktikan bahwa benda tersusun. Dan setiap yang tersusun tidak dapat dinamakan kadim. Apabila zaman kadim ditelusuri ke belakang tentu saja tidak akan sampai pada akhirnya, karena ia tidak mampunyai awal. Begitu pula zaman yang tidak mempunyai awal pada masa lampau tentu tidak akan sampai pada masa sekarang. Oleh karena itu, zaman yang sampai pada masa sekarang ini bukan kadim, melainkan baru.
Dalam pandangannya tentang alam, al-Kindi menolak secara tegas terhadap pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta ini tak terbatas atau kadim. Pendapat al-Kindi tentang barunya alam sama dengan pendapat kaum theologi muslim dan berbeda dengan pandangan kaum filosof muslim yang datang sesudahnya yang menyatakan bahwa alam ini kadim. Telah dijelaskan juga bahwa Alquran hanya menginformasikan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah SWT. Akan tetapi, Alquran tidak menginformasikan secara detail tentang proses penciptaannya.
c. Filsafat Jiwa.
Jiwa merupakan unsur utama bagi manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia. Kaum filosof muslim memakai kata al-nafs (jiwa) terhadap apa yang diistilahkan Alquran sebagai al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi nafsu, nafas, dan roh.
Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam, menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi. Sementara itu, jisim (tubuh) mempunyai hawa nafsu dan amarah.
Argumen tentang perbedaan jiwa dengan badan, menurut al-Kindi, jiwa menentang keinginan badan. Apabila nafsu marah mandorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa yang melarang tentu tidak sama dengan badan sebagai yang dilarang.
Dalam hal ini, al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, yakni materi dan bentuk. Materi ialah badan. Bentuk ialah jiwa manusia. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan, dan begitu pula sebaliknya. Pendapat ini mengandung arti kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Namun pendapat al-Kindi dalam masalah ini lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident. Binasanya badan tidak membawa binasanya jiwa. Di sisi lain al-Kindi juga menolak pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
3. Etika
Di muka telah disebutkan beberapa definisi filsafat yang disajikan al-Kindi. Sebagai contoh: filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh akal manusia. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Filsafat sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah mematikan hawa nafsu. Mematikan hawa nafsu ialah jalan untuk memperoleh keutamaan.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tiada lain ialah budi pekerti yang terpuji. Selanjutnya keutamaan-keutamaan tersebut dibagi menjadi dua bagian:
a. Keutamaan-keutamaan manusia merupakan asas dalam jiwa, tetapi bukan asas yang negatif, melainkan asas yang positif yakni ilmu dan amal (pengetahuan dan perbuatan). Bagian ini terbagi pula menjadi tiga, yakni hikmah (kebijaksanaan), sajaah (keberanian), dan iffah (kesucian jiwa). Kebijaksanaan adalah keutamaan daya pikir. Kebijaksanaan dapat berupa kebijaksanaan teoritis dan praktis. Kebijaksanaan Teoritis ialah mengetahui sesuatu yang bersifat universal secara hakiki. Kebijaksanaan praktis ialah menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan. Keberanian merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa. Keberaniaan memandang ringan pada kematian untuk mencapai dan menolak sesuatu yang harus ditolak. Kesucian adalah memperoleh sesuatu yang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri dari yang tidak diperlukan untuk itu.
Keutamaan kejiwaan dari tiga macam tersebut merupakan benteng keutamaan yang pada umumnya menjadi batas pememisah antara keutamaan dan kenistaan. Dengan kata lain, tiga macam keutamaan itu merupakan induk dari keutamaan-keutamaan lainnya. Oleh karena itu, kelebihan dan kekurangan dari tiga macam keutamaan itu terhitung sebuah kenistaan. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa keutamaan ialah tengah-tengah antara dua ujung yang ekstrim, yakni melampaui batas dan kurang semestinya. Dan kenistaan adalah salah satu dari dua ujung itu, yakni melampaui batas dan kurang semestinya.
b. Keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dari tiga macam keutamaan tersebut.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa keutamaan-keutamaan manusia terdapat dalam sifat-sifat kejiwaan dan hasil dari sifat-sifat tersebut. Jika manusia hidup dengan memenuhi nilai-nilai keutamaan tersebut, niscaya hasilnya menjadi sebuah kebahagiaan dalam hidupnya.
D. Pemaduan Filsafat dan Agama al-Kindi
Al-Kindi merupakan orang Islam pertama yang mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara filsafat dan agama, atau antara akal dan wahyu. Menurut al-Kindi antara keduanya, yakni filsafat dan agama tidaklah bertentangan karena masing-masing darinya adalah ilmu tentang kebenaran, sedangkan kebenaran hanyalah satu. Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya, serta ajaran tentang cara memperoleh hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi dari hal-hal yang merugikan dan berbahaya. Hal tersebut selaras dengan konsep yang dibawa oleh para nabi tentang keesaan Allah dan perbuatan-perbuatan yang diridhaiNya. .
Tujuan ungkapan al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam. Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan bijaksana. Ia memulainya dengan membicarakan kebenaran. Hal itu sesuai dengan konsep agama bahwa agama mengajarkan manusia tentang kebenaran yang hakiki. Kemudian usaha berikutnya masuk pada persoalan pokok, yakni filsafat. Telah dijelaskan bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh para nabi, yakni kebijaksanaan. Oleh karena itu, sekalipun filsafat datang dari Yunani, bagi manusia, menurut al-Kindi, wajib mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, yakni wajib mencarinya.
Pemaduan antara filsafat dan agama, menurut al-Kindi didasarkan pada tiga alasan. Pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan pada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, baik secara logika atau yang lain, diperintahkan dalam agama.
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada kaum yang tidak senang terhadap fisafat dan filosof. Jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu, maka konsekuensinya mereka harus memberikan argumen yang jelas. Usaha pemberian argumen tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat. Untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika, mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya, bahwa filsafat harus dimiliki dan dipelajari karena berfilsafat merupakan kebutuhan manusia dan tidak dilarang dalam agama.
E. Kesimpulan
Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Sebagai seorang filosof, al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama, diakui keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metefisis. Oleh karena itu, menurut al-Kindi, diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan.
Pemikiran filsafat al-Kindi merupakan pemikiran awal dan sebagai pembuka jalan bagi para filosof sesudahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan Mistikisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Al-Fakhury, Hana dan Khalil al-Jarr. 1963. Tarikh al-Filsafat al-'Arabiyyat, Beirut: Mu'assaat li al Thaba'at wa al Nasyr.
Mustofa, A. 2009. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Abu Riddah, Muhammad. 1950. Rasa'il al-Kindi al-Falsafiyyat, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.
Daudy, Ahmad. 1989. Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Yaziji, Kamal. 1963. al-Nushush al-Falsafiyyat al-Muyassarat, Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin.
Syarif, M.M. 1967. The History of Moslem Philosophy, New York: Dover Publications.
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 103.
Ibid., 104.
Ibid.
Ibid., 105-108.
Ibid., 108.
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 50.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistikisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 16.
Ibid., 16.
Zar, Filsafat..., 53.
Hana al-Fakhury, dan Khalil al-Jarr, Tarikh al-Filsafat al-'Arabiyyat, (Beirut: Mu'assaat li al Thaba'at wa al Nasyr, 1963), 368.
Muhammad Abu Riddah, Rasa'il al-Kindi al-Falsafiyyat, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1950). 142-143.
Fakhury, Tarikh al-Filsafat..., 369.
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), 16.
Zar, Filsafat..., 56.
QS. al-Isra [17]:85.
Kamal al-Yaziji, al-Nushush al-Falsafiyyat al-Muyassarat, (Beirut: Dar al-'Ilm li al-Malayin, 1963), 76.
M.M. Syarif, The History of Moslem Philosophy, (New York: Dover Publications, 1967), 432.
Zar, Filsafat..., 59.
Ibid.
A. Mustofa, Filsafat..., 110.
Zar, Filsafat..., 45.
Ibid.
M.M. Syarif, The History..., 425.
Zar, Filsafat..., 47.
A. Pendahuluan
Al-Kindi adalah filosof Islam pertama yang berupaya mempertemukan ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Sebagai seorang filosof, al-Kindi lebih mengandalkan kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama, diakui keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karena itu, menurut al-Kindi, diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan. Dengan demikian, al-Kindi tidak sependapat dengan para filosof Yunani dalam hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Misalnya, tentang kejadian alam berasal dari ciptaan Tuhan yang semula tidak ada. Al-kindipun berbeda dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Oleh karena itu, al-Kindi bukan termasuk filosof yang dikritik al-Ghazali dalam kitabnya: Tahafut al-Falasifah (Serangan terhadap para filosof).
B. Definisi Filsafat al-Kindi
Definisi filsafat menurut al-Kindi adalah sebagai berikut:
1. Filsafat terdiri dari gabungan dua kata: philo (sahabat) dan Sophia (kebijakan). Filsafat adalah cinta kebijaksanaan. Definisi ini berdasarkan etimologi Yunani.
2. Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi fungsional.
3. Filsafat adalah latihan untuk mati. Yaitu bercerainya jiwa dari badan, mematikan hawa nafsu untuk mencapai keutamaan. Definisi ini merupakan definisi fungsional.
4. Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini menitikberatkan pada fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya sendiri.
5. Filsafat adalah mengetahui tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh, baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan pada sudut pandang materinya.
Menurut al-Kindi, filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama yakni kausa dari semua kebenaran. Filosuf yang sejati adalah filosuf yang memiliki pengetahuan tentang yang utama. Pengetahuan tentang kausa (penyebab) lebih utama daripada pengetahuan tentang akibat. Orang akan mengetahui realitas secara sempurna jika mengetahui pula yang menjadi kausanya (penyebabnya).
C. Filsafat al-Kindi
1. Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia. Pertama, pengetahuan indrawi. Kedua, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal atau rasional. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi (iluminasi).
a. Pengetahuan indrawi.
Pengetahuan indrawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap objek-objek material. Pengetahuan indrawi ini tidak memberi gambaran tentang hakikat suatu realitas. Pengetahuan indrawi selalu bersifat juz'iy (parsial). Pengetahuan indrawi sangat dekat pada pengindraannya, tetapi jauh dari gambaran tentang alam pada hakikatnya.
b. Pengetahuan rasional.
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal sifatnya universal, tidak parsial. Objek pengetahuan rasional ialah genus dan spesies, bukan individu. Orang mengamati manusia berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih, dan lain sebagainya. Semua ini akan menghasilkan pengetahuan indrawi. Tetapi jika orang mengamati manusia dan menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berfikir, maka pengetahuan tersebut diperoleh dengan akal atau rasional, dan telah mencakup semua individu manusia.
c. c. Pengetahuan isyraqi.
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan indrawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat sesuatu. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua jalan tersebut. Al-Kindi, sebagaimana filosuf isyraqi lainnya, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi (iluminasi). Yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah wahyu yang diperoleh para nabi yang berasal dari Tuhan.
Selanjutnya, al-Kindi mengatakan bahwa selain Nabi mungkin ada sebagian orang yang mampu memperoleh pengetahuan isyraqi meskipun derajatnya di bawah yang diperoleh para nabi yang berasal dari wahyu Tuhan. Hal ini mungkin terjadi pada orang-orang yang suci jiwanya.
2. Metafisika
a. Filsafat ketuhanan.
Pandangan al-Kindi tentang ketuhanan sangat sesuai dengan ajaran Islam. Bagi al-Kindi Allah adalah wujud yang sebenarnya. Allah akan selalu ada dan akan ada selama-lamanya. Allah adalah wujud yang sempurna, tidak didahului oleh yang lain. Dia tidak berakhir. Sedangkan wujud yang lain disebabkan adanya Allah.
Menurut al-Kindi, benda-benda yang ada di alam ini mempunyai dua hakikat: sebagai juz'i (parsial) yang disebut 'aniah. Dan hakikat sebagai kulli (universal) yang disebut mahiyah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.
Tujuan akhir dalam filsafat adalah untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan. Allah dalam filsafat al-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti 'aniah dan mahiah. Allah tidak 'aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari materi dan bentuk. Allah Tidak mahiah karena Allah tidak berupa genus atau spesies. Bagi al-Kindi, Allah adalah unik. Dia hanya satu dan tidak ada yang setara denganNya. Dialah yang benar pertama, dan yang benar tunggal. Selain dariNya semuanya mengandung arti banyak.
Untuk membuktikan adanya Allah, al-Kindi memajukan tiga argument. Pertama, baharunya alam. Kedua, keanekaragaman dalam wujud. Ketiga, kerapian alam.
Tentang dalil pertama, yakni baharunya alam, al-Kindi berangkat dari pertanyaan, "apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya?". Menurut al-Kindi, tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu, dan yang mempunyai permulaan pasti berakhir. Oleh karena itu, setiap benda ada yang menyebabkan wujudnya dan mustahil adanya benda tersebut menjadi penyebab wujudnya. Hal ini berarti alam semesta sifatnya baru, dan diciptakan oleh yang menciptakannya, yakni Allah.
Tentang dalil kedua, yakni keanekaragaman dalam wujud, al-Kindi menyatakan bahwa terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya. Sebagai penyebabnya, mustahil jika alam itu sendiri yang menyebabkannya. Jika alam yang menjadi sebab, maka akan terjadilah tasalsul (rangkaian) yang tidak akan ada habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi pada alam ini. Oleh karena itu, penyebabnya harus yang berada di luar alam itu sendiri, yakni zat yang Maha dahulu. Dialah Allah Yang Maha Esa.
Tentang dalil ketiga, yakni kerapian alam, al-Kindi menegaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tentu yang berada di luar alam. Ia tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena-fenomena yang ada di alam ini. Zat itu tiada lain adalah Allah SWT.
b. Filsafat alam.
Di dalam risalahnya yang berjudul al-Ibanat 'an al 'illat al-Fa'ilat al-Qaribat fi kawn wa al-Fasad, pendapat al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila terhimpun empat 'illat, yakni: materi benda, bentuk benda, pembuat benda, manfaat benda.
Tentang barunya alam, al-Kindi mengemukakan tiga argumen, yakni gerak, waktu, dan benda. Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda. Mustahil jika ada gerak tanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan pasti berakhir.
Pada sisi lain, benda mempunyai tiga dimensi: panjang, lebar, dan tinggi. Ketiga dimensi tersebut membuktikan bahwa benda tersusun. Dan setiap yang tersusun tidak dapat dinamakan kadim. Apabila zaman kadim ditelusuri ke belakang tentu saja tidak akan sampai pada akhirnya, karena ia tidak mampunyai awal. Begitu pula zaman yang tidak mempunyai awal pada masa lampau tentu tidak akan sampai pada masa sekarang. Oleh karena itu, zaman yang sampai pada masa sekarang ini bukan kadim, melainkan baru.
Dalam pandangannya tentang alam, al-Kindi menolak secara tegas terhadap pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta ini tak terbatas atau kadim. Pendapat al-Kindi tentang barunya alam sama dengan pendapat kaum theologi muslim dan berbeda dengan pandangan kaum filosof muslim yang datang sesudahnya yang menyatakan bahwa alam ini kadim. Telah dijelaskan juga bahwa Alquran hanya menginformasikan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah SWT. Akan tetapi, Alquran tidak menginformasikan secara detail tentang proses penciptaannya.
c. Filsafat Jiwa.
Jiwa merupakan unsur utama bagi manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia. Kaum filosof muslim memakai kata al-nafs (jiwa) terhadap apa yang diistilahkan Alquran sebagai al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi nafsu, nafas, dan roh.
Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam, menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi. Sementara itu, jisim (tubuh) mempunyai hawa nafsu dan amarah.
Argumen tentang perbedaan jiwa dengan badan, menurut al-Kindi, jiwa menentang keinginan badan. Apabila nafsu marah mandorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa yang melarang tentu tidak sama dengan badan sebagai yang dilarang.
Dalam hal ini, al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, yakni materi dan bentuk. Materi ialah badan. Bentuk ialah jiwa manusia. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan, dan begitu pula sebaliknya. Pendapat ini mengandung arti kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Namun pendapat al-Kindi dalam masalah ini lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident. Binasanya badan tidak membawa binasanya jiwa. Di sisi lain al-Kindi juga menolak pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
3. Etika
Di muka telah disebutkan beberapa definisi filsafat yang disajikan al-Kindi. Sebagai contoh: filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh akal manusia. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Filsafat sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah mematikan hawa nafsu. Mematikan hawa nafsu ialah jalan untuk memperoleh keutamaan.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tiada lain ialah budi pekerti yang terpuji. Selanjutnya keutamaan-keutamaan tersebut dibagi menjadi dua bagian:
a. Keutamaan-keutamaan manusia merupakan asas dalam jiwa, tetapi bukan asas yang negatif, melainkan asas yang positif yakni ilmu dan amal (pengetahuan dan perbuatan). Bagian ini terbagi pula menjadi tiga, yakni hikmah (kebijaksanaan), sajaah (keberanian), dan iffah (kesucian jiwa). Kebijaksanaan adalah keutamaan daya pikir. Kebijaksanaan dapat berupa kebijaksanaan teoritis dan praktis. Kebijaksanaan Teoritis ialah mengetahui sesuatu yang bersifat universal secara hakiki. Kebijaksanaan praktis ialah menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan. Keberanian merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa. Keberaniaan memandang ringan pada kematian untuk mencapai dan menolak sesuatu yang harus ditolak. Kesucian adalah memperoleh sesuatu yang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri dari yang tidak diperlukan untuk itu.
Keutamaan kejiwaan dari tiga macam tersebut merupakan benteng keutamaan yang pada umumnya menjadi batas pememisah antara keutamaan dan kenistaan. Dengan kata lain, tiga macam keutamaan itu merupakan induk dari keutamaan-keutamaan lainnya. Oleh karena itu, kelebihan dan kekurangan dari tiga macam keutamaan itu terhitung sebuah kenistaan. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa keutamaan ialah tengah-tengah antara dua ujung yang ekstrim, yakni melampaui batas dan kurang semestinya. Dan kenistaan adalah salah satu dari dua ujung itu, yakni melampaui batas dan kurang semestinya.
b. Keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dari tiga macam keutamaan tersebut.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa keutamaan-keutamaan manusia terdapat dalam sifat-sifat kejiwaan dan hasil dari sifat-sifat tersebut. Jika manusia hidup dengan memenuhi nilai-nilai keutamaan tersebut, niscaya hasilnya menjadi sebuah kebahagiaan dalam hidupnya.
D. Pemaduan Filsafat dan Agama al-Kindi
Al-Kindi merupakan orang Islam pertama yang mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara filsafat dan agama, atau antara akal dan wahyu. Menurut al-Kindi antara keduanya, yakni filsafat dan agama tidaklah bertentangan karena masing-masing darinya adalah ilmu tentang kebenaran, sedangkan kebenaran hanyalah satu. Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya, serta ajaran tentang cara memperoleh hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi dari hal-hal yang merugikan dan berbahaya. Hal tersebut selaras dengan konsep yang dibawa oleh para nabi tentang keesaan Allah dan perbuatan-perbuatan yang diridhaiNya. .
Tujuan ungkapan al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam. Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan bijaksana. Ia memulainya dengan membicarakan kebenaran. Hal itu sesuai dengan konsep agama bahwa agama mengajarkan manusia tentang kebenaran yang hakiki. Kemudian usaha berikutnya masuk pada persoalan pokok, yakni filsafat. Telah dijelaskan bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh para nabi, yakni kebijaksanaan. Oleh karena itu, sekalipun filsafat datang dari Yunani, bagi manusia, menurut al-Kindi, wajib mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, yakni wajib mencarinya.
Pemaduan antara filsafat dan agama, menurut al-Kindi didasarkan pada tiga alasan. Pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan pada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, baik secara logika atau yang lain, diperintahkan dalam agama.
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada kaum yang tidak senang terhadap fisafat dan filosof. Jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu, maka konsekuensinya mereka harus memberikan argumen yang jelas. Usaha pemberian argumen tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat. Untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika, mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya, bahwa filsafat harus dimiliki dan dipelajari karena berfilsafat merupakan kebutuhan manusia dan tidak dilarang dalam agama.
E. Kesimpulan
Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Sebagai seorang filosof, al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama, diakui keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metefisis. Oleh karena itu, menurut al-Kindi, diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan.
Pemikiran filsafat al-Kindi merupakan pemikiran awal dan sebagai pembuka jalan bagi para filosof sesudahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan Mistikisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Al-Fakhury, Hana dan Khalil al-Jarr. 1963. Tarikh al-Filsafat al-'Arabiyyat, Beirut: Mu'assaat li al Thaba'at wa al Nasyr.
Mustofa, A. 2009. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Abu Riddah, Muhammad. 1950. Rasa'il al-Kindi al-Falsafiyyat, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.
Daudy, Ahmad. 1989. Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Yaziji, Kamal. 1963. al-Nushush al-Falsafiyyat al-Muyassarat, Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin.
Syarif, M.M. 1967. The History of Moslem Philosophy, New York: Dover Publications.
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 103.
Ibid., 104.
Ibid.
Ibid., 105-108.
Ibid., 108.
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 50.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistikisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 16.
Ibid., 16.
Zar, Filsafat..., 53.
Hana al-Fakhury, dan Khalil al-Jarr, Tarikh al-Filsafat al-'Arabiyyat, (Beirut: Mu'assaat li al Thaba'at wa al Nasyr, 1963), 368.
Muhammad Abu Riddah, Rasa'il al-Kindi al-Falsafiyyat, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1950). 142-143.
Fakhury, Tarikh al-Filsafat..., 369.
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), 16.
Zar, Filsafat..., 56.
QS. al-Isra [17]:85.
Kamal al-Yaziji, al-Nushush al-Falsafiyyat al-Muyassarat, (Beirut: Dar al-'Ilm li al-Malayin, 1963), 76.
M.M. Syarif, The History of Moslem Philosophy, (New York: Dover Publications, 1967), 432.
Zar, Filsafat..., 59.
Ibid.
A. Mustofa, Filsafat..., 110.
Zar, Filsafat..., 45.
Ibid.
M.M. Syarif, The History..., 425.
Zar, Filsafat..., 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar