Minggu, 21 Oktober 2012

Al Farabi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Filsafat Islam, secara tekstual pasti membahas mengenai Islam secara umumnya dan secara khususnya membicarakan para pemikirnya yaitu para filosof Islamnya itu sendiri.
Salah satunya Al-Farabi yang dikenal sebagai "guru kedua" setelah Aristoteles. Dia adalah filosof Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah Islam.
Pada kesempatan kali ini, kami ingin mencoba membahas tokoh filosof Islam yaitu Al Farabi. Agar tidak keluar dari pembahasan, maka penulis memberikan judul makalah ini Filsafat Al Farabi.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut, di antaranya:
  1. Bagaimana biografinya;
  2. Apa saja karya yang dihasilkannya;
  3. Pemikiran tentang apa saja yang dikemukakan oleh Al Farabi; dan
  4. Bagaimana pengaruh pemikirannya terhadap para filosof.

C.    Tujuan Penulisan
Menjadi harapan yang besar bagi kita, dengan berakhirnya diskusi, mudah-mudahan kita bisa mendapatkan banyak tambahan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai filsafat Al Farabi.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Al Farabi
            Al Farabi mempunyai nama asli Abu Nashr Ibnu Auzadagh Ibn Thirhan Al Farabi, ia dilahirkan di desa Wasij kota Farab (Turkistan) pada tahun 257 H/ 870 M (A.Heris Hermawan dan Yaya Suryana, 2011: 29). Beliau adalah seorang muslim keturunan Parsi, anak dari Muhammad Ibn Auzalagh seorang panglima perang Parsi yang menetap di Damsyik dan ibunya adalah wanita Turkistan (Sudarsono, 2010: 30). Dikalangan orang-orang Latin Abad Tengah Al Farabi lebih dikenal dengan nama Abu Nashr sedangkan sebutan Al Farabi diambil dari nama kota Farab tempat ia dilahirkan (Dedi Supriyadi, 2010: 80).
            Sejak kecil Al Farabi suka belajar dan ia mempuyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai antara lain bahasa Iran, Turkistan, dan Kurdistan, selain itu beliau juga belajar al-Quran, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
            Setelah menyelesaikan studi dasarnya Al Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut tentang fiqh dan yang lainnya. Pada saat itu Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius Dinasti Samaniyah, pada saat Al Farabi di Bukhara Dinasti Samaniyah berada di bawah pemerintahan Nashr Ibnu Ahmad (874-892 M). Munculnya Dinasti Samaniyah ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah Al Farabi mulai berkenalan dengan bahasa, budaya, dan filsafat Persia juga musik (A.Heris Hermawan dan Yaya Suryana, 2011: 29).
            Setelah dewasa Al Farabi menuju Baghdad untuk belajar pada Abu Bisyr bin Mattius, selama di Baghdad ia memusatkan perhatiannya pada ilmu logika, setelah itu ia pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru pada Yuhanna bin Jilal, akan tetapi waktunya sebentar tidak lama kemudian ia meninggalkan kota Harran untuk kembali ke Baghdad untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika). Selama 30 tahun ia


berdiam di Baghdad, selama waktu itu ia pergunakan untuk belajar dan mengulas kembali buku-buku filsafat (Sudarsono, 2010: 30-31).
Pada tahun 330 H (941 M) beliau kembali ke Damsyik dan di sinilah beliau mendapat kedudukan yang yang baik dari Saifudaulah khalifah Dinasti Hamdan di Hallab (Aleppo). Dalam perjumpaannya dengan Al Farabi Saifudaulah sangat terkesan karena kemampuannya dalam bidang filsafat, musik, dan penguasaanya atas berbagai bahasa. Sultan Saifudaulah memberinya kedudukan sebagai ulama istana dengan tunjangan yang besar sekali tetapi Al Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Selanjutnya sisa tunjangan jabatan yang diterimanya dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Kehidupan sufi yang dijalani Al Farabi membuat ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktunya tetap tercurah untuk karir filsafatnya sampai beliau wafat pada tahun 950 M dalam usia yang ke 80 tahun (A.Heris Hermawan dan Yaya Suryana, 2011: 30).
            Al Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar, memiliki keahlian dalam bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna sehingga, filosof yang datang sesudahnya seperti Ibn Sina (370 H/ 980M – 428 H/ 1037 M) dan Ibn Rusyd (520 H/ 1126M – 595 H/ 1198 M) banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Oemar Amin Huseini menyatakan bahwa Ibn Sina telah membaca 40 kali buku metafisika karangan Aristoteles bahkan hampir seluruh isi buku itu dihapalnya akan tetapi belum dipahaminya, setelah membaca buku Al Farabi Tahqiq Ghardah Aristhu Fi Kitabi ma Ba’da Ath-Thobi’ah yang menjelaskan maksud dan tujuan metafisika Aristoteles barulah Ibn Sina memahaminya (Dedi Supriyadi, 2010: 81).
            Dengan demikian beliau adalah seorang ahli ilmu pasti dan seorang filosof yang ulung bahkan beliau melebihi Al-Kindi dalam memberikan penjelasan maupun dalam menerjemahkan dan menyusun kembali kitab-kitab filsafat Yunani (Sudarsono, 2010: 31). Maka beliau dianggap sebagai filosof yang paling terpelajar dan tajam dari para komentator karya Aristoteles, dan Plato sehingga ia dijuluki sebagai Al-Mua’lim Ats-Tsani (guru kedua) sedangkan Al-Mu’alim Al-Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles (Dedi Supriyadi, 2010: 82).
Karya-karya Al Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah dalam jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya. Sebagian karangan Al Farabi masih ditemukan di beberapa perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabadikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah, namun juga memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy dan Plotinus.
Karya-karya nyata dari Al Farabi adalah:
1.      Al jami’u Baina Ra’yai Al Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/ penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles)
2.      Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan)
3.      As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)
4.      Fususu al Taram (hakikat kebenaran)
5.      Arroo’u Ahli AlMadinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintah)
6.      As Syiyasyah (ilmu politik)
7.      Fi Ma’ani Al Aqli
8.      Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu)
9.      Isbatu Al Mufaraqat.
10.  Al Ta’liqat (A. Mustafa, 1997: 127-128)

B.     Pemikiran-pemikiran Al Farabi
a)      Filsafat Al Farabi
Secara etimologis, istilah filsafat, yang merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab) dan Philosohy (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani. Kata philosophy diambil dari perkataan Yunani: philos (suka, cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Jadi kata itu berarti: cinta kepada kebijaksanaan. Pengertian filsafat dari segi praktisnya berarti “alam pikiran” atau “alam berpikir”. Berfilsafat artinya berpikir. Akan tetapi, tidak semua berpikir itu adalah berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh (Dr. Dian: 2).
Al Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu bilmujudaat bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Al Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.
b)     Filsafat politik
Al Farabi berpendapat, bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Semua tindakan dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti.
Ada dua macam problem politik yaitu:
1)      Pemerintahan atas dasar penegakan terhadap tindakan-tindakan yang sadar, cara hidup, disposisi positif. Dasar ini dapat dijadikan upaya untuk memperoleh kebahagiaan. Pemerintahan atas dasar demikian disebut pemerintahan utama, dimana sebagai ciri kota-kota dan bangsa-bangsanya tunduk terhadap pemerintahan.
2)      Pemerintahan atas dasar penegakan terhadap tindakan-tindakan dan watak dalam rangka mencapai sesuatu yang diperkirakan mendapat suatu kebahagiaan, maka muncul beraneka ragam bentuk pemerintahan, apabila yang dikejar kejayaan semata dapat dianggap sebagai pemerintah yang rendah, jika mengejar kehormatan disebut pemerintahan kehormatan, dan pemerintahan bergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.
c)      Filsafat metafisika
Persoalan-persoalan filsafat telah dibahas oleh filosof sebelumnya, baik dari Yunani, Persia atau yang lainnya, meski pemecahan yang dilakukan mereka saling berlawanan. Al Farabi dalam usaha memecahkan persoalan tersebut tidak terlepas murni dari pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh mereka itu. Di antara persoalan itu adalah Esa dan berbilang.
1)      Ilmu ketuhanan
Al Farabi membagi ilmu ketuhanan menjadi tiga yaitu:
1.      Membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud.
2.      Membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu.
3.      Membahas semua wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.
2)      Wujud
Al Farabi membagi wujud kepada dua bagian yaitu:
1.      Wujud yang mungkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti wujud cahaya yang sekiranya tidak akan ada, kalau tidak ada matahari.
2.      Wujud nyata dengan sendirinya. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan.
3)      Sifat-sifat Tuhan
Tuhan adalah tunggal. Ia tidak berbeda dari zat-Nya. Tuhan merupakan akal (pikiran) murni, karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi objek pemikiran adalah benda, maka sesuatu itu berada. Apabila wujud sesuatu tidak membutuhkan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal.
Dari beberapa uraian, nampaknya Al Farabi berusaha keras dalam menunjukkan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya dan bahwa zat yang merindukan pula (al asyiq dan al ma’suq).
d)     Filsafat kenabian
Persoalan kenabian ada pada agama. Tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/ langit, dimana secara esensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi). Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak. Seorang nabi hanyalah manusia biasa, ia diberi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah dan mengekspresikan kehendaknya, sebagai keistimewaannya. Agama Islam adalah agama langit yang ajarannya berasal dari langit dan sumber utamanya adalah kitab suci dan as sunnah. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (Q.S. An Najm: 3-5)
Apabila ada orang yang mengingkari wahyu berarti menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan tindakan ini merupakan pelanggaran Allah. Sebagai orang muslim sudah tentu akan mengimani apa yang datang dari wahyu.
1)      Keraguan dalam soal kenabian di dalam Islam
Kaum muslimin dalam kehidupan masyarakatnya, berbaur dengan unsur asing yang banyak menyembuhkan racun di kalangan mereka. Meskipun mereka tidak meninggalkan sama sekali prinsip-prinsip agama Islam. Tetapi mereka meletakkan sebagai posisi kritik, keraguan dan penyesatan. Hal ini disebabkan ada unsur-unsur yang dipancangkan agama telah kehilangan nilai religiusitasnya, dan ada perbedaan baru yang telah menegaskan ketinggian dan keluhurannya. Maka unsur-unsur asing bergolak dan mulai memerangi Islam, sehingga untuk menerima Islam (mengakui nabi) menjadi ragu dan penuh praduga. Namun usaha tersebut sia-sia dan gagal, karena kebenaran wahyu tidak dapat dibantah dan keutuhannya akan terjaga. Firman-Nya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya. (Q.S. Al-Hijr: 9)
2)      Sikap Al Farabi terhadap keraguan dan pengingkaran kenabian
Teori kenabian yang telah dicapai oleh Al Farabi yang dihubungkan dengan soal-soal sosial dan kejiwaan. Maka nabi dan filosof, menurut Al Farabi adalah dua pribadi shaleh yang akan memimpin negeri utama, dimana keduanya dapat berhubungan dengan akal fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan negeri itu. Perbedaan keduanya, apabila nabi meraih hubungan ini melalui imajinasi, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa atau kajian.
e)      Pola pikir tasawuf
Al Farabi sebagai seorang filosof telah menghimpun berbagai konsepsi dimana sendi-sendinya menjadi suatu mata rantai yang saling berkaitan. Dalam hal ini kita bisa melihat teori sufi yang merupakan bagian dari pandangan filosofis Al Farabi. Bukti yang paling kuat dalam masalah ini adalah adanya korelasi yang kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan teori-teori Al Farabi yang lain, baik psikologis, moral, maupun politik.
Dalam lapangan tasawuf Islam mempunyai kajian yang luas sekali, meskipun sudah banyak orang yang mengkajinya, seperti Al Kindi dan lain-lain, namun pembahasan-pembahasan mereka belum lengkap dan masih banyak pemikiran-pemikiran filsafat dan tasawuf yang belum kita ketahui secara gamblang.
Hal tersebut Al Farabi merupakan salah seorang yang merupakan sumber tertua bagi pemikiran-pemikiran tasawuf di kalangan filosof-filosof Islam, karena ia adalah orang yang pertama membentuk filsafat Islam dengan lengkap, dimana teori tasawufnya merupakan salah satu bagiannya yang penting dan yang menyebabkan filsafat Islam mempunyai corak yang berbeda dengan pemikiran-pemikiran filsafat yang lain.
f)       Logika
Sebagian besar karya Al Farabi dipusatkan pada studi tentang logika. Tetapi hal ini hanya terbatas pada penulisan kerangka Organon, dalam versi yang dikenal oleh para sarjana Arab pada saat itu. Al Farabi menyatakan bahwa: “seni logika, umunya, memberikan aturan-aturan, yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar dan mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari kesalahan-kesalahan”. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu mantra dengan syair. Ia menekankan praktik dan penggunaan aspek logika, dengan menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana dimensi, volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.
g)      Teori Al Farabi tentang sepuluh kecerdasan
Teori Al Farabi menempati bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua dunia, langit dan bumi, ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia merupakan dasar fisika dan astronomi. Bidang utama garapannya ialah pemecahan masalah Yang Esa dan yang banyak dan pembagian antara yang berubah dan yang tetap.
Ia berpendapat bahwa Yang Esalah memancar yang lain, berkat kebaikan dan pengetahuan sendiri-Nya. Pemancaran ini merupakan kecerdasan pertama. Dengan demikian pengetahuan sama dengan ciptaan, karena cukuplah melukiskan sesuatu untuk mengadakannya. Kecerdasan (inteligensi) pertama mungkin dengan sendirinya, perlu oleh yang lain, dan ia memikirkan Yang Esa dan dirinya. Ia adalah satu dalam dirinya, dan banyak berkat pertimbangan-pertimbangan ini. Dari sinilah Al Farabi memulai langkah pertama ke arah pelipatan. Dari pemikiran oleh inteligensi pertama Yang Esa, lahirlah inteligensi lain. Karena pemikirannya tentang dirinya sendiri bisa terjadi pada dirinya memancarkan materi dan bentuk langit pertama, sebab setiap lingkaran (sphere) mempunyai bentuk tersendiri yang adalah ruhnya. Baginilah rantai pemancaran berlangsung hingga melengkapi sepuluh inteligensi sembilan lingkaran dan sembilan ruh mereka. Inteligensi kesepuluh dan terakhir, atau inteligensi agen, adalah yang mengatur dunia fana ini. Dan dari inteligensi inilah mengalir ruh-ruh manusia dan empat unsur.
Al Farabi melalui ajaran sepuluh inteligensi ini, memecahkan masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori itu pula ketika memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak, dan dalam penciptaan. Materi itu tua, setua sepuluh inteligensi. Untuk mengukuhkan keesaan Tuhan Al Farabi memilih menengahi sepuluh inteligensi ini antara Tuhan dan dunia bumi.
Unsur-unsur teori sepuluh inteligensi dapat dilacak pada sumber asal mereka yang berbeda-beda. Aspek astronominya identik sekali dengan penafsiran Aristoteles dengan gerak lingkungan. Teori pemancaran diperoleh dari Plotinus dan aliran Alexandria. Tetapi secara keseluruhan, hal itu merupakan suatu teori Al Farabi, yang ditulis dan diformulasikan untuk menunjukkan kesatuan kebenaran dan metodanya tentang pengelompokan dan sintesis. Ia memadukan Plato, Aristoteles, agama, dan filsafat. Teori ini berhasil baik di kalangan filosof Timur dan Barat abad pertengahan. Tetapi usaha pemaduan seperti itu memaksa beberapa konsensi dari satu pihak atau beberapa pihak, dan bila hal ini menyenangkan beberapa orang, maka terdapat pula orang lain yang menyesalkannya. Kemudian teori ini dipegang kuat oleh Ibnu Sina yang merangkumkannya dan memaparkannya, sedangkan Al Ghazali menolak keras. Di antara sarjana-sarjana Yahudi, Ibnu Gabriol sedikit pun tak mengacuhkannya, sedang Maimonides secara antusias berpegang padanya. Meski sarjana-sarjana Kristen berkeberatan terhadap teori ini, namun teori ini membuat mereka hormat dan menghargainya. (A. Mustofa, 1997: 128-159)
h)     Emanasi (Pancaran)
Al Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiasa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al Farabi memberi tiga istilah yang disandarkan pada Tuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi Al Farabi adalah sebagai berikut:
1.      Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2.      Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3.      Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4.      Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5.      Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6.      Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7.      Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8.      Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9.      Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10.  Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori:
1)      Esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]).
2)      Esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran Al Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia menurut Al Farabi, memiliki tiga daya:
1)      Daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction);
2)      Daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan
3)      Daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī).
Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada tiga tingkatan:
1)      Al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya;
2)      Al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial;
3)      Al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi.
Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.
i)        Filsafat kenegaraan
Terkait filsafat kenegaraan, Al Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk. Pertama ada negara utama (al-madinah al-fadilah). Inilah negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Bentuk negara ini dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filosof. Kedua negara orang-orang bodoh (al-madinah al-jahilah). Inilah negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
Ketiga negara orang-orang fasik. Inilah negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh. Keempat negara yang berubah-ubah (al-madinah al mutabaddilah). Penduduk negara ini awalnya mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki penduduk negara utama, tetapi mengalami kerusakan. Kelima negara sesat (al-madinah ad-dallah). Negara sesat adalah negara yang pemimpinnya menganggap dirinya mendapat wahyu. Ia kemudian menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.

C.    Pengaruh Pemikiran Al Farabi
Second teacher alias mahaguru kedua. Begitulah Peter Adamson pengajar filsafat di King’s College London, Inggris, menjuluki Al Farabi sebagai pemikir besar Muslim pada abad pertengahan. Dedikasi dan pengabdiannya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan telah membuatnya didaulat sebagai guru kedua setelah Aristoteles: pemikir besar zaman Yunani.
Sosok dan pemikiran Al Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filosof Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam. Sehingga, bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh besar terhadap dunia Barat.
Kontribusi ilmuwan besar:
·         Logika
Al Farabi adalah ahli logika muslim pertama yang mengembangkan logika no-Aristotelian. Dia membagi logika ke dalam dua kelompok, pertama ide dan kedua bukti.
·         Musik
Selain seorang ilmuwan, Al Farabi juga seorang seniman. Dia mahir memainkan alat musik dan menciptakan beragam instrumen musik dan sistem nada Arab yang diciptakannya hingga kini masih tetap digunakan musik Arab. Dia juga berhasil menulis Kitab Al-Musiqa – sebuah buku yang mengupas tentang musik. Bagi Al Farabi, musik juga menjadi sebuah alat terapi.
·         Fisika
Al Farabi juga dikenal sebagai ilmuwan yang banyak menggali pengetahuan tentang eksistensi alam dalam fisika.


·         Psikologi
Social Psychology and Model City merupakan risalah pertama Al Farabi dalam bidang psikologi sosial. Dia menyatakan bahwa, ”Seorang individu yang terisolasi tak akan bisa mencapai kesempurnaan dengan dirinya sendiri, tanpa bantuan dari orang lain” (Penulis: Heri Ruslan, Republika Online).





BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Al Farabi dikenal sebagai "guru kedua" setelah Aristoteles. Dia adalah filosof Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tentang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah Islam.
Karya-karya Al Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah dalam jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya.
Pemikirannya meliputi pada filsafat politik, metafisika, kenabian, tasawuf, logika, tentang sepuluh kecerdasan, emanasi, dan kenegaraan. Pengaruh Al Farabi dengan dedikasi dan pengabdiannya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan telah membuatnya didaulat sebagai guru kedua setelah Aristoteles: pemikir besar zaman Yunani.

B.     Saran
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami menerima dengan baik kritik dan sarang yang sifatnya membangun.



DAFTAR PUSTAKA

Dian. “Pengantar Filsafat”.
Hermawan, A.Heris dan Yaya Suryana. 2011 ”Filsafat Islam”. Bandung: Insan Mandiri
Mustofa, A.. 1997. “Filsafat Islam”. Bandung: Pustaka Setia
Sudarsono. 2010 ”Filsafat Islam”. Jakarta: Rineka Cipta
Supriyadi, Dedi. 2010 “Filsafat Islam”. Bandung: Pustaka Setia
www.republika.co.id (Republika Online)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar