BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Sejarah
merupakan peristiwa yang terjadi pada masa lampau yang harus dijadikan sebagai
bahan pelajaran untuk kemajuan umat manusia. Islam merupakan agama ynag
universal dari segi penyebarannya, sejak berabad-abad yang lalu Islam telah
mengalami pasang surut di bidang peradabannya. Islam mengalami puncak keemasannya
pada saat pemerintahan Abasiyyah yang berada di Baghdag, namun catatan sejarah
pula yang memberikan penjelasan bahwa Islam tidak dinamis berada pada puncak
kejayaan. Namun itulah realita kehidupan. Untuk lebih mengetahuai historis dan
kronologisnya maka diperlukan pembahasan yang lebih mendalam, namun yang akan
dibahas pada penulisan kali ini yaitu seputar dinasti-dinasti kecil, tetapi
memiliki pengaruh yang besar pada kemajuan umat Islam, baik dari segi ilmu
pengetahuan, dan yang lainnya.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan
yang harus dijelaskan secara mendalam mengenai dinasti-dinasti kecil yaitu
Dinasti Aghlabiyah, Fatimiyah, Ayyubiyah dan Dinasti Mamalik, dapat dirumuskan di
antaranya:
1.
Bagaimana proses pembentukan,
kemajuan-kemajuan, serta pengaruhnya bagi dunia Islam;
2.
Apa yang menyebabkan kemunduran atau
kehancurannya;
3.
Apa dampak atau hikamh dari adanya
dinasti-dinasti tersebut bagi umat manusia, terutama bagi dunia Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
DINASTI-DINASTI
KECIL
A. Dinasti
Aghlabiyah
Dinasti Aghlabiyah
adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa
selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M). Wilayah kekuasaannya meliputi Ifriqiyah (Tunisia), Algeria dan Sisilia. Dinasti ini didirikan oleh Ibn Aghlab Ibn Salim, seorang pejabat Khurasan dalam militer Abbasiyah, (Mufradi, 1997:116). Para penguasa Dinasti Aghlabiyah yang pernah memerintah adalah sebagai berikut:
selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M). Wilayah kekuasaannya meliputi Ifriqiyah (Tunisia), Algeria dan Sisilia. Dinasti ini didirikan oleh Ibn Aghlab Ibn Salim, seorang pejabat Khurasan dalam militer Abbasiyah, (Mufradi, 1997:116). Para penguasa Dinasti Aghlabiyah yang pernah memerintah adalah sebagai berikut:
1.
Ibrahim I Ibn al-Aghlab (800-812 M)
2.
Abdullah
I (8l2-817 M)
3.
Ziyadatullah
(817-838 M)
4.
Abu
‘Iqal al-Aghlab (838-841 M)
5.
Muhammad
I(841-856 M)
6.
Ahmad
(856-863 M)
7.
Ziyadatullah
(863- M)
8.
Abu
Ghasaniq Muhammad II (863-875 M)
9.
Ibrahim
II (875-902 M)
10. Abdullah II (902-903 M)
11. 11. Ziyadatullah III (903-909 M)
a.
Sejarah Berdirinya Dinasti Aghlabiyah
Aghlabiyah
merupakan dinasti kecil pada masa Abbasiyah, yang para penguasanya adalah
berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehingga dinasti tersebut dinamakan
Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya yaitu ketika Baghdad di bawah pemerintahan
Harun ar-Rasyid dan memberikan kewenangan kepada Ibrahim ibn Aghlab atas Provinsi
Ifriqiyah dalam rangka menghadapi Dinasti Idrisiyah. Karena di bagian Barat
Afrika Utara, terdapat dinasti Idrisiyah (berpaham syi’ah yang memberontak pada
Abbasiyah) yang semakin kuat, dan kedua
dari golongan Khawarij. Dengan
adanya dua ancaman tersebut mendorong
Harun ar-Rasyid untuk menempatkan
bala tentaranya di Ifriqiyah di bawah pimpinan Ibrahim bin
Al-Aghlab. Setelah berhasil mengamankan wilayah
tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab mengusulkan kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah
tersebut dihadiahkan kepadanya dan anak keturunannya secara permanen. Karena jika hal itu
terjadi, maka ia tidak hanya mengamankan
dan memerintah wilayah tersebut, tetapi
juga mengirim upeti ke Baghdad
setiap tahunnya sebesar
40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom yang
besar (Bosworth,1980:46). Untuk
menaklukkan wilayah baru dibutuhkan suatu proses yang panjang dan perjuangan yang besar,
namun tidak seperti Ifriqiyyah yang sifatnya adalah pemberian. Harun ar-Rasyid
menyetujui usulannya, sehingga berdirilah dinasti kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifriqiyah yang mempunyai hak otonomi penuh.
Meskipun demikian masih tetap mengakui pada kekhalifahan Baghdad (Hoeve, 1994: 65).
Dinasti Aglabiyah berkuasa kurang lebih satu abad, mulai dari tahun 800-909 M. Pada tahun 800 M Ibrahim I diangkat sebagai gubernur (amir) di Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid, karena ia sangat pandai menjaga hubungan dengan Khalifah Abbasiyah seperti membayar pajak tahunan yang besar, maka Ibrahimi I diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar seperti kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika Utara dengan Baghdad. Sehingga Aghlabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah. Pemerintahan Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah Ziyadatullah I, Aglabiyah dapat merebut pulau yang terdekat dari Tunisia, yaitu Sisilia dari tangan Byzantium 827 M, yang dipimpin oleh panglima Asad bin Furat, dengan mengerahkan panglima laut yang terdiri dari 900 tentara berkuda dan 10.000 orang pasukan jalan kaki. Inilah ekspedisi laut terbesar, ini juga peperangan akhir yang dipimpin panglima Asad bin Furad karena, ia meninggal dalam pertempuran. Selain untuk memperluas wilayah penaklukan terhadap Sisilia juga bertujuan untuk berjihad melawan orang-orang kafir, wilayah tersebut menjadi pusat penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa. Aspek yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi lautnya yang menjelajahi pulau-pulau di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa seperti pantai Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan Alpen. Selain itu juga berhasil menaklukan kota-kota pantai Itali, Brindisi, Napoli, Calabria, Totonto, Bari, dan Benevento. Pada tahun 868 M mampu menduduki Malpa. Dengan berhasilnya penaklukan-penaklukan seperti di atas Dinasti Aghlabiyah menjadi dinasti yang kaya, sehingga para penguasa Aghlabiyah antusias dalam bidang pembangunan. Keberhasilan penguasaan seluruh pulau Sisilia inilah yang membuat Aglabiyah unggul di Mediterania Tengah. Kemudian Aglabiyah melanjutkan serangan-serangannya ke pulau lainnya dan pantai-pantai di Eropa, termasuk berhasil menaklukan kota-kota pantai Italia Brindisi (836/221 H.) Napoli (837M), Calabria (838 M), Toronto (840 M ), Bari (840 M), dan Benevento (840 M). Karena tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah pada bandar-bandar Itali, termasuk kota Roma, maka Paus Yonanes VIII (872– 840 M) terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang perak pertahun kepada Aglabiyah. Pasukan Aglabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia (890 M), Pulau Malta (869 M), menyerang pulau Corsika dan Mayorka, bahkan mengusai kota Portofino di pantai Barat Italia (890), kota Athena di Yunani pun berada dalam jangkauan penyerangan mereka. Dengan keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aglabiyah kaya raya, para penguasa bersemangat membagun Tunisia dan Sisilia. Ziyadatullah I membangun masjid Agung Qairuan, sedangkan Amir Ahmad membangun masjid Agung Tunis dan juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di Tunisia Selatan yang tanahnya kurang subur), demikian pula perkembangan arsitektur, ilmu pengetahuan, seni dan kehidupan keberagamaan. Selain sebagai ibu kota Dinasti Aghlabiyah, Qoiruan juga sebagai pusat penting munculnya mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, seperti Sahnun yang wafat (854 M) pengarang mudawwanat, kitab Fiqih Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat 901 M, Abu Zakariah al-Kinani, yang wafat 902 M, dan Isa bin Muslim, wafat 908M. Karya-karya para ulama pada masa Dinasti Aghlabiyah ini tersimpan baik di Masjid Agung Qairuan.
Dinasti Aglabiyah berkuasa kurang lebih satu abad, mulai dari tahun 800-909 M. Pada tahun 800 M Ibrahim I diangkat sebagai gubernur (amir) di Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid, karena ia sangat pandai menjaga hubungan dengan Khalifah Abbasiyah seperti membayar pajak tahunan yang besar, maka Ibrahimi I diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar seperti kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika Utara dengan Baghdad. Sehingga Aghlabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah. Pemerintahan Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah Ziyadatullah I, Aglabiyah dapat merebut pulau yang terdekat dari Tunisia, yaitu Sisilia dari tangan Byzantium 827 M, yang dipimpin oleh panglima Asad bin Furat, dengan mengerahkan panglima laut yang terdiri dari 900 tentara berkuda dan 10.000 orang pasukan jalan kaki. Inilah ekspedisi laut terbesar, ini juga peperangan akhir yang dipimpin panglima Asad bin Furad karena, ia meninggal dalam pertempuran. Selain untuk memperluas wilayah penaklukan terhadap Sisilia juga bertujuan untuk berjihad melawan orang-orang kafir, wilayah tersebut menjadi pusat penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa. Aspek yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi lautnya yang menjelajahi pulau-pulau di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa seperti pantai Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan Alpen. Selain itu juga berhasil menaklukan kota-kota pantai Itali, Brindisi, Napoli, Calabria, Totonto, Bari, dan Benevento. Pada tahun 868 M mampu menduduki Malpa. Dengan berhasilnya penaklukan-penaklukan seperti di atas Dinasti Aghlabiyah menjadi dinasti yang kaya, sehingga para penguasa Aghlabiyah antusias dalam bidang pembangunan. Keberhasilan penguasaan seluruh pulau Sisilia inilah yang membuat Aglabiyah unggul di Mediterania Tengah. Kemudian Aglabiyah melanjutkan serangan-serangannya ke pulau lainnya dan pantai-pantai di Eropa, termasuk berhasil menaklukan kota-kota pantai Italia Brindisi (836/221 H.) Napoli (837M), Calabria (838 M), Toronto (840 M ), Bari (840 M), dan Benevento (840 M). Karena tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah pada bandar-bandar Itali, termasuk kota Roma, maka Paus Yonanes VIII (872– 840 M) terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang perak pertahun kepada Aglabiyah. Pasukan Aglabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia (890 M), Pulau Malta (869 M), menyerang pulau Corsika dan Mayorka, bahkan mengusai kota Portofino di pantai Barat Italia (890), kota Athena di Yunani pun berada dalam jangkauan penyerangan mereka. Dengan keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aglabiyah kaya raya, para penguasa bersemangat membagun Tunisia dan Sisilia. Ziyadatullah I membangun masjid Agung Qairuan, sedangkan Amir Ahmad membangun masjid Agung Tunis dan juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di Tunisia Selatan yang tanahnya kurang subur), demikian pula perkembangan arsitektur, ilmu pengetahuan, seni dan kehidupan keberagamaan. Selain sebagai ibu kota Dinasti Aghlabiyah, Qoiruan juga sebagai pusat penting munculnya mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, seperti Sahnun yang wafat (854 M) pengarang mudawwanat, kitab Fiqih Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat 901 M, Abu Zakariah al-Kinani, yang wafat 902 M, dan Isa bin Muslim, wafat 908M. Karya-karya para ulama pada masa Dinasti Aghlabiyah ini tersimpan baik di Masjid Agung Qairuan.
b.
Langkah-langkah
Pemimpin Aghlabiyah
1.
Penguasa Aghlabiyah pertama berhasil
memadamkan gejolak Kharijiyah Berber di wilayah mereka.
2.
Dilanjutkan dengan dimulainya proyek
besar merebut Sisilia dari tangan Bizantium pada tahun 827 M di bawah
Ziadatullah I yang amat cakap dan energik, dengan meredakan oposisi internal di
Ifriqiyyah yang dilakukan Fuqaha (pemimpin–pemimpin religius) Maliki di
Qayrawan (Cairovan). Disamping
itu, suatu armada bajak laut dikerahkan,
sehingga membuat Aghlabiyah unggul di Mediterania Tengah dan membuat mereka mampu mengusik pantai Italia Selatan,
Sardinia, Corsica, dan Meriteran
Alp. Kemudian Aghlabiah juga berhasil merebut Malta pada tahun 868 M. Daerah-daerah tersebut yang menjadi
wilayah kekuasaan Dinasti Aghlabiyah. Dengan demikian,
pada tahun 878 M sempurnalah penguasaan atas Sisilia, yang kemudian pulau itu di bawah pemerintahan Muslim. Pertama di bawah kekuasaan
Aghlabiyah dan kedua di bawah Gubernur-Gubernur
Fathimiyah, sampai penaklukan oleh Norman pada abad XI. Pulau itu menjadi pusat bagi penyebaran kultur
Islam ke Eropa.
c.
Peninggalan-peninggalan
Bersejarah Dinasti Aghlabiyah
Aghlabiyah adalah pembangun yang
penuh semangat,
dan bangunan-bangunan
peninggalan Aghlabiyah di antaranya:
peninggalan Aghlabiyah di antaranya:
1.
Pembangunan kembali Masjid Agung
Qayrawan oleh Ziyadatullah I;
2.
Pembangunan Masjid Agung Tunis oleh
Ahmad;
3.
Pembangunan karya-karya pertanian dan
irigasi yang bermanfaat, khususnya di Ifriqiyah selatan yang kurang subur.
d.
Kemunduran Dinasti Aghlabiyah
Menjelang akhir abad IX, posisi Aghlabiyah
di Ifriqiyah merosot. Hal ini
disebabkan karena amir terakhirnya yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan
(berfoya-foya), dan seluruh pembesarnya tertarik pada Syi’ah, juga propaganda Syi’iah, yaitu Abu Abdullah. Perintis Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah mempunyai pengaruh yang cukup besar di
Barbar, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer, dan Dinasti Aghlabiyah
dikalahkan oleh Fatimiyah (909 M), Ziyadatullah III diusir ke Mesir setelah melakukan
upaya-upaya yang sia-sia demi untuk mendapatkan bantuan dari Abbasiyah untuk
menyelamatkan Aghlabiyah (Bosworth,1993:47).
disebabkan karena amir terakhirnya yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan
(berfoya-foya), dan seluruh pembesarnya tertarik pada Syi’ah, juga propaganda Syi’iah, yaitu Abu Abdullah. Perintis Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah mempunyai pengaruh yang cukup besar di
Barbar, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer, dan Dinasti Aghlabiyah
dikalahkan oleh Fatimiyah (909 M), Ziyadatullah III diusir ke Mesir setelah melakukan
upaya-upaya yang sia-sia demi untuk mendapatkan bantuan dari Abbasiyah untuk
menyelamatkan Aghlabiyah (Bosworth,1993:47).
B. Dinasti
Fatimiyah
a. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu
dinasti yang didirikan di benua Afrika pada penghujung tahun 200 Hijriah atau
sekira tahun 910 Masehi, dinasti ini merupakan dinasti terlembaga yang
berpahaman Syi’ah Ismailiyah, dalam realitas sejarah Dinasti Fatimiyah diambil
dari nama Fatimah az-Zahra, putri nabi saw. dan isteri Ali bin Abu Thalib melalui garis keturunan Ismail putra Ja’far ash-Shidiq. Peletak dasar dan
pendiri dinasti ini adalah Ubaidillah al-Mahdi putra Husein Ibn Ahmad Ibn
Abdallah Ibn Muhammad Ibn Ismail Ibn Ja’far ash-Shidiq. Ubaidillah al-Mahdi
datang dari Suriah ke Afrika. Tujuan dinasti ini yaitu untuk menjalankan ideologi Syi’ah dan ingin melepaskan diri dari kekuasaan Daulah
Abasiyah di Baghdad yang berideologi Sunni. Di daerah ini mendapat sambutan
baik, terutama dari suku Berber Ketama. Dari permulaan pembentukannya hal ini bisa di lihat dengan
munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur
dan barat kota Baghdad.
Ia mulai merintis kegiatan dakwahnya
tahun 893 M dengan mengetengahkan konsep akan datangnya al-Mahdi dari keturunan
Nabi Muhammad saw. Dengan dukungan suku Berber Ketama,
ia berhasil menumbangkan Gubernur Aghlabiyah di Ifriqiyah dan menjadikan Idrisiyah Fez
sebagai penguasa bawahannya. Pada tahun 909 M ia dilantik menjadi khalifah yang
sejajar dengan khalifah di Baghdad. Pada tahun 920 M ia mendirikan
ibu kota baru bernama ‘Al-Mahdiyah. Berbeda dengan dinasti-dinasti kecil
lainnya, Dinasti
Fatimiyah sepenuhnya melepaskan diri dari baghdad.
Sisilia berhasil diduduki, dan melakukan operasi laut terhadap
Istanbul. Sebagaimana kota Al-Mahdiyah di Ifriqiyah, Fatimiyah membangun
ibukota baru di Mesir yaitu Kairo Baru (al-Qahirah “yang berjaya “). Dari Mesir, kekuasaannya meluas hingga ke Palestina
dan Suriah, dan mengambil alih penjagaan
atas tempat-tempat suci di Hijaz.
b.
Kemajuan/Perkembangan
Dinasti Fatimiyah
Kemajuan yang dicapai
oleh Dinasti Fatimiyah sangat banyak terutama di bidang kebudayaan dan bidang ilmu pengetahuan.
a.
Bidang kebudayaan
Ditandai dengan dirikannya Masjid al-Azhar yang berfungsi
sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, yang
dimanfaatkan oleh kelompok Syi’ah atau pun Sunni.
b.
Bidang ilmu pengetahuan
Untuk memajukan ilmu pengetahuan, khalifah mengundang
para ahli di antaranya ahli matematika, seperti Ibn haytam al-Basri untuk
mengunjungi Kairo. Selain itu, muncul ahli sejarah seperti Ibn Zulak,
al-Musabbihi, al-Kuda’i, dan penulis kitab al-Dirayat, al-Shabushi, pustakawan
al-Muhallabi, dan ahli geografi-Ibn al-Makmun al-Bata’ihi.
Khalifah Dinasti Fatimiyah beraliran Syi’ah Ismailiyah,
namun mayoritas rakyatnya tetap menganut aliran Sunni dan menikmati sebagian
besar kebebasan dalam menjalankan keagamaan.
Selama
berkuasa, dinasti ini dipimpin oleh 14 orang khalifah, yaitu:
1. Ubaidillah
al-Mahdi (297-322 H/909-924 M)
2. Al-Qaim
(322-334 H/953-975 M)
3. Al-Mansur
( 334-341 H/946-953 M)
4. Al-Muizz
(341-365 H/953-975 M)
5. Al-Aziz (365-386 H/975-996 M)
6. Al-Hakim (386-411 H/996-1021 M)
7. Az-Zahir (411-427 H/1021-1036 M)
8. Al-Mustansir427-487 H/1036-1094 M)
9. Al-Musta’li (487-495 H/1094-1101 M)
10. Al-Amir (495-525 H/1101-1130 M)
11. Al-Hafizh (525-544 H/1130-1149 M)
12. Az-Zafir (544-549 H/1149-1154 M)
13. Al-Fa’iz (549-555 H/1154-1160 M)
14. Al-Adid 555-567 H/1160-1171 M).
c.
Kemunduran
Dinasti Fatimiyah
Pemerintahan
Dinasti Fatimiyah yang berlangsung 262 tahun, antara 297 H/909 M sampai 567 H/1171 M, akhirnya tidak dapat dipertahankan lagi
karena faktor-faktror intern. sebagai penyebab dominan kemunduran Khalifah
Fatimiyah yaitu, kehancurannya diakibatkan adanya serangan yang dilakukan
Naruddin al-Zangki, (penguasa Syiria) di bawah panglima Syirkuh yang dibantu
oleh keponakannya (Shalahudin al-Ayyubi) mengalahkan tentara Salib tahun 564
H/1169 M. Syirkuh menjadi Wazir selama 2 bulan kerena meninggal dunia, dan jabatannya
digantikan oleh Shalahudin al-Ayyubi. Pada tahun 567 H/1171 M. Shalahuddin
al-Ayyubi menghapuskan Dinasti Fatimiyah atas desakan dari pemerintahan di Baghdad
dan menggantikannya dengan nama Dinasti Ayyubiyah yang berorientasi di Baghdad.
C. Dinasti
Ayyubiyah
a. Sejarah
Berdirinya Dinasti Ayyubiyah
Ayyubiyah adalah sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyar
Bakir hingga tahun 1429 M. Dinasti ini didirikan oleh Shalahuddin al Ayyubi, wafat tahun 1193 M
(Glasse, 1996:143). Ia berasal dari suku Kurdi Hadzbani,
putra Najawddin Ayyub, yang menjadi dari putra Zangi bernama Nuruddin. Keberhasilannya
dalam perang Salib, membuat para tentara mengakuinya sebagai pengganti dari
pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia
tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah,
tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah menjadi Sunni (Bandri Yatim,
2003:283). Penaklukan
atas Mesir oleh Shalahuddin pada 1171 M membuka jalan bagi pembentukan madzhab-madzhab hukum Sunni di Mesir. Madzhab Syafi’i tetap
bertahan di
bawah pemerintahan Fathimiyah, sebaliknya Shalahuddin memberlakukan madzhab-madzhab
Hanafi (Lapidus, 1999:545). Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir. Najmudin Ayub adalah seseorang yang berasal dari suku Kurdi Hadzbani dan menjadi panglima Turki 1138 M, di Mosul dan Aleppo, di bawa pemerintahan Zangi Ibnu Aq-Songur. Demikian juga adiknya Syirkuh, mengabdi pada Nuruddin, putra Zangi 1169 M. Syirkuh berhasil mengusir raja Almaric beserta pasukan salibnya dari Mesir. Kedatangan Syirkuh ke Mesir karena undangan Khalifah Fatimiyah untuk mengusir Almaric yang menduduki Kairo. Setelah Syirkuh meninggal (1169 M) digantikan oleh Shalahuddin (keponakannya) sebagai pemimpin pasukan. Pertama-tama ia masih menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Tetapi setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahuddin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo. Keberhasilan Shalahuddin di Mesir mendorongnya menjadi penguasa otonom. Dalam mengkosolidasikan kekuatannya, ia banyak memanfaatkan keluarganya untuk ekspansi ke wilayah lain, seperti Turansyah. Saudaranya dikirim untuk menguasai Yaman 1173 M. Taqiyuddin, (keponakannya) ditugasi untuk melawan tentara Salib yang menduduki Dimyat. Sedangkan Syihabuddin (pamannya) untuk menduduki Mesir Hulu (Nubia). Kematian Nuruddin (1174 M) menjadikan posisi Shalahudin semakin kuat, yang akhirnya memudahkan untuk menaklukan Syiria, termasuk Damaskus, Aleppo dan Mosul. Akhirnya pada 1175 M, ia diakui sebagai sultan atas Mesir, Yaman dan Syiria oleh Khalifah Abbasiyah. Di masa pemerintahan Shalahuddin, ia membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam. Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota di Laut Tengah, Lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, akhirnya Jerusalem dikuasai pada tahun 1187 M, hal tersebut tetap tidak mengubah kedudukan Shalahuddin, sampai akhirnya raja Inggris (Richard) membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre. Sampai ia meninggal (1193 M), Shalahuddin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah di berbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayyubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir. Namun pada masa pemerintahan al-Kamil, ketika Dinasti Ayyubiyah bertempat di Diyarbakr dan al-Jazirah, mereka mendapat tekanan dari Dinasti Saljuk Rum dan Dinasti Khiwarazim Syah, kemudian al-Kamil mengembalikan Jerusalem kepada Kaisar Frederick II yang membawa damai dan keberuntungan ekonomi yang cukup besar bagi Mesir dan Syiria. Hiduplah kembali perdagangan dengan kekuatan Kristen Mediterrania. Setelah al-Kamil meninggal (1238 M) Dinasti Ayyubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan intern. Pada pemerintahan Ash-Shalih serangan Salib 6 dapat diatasi, yang pemimpinya raja Prencis St. Louis dan akhirnya ditangkap, tetapi kemudian pasukan budak (Mamluk) dari Turki merebut kekuasaan di Mesir. Ini secara otomatis mengakhiri pemerintahan Ayyubiyah secara keseluruhan.
bawah pemerintahan Fathimiyah, sebaliknya Shalahuddin memberlakukan madzhab-madzhab
Hanafi (Lapidus, 1999:545). Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir. Najmudin Ayub adalah seseorang yang berasal dari suku Kurdi Hadzbani dan menjadi panglima Turki 1138 M, di Mosul dan Aleppo, di bawa pemerintahan Zangi Ibnu Aq-Songur. Demikian juga adiknya Syirkuh, mengabdi pada Nuruddin, putra Zangi 1169 M. Syirkuh berhasil mengusir raja Almaric beserta pasukan salibnya dari Mesir. Kedatangan Syirkuh ke Mesir karena undangan Khalifah Fatimiyah untuk mengusir Almaric yang menduduki Kairo. Setelah Syirkuh meninggal (1169 M) digantikan oleh Shalahuddin (keponakannya) sebagai pemimpin pasukan. Pertama-tama ia masih menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Tetapi setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahuddin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo. Keberhasilan Shalahuddin di Mesir mendorongnya menjadi penguasa otonom. Dalam mengkosolidasikan kekuatannya, ia banyak memanfaatkan keluarganya untuk ekspansi ke wilayah lain, seperti Turansyah. Saudaranya dikirim untuk menguasai Yaman 1173 M. Taqiyuddin, (keponakannya) ditugasi untuk melawan tentara Salib yang menduduki Dimyat. Sedangkan Syihabuddin (pamannya) untuk menduduki Mesir Hulu (Nubia). Kematian Nuruddin (1174 M) menjadikan posisi Shalahudin semakin kuat, yang akhirnya memudahkan untuk menaklukan Syiria, termasuk Damaskus, Aleppo dan Mosul. Akhirnya pada 1175 M, ia diakui sebagai sultan atas Mesir, Yaman dan Syiria oleh Khalifah Abbasiyah. Di masa pemerintahan Shalahuddin, ia membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam. Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota di Laut Tengah, Lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, akhirnya Jerusalem dikuasai pada tahun 1187 M, hal tersebut tetap tidak mengubah kedudukan Shalahuddin, sampai akhirnya raja Inggris (Richard) membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre. Sampai ia meninggal (1193 M), Shalahuddin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah di berbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayyubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir. Namun pada masa pemerintahan al-Kamil, ketika Dinasti Ayyubiyah bertempat di Diyarbakr dan al-Jazirah, mereka mendapat tekanan dari Dinasti Saljuk Rum dan Dinasti Khiwarazim Syah, kemudian al-Kamil mengembalikan Jerusalem kepada Kaisar Frederick II yang membawa damai dan keberuntungan ekonomi yang cukup besar bagi Mesir dan Syiria. Hiduplah kembali perdagangan dengan kekuatan Kristen Mediterrania. Setelah al-Kamil meninggal (1238 M) Dinasti Ayyubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan intern. Pada pemerintahan Ash-Shalih serangan Salib 6 dapat diatasi, yang pemimpinya raja Prencis St. Louis dan akhirnya ditangkap, tetapi kemudian pasukan budak (Mamluk) dari Turki merebut kekuasaan di Mesir. Ini secara otomatis mengakhiri pemerintahan Ayyubiyah secara keseluruhan.
Upaya-upaya yang dilakukan Shalahuddin al-Ayyubi
di antaranya:
a. Melancarkan jihad terhadap tentara-tentara Salib di
Palestina;
b. Mempersatukan tentara Turki, Kurdi, dan Arab di jalan
yang sama.
Dari Mesir, Shalahuddin juga dapat menyatukan Syiria dan
Mesopotamia menjadi
sebuah kesatuan negara Muslim. Pada tahun 1174 ia merebut Damaskus, kemudian Alippo
tahun 1185, dan merebut Mosul pada 1186. Setelah kekuasaannya kokoh, Shalahuddin melancarkan gerakan ofensif guna mengambil alih al-Quds (Jerussalem) dari tangan tentara tanpa banyak kesulitan. Ini berarti Jerussalem menjadi komunitas muslim setelah delapan puluh tahun, dan orang-orang Frank tersingkirkan, meskipun hanya untuk sementara. Usaha besar-besaran telah dilakukan pasukan Salib dari Inggris, Perancis, dan Jerman antara tahun 1189 – 1192 M, namun tidak berhasil mengubah kedudukan Shalahuddin. Setelah perang berakhir,
Shalahuddin memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus.
sebuah kesatuan negara Muslim. Pada tahun 1174 ia merebut Damaskus, kemudian Alippo
tahun 1185, dan merebut Mosul pada 1186. Setelah kekuasaannya kokoh, Shalahuddin melancarkan gerakan ofensif guna mengambil alih al-Quds (Jerussalem) dari tangan tentara tanpa banyak kesulitan. Ini berarti Jerussalem menjadi komunitas muslim setelah delapan puluh tahun, dan orang-orang Frank tersingkirkan, meskipun hanya untuk sementara. Usaha besar-besaran telah dilakukan pasukan Salib dari Inggris, Perancis, dan Jerman antara tahun 1189 – 1192 M, namun tidak berhasil mengubah kedudukan Shalahuddin. Setelah perang berakhir,
Shalahuddin memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus.
b.
Perjuangan Setelah Shalahuddin
al-Ayyubi
Perjuangan
Shalahuddin dalam merealisasikan tujuan-tujuan utamanya yaitu
mengeluarkan kaum Salib dari Baitul Maqdis dan mengembalikan pada persatuan umat
Islam, sehingga menghabiskan kekuatannya dan mengganggu kesehatannya. Ia meninggal dan dimakamkan di Damaskus pada tahun 1193 M, setelah 25 tahun memerintah. Sebelum meninggal, ia membagikan kekaisaran Ayyubiyah kepada para anggota keluarga. Karena itu pengendalian dari pusat tetap berada di bawah kekuasaan Al-‘Adl dan Al-kamil, sampai Al-Kamil meninggal. Di bawah kedua sultan ini, kebijaksanaan aktivis Shalahuddin memberikan tempat sebagai hubungan detente dan damai dengan oran-orang Frank. Setelah kematian Shalahuddin, Ayyubiyah melanjutkan pemerintahan Mesir dan pemerintahan Syiria (sampai tahun 1260 M). Keluarga Ayyubiyah membagi imperiumnya menjadi sejumlah kerajaan kecil Mesir, Damaskus, Alleppo, dan kerajaan Mosul sesuai dengan gagasan Saljuk bahwa negara merupakan warisan keluarga raja. Meskipun demikian, Ayyubiyah tidak mengalami perpecahan, karena dengan loyalitas kekeluargaan, Mesir diintegrasikan berbagai imperium. Mereka menata pemerintahan dengan sistem birokrasi masa lampau yang telah berkembang di negara-negara Mesir dan Syiria melalui distribusi iqta’ kepada pejabat-pejabat militer yang berpengaruh. Ayyubiyah secara khusus enggan melanjutkan pertempuran melawan kekuatan pasukan Salib. Mereka lebih memprioritaskan untuk mempertahankan Mesir karena kesatuan mulai melemah. Pada tahun 1229 M Ayyubiyah menegosiasikan sebuah perjanjian dengan Fedrick II. Ini adalah puncak kebijaksanaan baru, dan pada periode damai inilah membawa keuntungan ekonomi yang besar bagi Mesir dan Syiria, termasuk hidupnya kembali perdagangan dengan kekuatan-kekuatan Kristen Mediterania (Bosworth,1993:87).
mengeluarkan kaum Salib dari Baitul Maqdis dan mengembalikan pada persatuan umat
Islam, sehingga menghabiskan kekuatannya dan mengganggu kesehatannya. Ia meninggal dan dimakamkan di Damaskus pada tahun 1193 M, setelah 25 tahun memerintah. Sebelum meninggal, ia membagikan kekaisaran Ayyubiyah kepada para anggota keluarga. Karena itu pengendalian dari pusat tetap berada di bawah kekuasaan Al-‘Adl dan Al-kamil, sampai Al-Kamil meninggal. Di bawah kedua sultan ini, kebijaksanaan aktivis Shalahuddin memberikan tempat sebagai hubungan detente dan damai dengan oran-orang Frank. Setelah kematian Shalahuddin, Ayyubiyah melanjutkan pemerintahan Mesir dan pemerintahan Syiria (sampai tahun 1260 M). Keluarga Ayyubiyah membagi imperiumnya menjadi sejumlah kerajaan kecil Mesir, Damaskus, Alleppo, dan kerajaan Mosul sesuai dengan gagasan Saljuk bahwa negara merupakan warisan keluarga raja. Meskipun demikian, Ayyubiyah tidak mengalami perpecahan, karena dengan loyalitas kekeluargaan, Mesir diintegrasikan berbagai imperium. Mereka menata pemerintahan dengan sistem birokrasi masa lampau yang telah berkembang di negara-negara Mesir dan Syiria melalui distribusi iqta’ kepada pejabat-pejabat militer yang berpengaruh. Ayyubiyah secara khusus enggan melanjutkan pertempuran melawan kekuatan pasukan Salib. Mereka lebih memprioritaskan untuk mempertahankan Mesir karena kesatuan mulai melemah. Pada tahun 1229 M Ayyubiyah menegosiasikan sebuah perjanjian dengan Fedrick II. Ini adalah puncak kebijaksanaan baru, dan pada periode damai inilah membawa keuntungan ekonomi yang besar bagi Mesir dan Syiria, termasuk hidupnya kembali perdagangan dengan kekuatan-kekuatan Kristen Mediterania (Bosworth,1993:87).
c.
Kemajuan-kemajuan Dinasti Ayyubiyah dan
Peninggalannya
Sebagaimana
dinasti-dinasti sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan yang
gemilang dan mempunyai beberapa peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu mencakup
berbagai bidang, di antaranya:
1.
Bidang
Arsitektur dan Pendidikan
Penguasa
Ayyubiyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini
ditandai dengan dibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M yang dijadikan
sebagai pusat pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. Dibangunnya
Dar al- Hadist al-Kamillah juga dibangun (1222 M) untuk mengajarkan pokok-pokok
hukum yang secara umum
terdapat diberbagai madzhab hukum Sunni. Sedangkan
dalam bidang arsitek dapat dilihat pada monumen Bangsa Arab, bangunan masjid di Beirut yang mirip gereja,
serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.
2.
Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti konkritnya adalah Adelasd of
Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang
kedokteran. Di bidang kedokteran
ini telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
3.
Bidang Industri
Kemajuan di bidang ini dibuktikan
dengan dibuatnya kincir oleh seorang ilmuwan Syiria yang lebih
canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan pabrik gelas.
4.
Bidang Perdagangan
Bidang ini membawa pengaruh bagi negara-nrgara
di Eropa dan negara–negara yang
dikuasai Ayyubiyah. Di Eropa terdapat
perdagangan agriculture dan industri. Hal ini menjadi sebab
adanya perdagangan internasional melalui
jalur laut, sejak saat itu dunia ekonomi
dan perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter of Credit (LC), bahkan ketika itu
sudah ada uang yang terbuat dari emas.
5.
Bidang
Militer
Selain memiliki alat-alat perang
seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, juga
memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Di samping itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Di samping itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.
d.
Kemunduran
Dinasti Ayyubiyah
Sepeninggal Al-Kamil tahu 1238 M, Dinasti
Ayyubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan intern. Serangan Salib keenam dapat
diatasi, dan pimpinannya, Raja Perancis
St. Louis ditangkap. Namun pada tahun 1250 M keluarga Ayyubiyah diruntuhkan oleh sebuah pemberontakan oleh salah
satu resimen budak (Mamluk)nya, yang membunuh penguasa terakhir Ayyubiyah, dan mengangkat salah seorang
pejabat (Aybak) menjadi sultan baru. Keruntuhan ini terjadi
di dua tempat, di wilayah Barat Ayyubiyah, berakhir oleh
serangan Mamluk, sedangkan di Syiria dihancurkan oleh pasukan Mongol (Glasse, 1996:552). Dengan demikian
berakhirlah riwayat Ayyubiyah oleh Dinasti Mamalik. Dinasti yang mampu mempertahankan pusat
kekuasaan dari serangan bangsa Mongol.
D. Dinasti Mamalik
a.
Sejarah Berdirinya
Dinasti Mamalik
Apabila ada negeri Islam yang selamat dari serangan bangsa
Mongol, baik karena serangan Hulagu Khan atau pun Timur Lenk,
maka negara tersebut adalah Mesir yang kekeuasaannya di bawah
Dinasti
Mamalik. Sehingga beberapa prestasi atau kemajuan pada
masa klasik, bertahan di Mesir. Walaupun masih di bawah kemajuan pada masa
klasik yang sesungguhnya, karena dinasti Mamalik setelah adanya puncak keemasan
Islam di Bhagdad.
Mamalik
merupakan bentuk jamak dari Mamluk yang
berarti budak. Karena Dinasati Mamakik
dibentuk oleh para budak dari berbagai macam suku bangsa
dan ras, dan mendiami suatu bangsa yang bukan tumpah darah mereka yang
pemerintahannya berbentuk oligarki. Dalam
oligarki militer, budak-budak tersebut adalah
orang-orang yang ditawan oleh dinasti Ayyubiyah, yang
dididik dan dijadikan tentaranya. Dan oleh penguasa Ayubiyah yang terakhir
(Al-Malik Al-Salih), mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kekuasaannya.
Sehingga mereka diberikan hak-hak yang istimewa seperti dalam karier atau pun
imbalan berupa harta. Kebanyakannya mereka
berasal dari daerah Kaukasus dan laut Kaspia. Di Mesir, mereka ditempatkan di
Pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan.
Sehingga mereka dijuluki Mamluk Bahri (laut). Sebetulnya
mereka memiliki saingan yaitu tentara yang berasal dari suku Kurdi. Ketika
penguasa Ayubiyyah yang terakhir (Al-Malik Al-Salih) meninggal dunia (1249),
maka digantikan oleh anaknya yaitu Turansyah menjadi sultan. Sehingga golongan
Mamalik merasa terancam keberadaannya, karena Sultan Turansyah lebih dekat pada
golongan bangsa Kurdi. Ahkirnya pada tahun 1250 golongan Mamalik
melakukan kudeta yang dipimpin oleh
Aybak dan Baybars, yang berhasil membunuh Sultan Turansyah.
Istri Al-Malik Al-Salih yaitu Syajarah al-Durr (yang juga berasal dari
golongan Mamalik), berhasil mengambil alih kembali kekuasaan (selama tiga
bulan) dengan terlebih dahulu mengadakan kesepakatan dengan golongan Mamalik.
Kemudia ia menikah dengan seorang tokoh dari Mamalik yang juga sebagai peminpin
kudeta pada sultan dinasti Ayyubiyah yang
bernama Aybak, sehingga kekuasaannya diserahkan kepadanya, tetapi ia (Syajarah
Al-Durr) sambil berharap ada pada kekuasaannya di belakang. Namun kenyataannya
Aybak malah membunuhnya, sehingga kekuasaanya penuh berada di tangan
Aybak.
Pada mulanya Aybak mengangkat Sultan
(Musa) dari keturunan Ayyubiyah,
namun akhirnya dibunuh juga. Itulah sejarah berdirinya Dinasti
Mamalik yang berkuasa di daerah Mesir.
b.
Proses Kejayaan Dinasti
Mamalik
Selama tujuh tahun (1250-1257) Aybak berkuasa,
setelah ia meninggal maka digantikan oleh anaknya yang bernama Ali, namun
usianya masih muda, sehingga ia digantiakn oleh wakilnya yaitu Qutuz. Setelah
Qutuz naik tahta, maka Baybars yang sedang mengasingkan diri di Syiria (karena
waktu pemerintahan Aybak ia tidak menyukainya) kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M, Mesir terancam oleh serangan Mongol yang
sudah menguasai hmpir seluruh kawasan Islam. Sehingga pada tanggal 13 September
1260, terjadilah peperangan antara Mongol dengan dinasti Mamalik di ‘Ayn
Jalut. Dan di bawah pimpinan Qutuz dan Baybars perang dimenangkan oleh dinasti
Mamalik. Sehingga dinasti Mamalik menjadi terkenal, dan menjadi tumpuan masyarakat
Mesir. Penguasa-penguasa yang berada di kawasan Syiria pun tunduk dan
menyatakan kesetiaannya berada di bawah penguasaan Dinasti
Mamalik. Tidak
lama setelah terjadi peristiwa tersebut, Qutuz meninggal
dunia. Dan Baybars diangkat menjadi sultan oleh pasukannya (1260-1277 M).
Karena Baybars seorang yang cerdas dan tangguh dalam kepemimpinannya,
sehingga ia dianggap sebagai sultan yang terbesar dan tetkenal bila
dibandingkan dengan 47 sultan yang pernah berkuasa pada Dinasti
Mamalik. Dan ia pula yang dianggaap sebagai pembantu
yang haliki pada Dinasti Mamalik.
Perlu diketahui juga bahwa Dinasti Mamalik
dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mamluk Bahri sampai masa pemerintahan
Hajji II, dan periode Mamluk Burji sejak kekuasaanya Burquq (untuk yang kedua
kalinya) sampai dikalahkan oleh kerajaan Utsmani tahun 1517 M.
Pada bidang politik, Dinasti
Mamalik membawa warna dan perubahan baru dalam sejarah Islam. Sebagaimana
di atas disebutkan bahwa Dinasti Mamalik
memiliki sistem pemerintahan yang oliharki
militer, namun pada saat Qalawun berkuasa (1280-1290) berbeda dengan masa
pemerintahan yang lain, ia menggunakan pergantian
peminpin kekuasaan secara tutun-temurun. Namun aturan seperti itu tidak banyak
disukai. Sehingga anak Qawalun hanya mampu memimpin selama empat
tahun saja, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295-1297M). Ternyata sitem
oligarki inilah yang sesuai bagi mereka,
ini ditandai dengan banyaknya kemajuan yang dialami
oleh Mesir pada masa itu. Karena dalam pemerintahannya ada amir (semacam
gubernur), maka para amir berusaha untuk berkompetisi dalam bidang prestasi,
karena mereka merupakan kandidat
dari sultan. Sehingga banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai, seperti dibidang ekonomi,
atau pun
dibidang ilmu pengetahuan lainnya.
Berikut merupakan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh
Dinasti Mamalik, di antaranya:
1.
Bidang pemerintahan
Kemenangan
Dinasti
Mamalik melawan tentara Mongol di ‘Ayn Jalut menjadi sebuah peluang dan modal yang
cukup berarti untuk menaklukan daerah di
sekitaarnya. Sehingga banyak penguasa dinasti kecil yang menyatakan kesetiaanya
pada Dinasti Mamalik. Pada masa kekuasaan Baybars, ia mengangkat kelompok
militer sebagai pembantu dalam menjalankan pemerintahannya. Selain itu, untuk
memeroleh simpatisan dari dinasti-dinasti kecil, Baybars membuat aturan
untuk membuat bai’at pada keturunan Bani
Abbas yang selamat meloloskan diri dari serangan Mongol. Dengan demikian, Dinasti
Abasiyyah yang khalifahnya Al-Mustanshir dapat dipertahankan oleh Dinasti
Mamalik, yang pusatnya di Kairo. Sementara yang pusatnya di Baghdad telah
hancur oleh pasukan tentara Hulagu bangsa Mongol. Tidak lepas dari itu semua, sebetulnya
pada masa kekuasaan Baybars banyak kekuatan-kekuatan dari pihak luar yang
berusaha untuk menghancurkannya, namun ia dapat mengatasinya. Seperti Perang
Salib, di sepanjang Laut Tengah, Assasin, di Pegunungan Syiria., Cyrenia
(tempat berkuasanya orang-orang Armenia), dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.
2.
Bidang Ekonomi
Pada
bidang ekonomi, dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan bangsa Perancis
dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan
yang sudah dirintis oleh Dinasti
Fathimiyah sebelumnya. Hancurnya kekuasaan Abasiyyah di Baghdad
mengakibatkan daerah Kairo sebagai tempat yang setrategis untuk
jalur perdagangan, karena dapat menghubungkan
jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah antara benua Asia dan Eropa. Keberhasilan
di bidang
ekonomi ini, didukung juga dengan jarinagn transportasi dan komunikasi
antarkota di darat atau pun di laut, secara baik. Hal ini
tidak terlepas dari dukungan tentara angkatan lautnya yang siap siaga untuk
membantu.
3.
Bidang Ilmu
Pengetahuan
Mesir,
merupakan salah satu daerah yang
menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan dari Baghdad
yang telah hancur oleh tentara Mongol. Oleh karena itu, sehingga banyak
ilmu-ilmu yang berkembang di Mesir. Seperti sejarah,
kedokteran,
matematiak,
astronomi,
terutama ilmu-ilamu agama.
Ilmuwan-ilmuwan
dan bidangnya yang terkenal pada masa itu, di antaranya:
1)
Bidang Sejarah
: Ibn Khalikan, Ibn Thaghribardi, dan Ibn Kholdun.
2)
Bidang
Matematika: Abu Al-Faraj Al’Ibry.
3)
Bidang
Astronomi: Nasir al-Din al-Tusi.
4)
Bidang
Kedokteran: Abu al-Hasan’Ali al-Nafis (yang menemukan
susunan dan peredaran darah dalam
paru-paru manusia), Abd. Al-Mun’im al-Dimyahti (dokter hewan), dan al-Razi (perintis
pesikoterapi).
5)
Bidang
Opthalmologi (ilmu pengobatan mata): Salah al-Din Ibn Yusuf.
6)
Bidang Agama:
Ibn Taimiyah (pemikir reformis dalam Islam),
Al-Sayuthi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, dll.
4.
Bidang
Arsitektur
Masa
Dinasti
Mamalik pada bidang arsitektur mengalami kemajuaan, hal ini ditandai dengan adanya
bangunan-bangunan yang didirikan. Seperti sekolah, masjid,
rumah sakit, museum, vila-vila, perpustakaan, kubah, dan menara masjid, dengan
pola arsitektur yang indah. Semua kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Dinasti
Mamalik, itu tidak terlepas dari usaha-usaha yang
mereka lakukan. Dan berkat kepribadian, wibawa pemimpin yang
baik. Sikap solidaritas dari setiap kalangan, baik
sesama militer, penguasa atasan, dan yang lainnya. Sehingga
menjadikan stabilisasi pemerintahan yang berhasil.
c.
Kemunduran
dinasti Mamalik
Penyebab
kemunduran Dinasti Mamalik sebetulnya ada dua factor, yaitu faktor ekstern dan intern.
1)
Faktor Intern
Sebagai
faktor intern yaitu berawal dari dalam kerajaan.
Seperti sejak masuknya para budak dari Sirkasia, yang dikenal dengan nama Mamalik
Burji, yang pertamakalinya dibawa oleh
Sultan Qawalun, sehingga menyebabkan solidaritas antar sesama militer menurun
terutama ketika Mamluk Burji berkuasa. Banyak penguasa Mamluk
Burji yang bermoral negatif, mereka tidak
menyukai ilmu pengetahuan, malah suka melakukan
foya-foya, yang menyebabkan pajak dinaikan.
Sehingga mengakibatkan ketidaksenangan rakyat, dan
sistem perekonian pun menurun. Ditambah lagi dengan ditemukannya
Tanjung Harapan oleh bangsa Eropa tahun 1498 M, yang menyebabkan jalur
perdagangan Asia-Eropa melalui jalur Mesir
menurun. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan adanya wabah penyakit
dan musim kemarau panjang.
2)
Faktor Ekstern
Faktor
ekstern yang menyebabkan Dinasti Mamalik
hancur yaitu adanya kekuatan kekuasaan politik pada
kerajaan Utsmani. Sehingga terjadilah
peperangan di luar kota Kairo pada tahun 1517 yang mengakibatkan Dinasti
Mamalik kalah dan berakhir dengan kehancuran. Maka sejak itulah wilayah Mesir
(juga sebagai salah satu propinsinya) dikuasai
oleh kerajaan Turki Utsmani.
E.
Hikmah Sejarah Peradaban Islam Bagi Umat Islam
Sebetulnya
banyak hikmah yang dapat kita ambil dari sejarah Islam yang terjadi pada masa
lalu, berikut di antanranya:
1.
Sejarah pada masa lampau bisa dijadikan sebagai cermin
untuk kemajuan pada zaman sekarang dan yang akan datang;
2.
Kemajuan-kemajuan yang diraih oleh umat muslim pada masa
lampau, dapat dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan revolusi keagamaan ke
arah yang lebih baik;
3.
Sejarah bisa dijadikan sebagai objek kajian penelitian
untuk mengungkap hal-hal yang diangkap penting;
4.
Peninggalan-peninggalan sejarah baik yang berbentuk fisik
atau nonfisik dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan contoh untuk sebuah
pembangunan yang bersifat fisik pula atau nonfisik;
5.
Hasil temuan para ilmuwan (ulama) dapat dimanfaatkan oleh
umat muslim dan umat yang lainnya demi kemajuan peradaban Islam pada zaman
sekarang dan yang akan datang, dll.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dinasti
Aghlabiyah, Fatimiyah, Ayyubiyah dan Dinasti Mamalik merupakan dinasti-dinasti
kecil yang berdiri sekira abad 8-12 Masehi. Walaupun termasuk dinasti-dinasti
kecil, tetepi pengaruhnya cukup besar bagi kemajuan umat muslim di dunia.
Dengan berbagai aspek yang telah diraihnya, maka dapat dijadikan tolak ukura sebagai
bahan untuk menuju proses peradaban Islam pada masa sekarang dan yang akan
datang supaya lebih baik.
B.
Saran
Penulisan
karya ilmiah atau makalah dan yang sejenisnya, pasti tidak sempurna baik dari
segi isi atau cara penulisan. Oleh karena itu saran dari pembaca kami harapkan,
demi kesempurnaan keilmuan kami.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Muhammad Mansyur. 2004. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Indonesia Spirit Foundation.
C. E., Boshwort, 1993. Dinasti-dinasti
Islam Terjemahan Ilyas Hasan dari The Islamic Dinastiec. Bandung: Mizan.
Suntiah, Ratu dan Maslani. 2010. Sejarah Peradaban
Islam. Bandung: CV. Insan Mandiri.
Tim Dosen. 2006. Menelusuri Jejak Sejarah Peradaban
Islam. Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar