BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat Islam, secara tekstual pasti membahas mengenai Islam secara
umumnya dan secara khususnya membicarakan para pemikirnya yaitu para filosof Islamnya
itu sendiri.
Salah satunya Al-Farabi yang dikenal sebagai "guru kedua" setelah
Aristoteles. Dia adalah filosof Islam pertama yang berupaya menghadapkan,
mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik
dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks
agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah
(Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui
kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman
Plato dengan hukum Ilahiah Islam.
Pada kesempatan kali ini, kami ingin mencoba membahas tokoh filosof Islam
yaitu Al Farabi. Agar tidak keluar dari pembahasan, maka penulis memberikan
judul makalah ini Filsafat Al Farabi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut, di antaranya:
- Bagaimana
biografinya;
- Apa saja karya yang
dihasilkannya;
- Pemikiran tentang apa
saja yang dikemukakan oleh Al Farabi; dan
- Bagaimana pengaruh
pemikirannya terhadap para filosof.
C. Tujuan Penulisan
Menjadi harapan yang besar bagi kita, dengan berakhirnya
diskusi, mudah-mudahan kita bisa mendapatkan banyak tambahan ilmu pengetahuan,
khususnya mengenai filsafat Al Farabi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Al Farabi
Al
Farabi mempunyai nama asli Abu Nashr Ibnu Auzadagh Ibn Thirhan Al Farabi, ia
dilahirkan di desa Wasij kota Farab (Turkistan) pada tahun 257 H/ 870 M
(A.Heris Hermawan dan Yaya Suryana, 2011: 29). Beliau adalah seorang muslim
keturunan Parsi, anak dari Muhammad Ibn Auzalagh seorang panglima perang Parsi yang
menetap di Damsyik dan ibunya adalah wanita Turkistan (Sudarsono, 2010: 30).
Dikalangan orang-orang Latin Abad Tengah Al Farabi lebih dikenal dengan nama
Abu Nashr sedangkan sebutan Al Farabi diambil dari nama kota Farab tempat ia
dilahirkan (Dedi Supriyadi, 2010: 80).
Sejak
kecil Al Farabi suka belajar dan ia mempuyai kecakapan luar biasa dalam
lapangan bahasa. Di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai antara lain bahasa
Iran, Turkistan, dan Kurdistan, selain itu beliau juga belajar al-Quran,
ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
Setelah
menyelesaikan studi dasarnya Al Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi
lanjut tentang fiqh dan yang lainnya. Pada saat itu Bukhara merupakan ibu kota dan
pusat intelektual serta religius Dinasti Samaniyah, pada saat Al Farabi di Bukhara
Dinasti Samaniyah berada di bawah pemerintahan Nashr Ibnu Ahmad (874-892 M). Munculnya
Dinasti Samaniyah ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa
inilah Al Farabi mulai berkenalan dengan bahasa, budaya, dan filsafat Persia
juga musik (A.Heris Hermawan dan Yaya Suryana, 2011: 29).
Setelah
dewasa Al Farabi menuju Baghdad untuk belajar pada Abu Bisyr bin Mattius,
selama di Baghdad ia memusatkan perhatiannya pada ilmu logika, setelah itu ia
pindah ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru
pada Yuhanna bin Jilal, akan tetapi waktunya sebentar tidak lama kemudian ia
meninggalkan kota Harran untuk kembali ke Baghdad untuk mendalami filsafat
sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika). Selama 30 tahun ia
berdiam di Baghdad, selama waktu itu
ia pergunakan untuk belajar dan mengulas kembali buku-buku filsafat (Sudarsono,
2010: 30-31).
Pada
tahun 330 H (941 M) beliau kembali ke Damsyik dan di sinilah beliau mendapat
kedudukan yang yang baik dari Saifudaulah khalifah Dinasti Hamdan di Hallab
(Aleppo). Dalam perjumpaannya dengan Al Farabi Saifudaulah sangat terkesan
karena kemampuannya dalam bidang filsafat, musik, dan penguasaanya atas
berbagai bahasa. Sultan Saifudaulah memberinya kedudukan sebagai ulama istana
dengan tunjangan yang besar sekali tetapi Al Farabi lebih memilih hidup
sederhana (zuhud) dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya
memerlukan empat dirham saja sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhannya
sehari-hari. Selanjutnya sisa tunjangan jabatan yang diterimanya dibagi-bagikan
kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Kehidupan sufi yang
dijalani Al Farabi membuat ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan
waktunya tetap tercurah untuk karir filsafatnya sampai beliau wafat pada tahun
950 M dalam usia yang ke 80 tahun (A.Heris Hermawan dan Yaya Suryana, 2011: 30).
Al
Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar, memiliki keahlian dalam
bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta
mengupasnya dengan sempurna sehingga, filosof yang datang sesudahnya seperti
Ibn Sina (370 H/ 980M – 428 H/ 1037 M) dan Ibn Rusyd (520 H/ 1126M – 595 H/ 1198
M) banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Oemar Amin Huseini
menyatakan bahwa Ibn Sina telah membaca 40 kali buku metafisika karangan
Aristoteles bahkan hampir seluruh isi buku itu dihapalnya akan tetapi belum
dipahaminya, setelah membaca buku Al Farabi Tahqiq
Ghardah Aristhu Fi Kitabi ma Ba’da Ath-Thobi’ah yang menjelaskan maksud dan
tujuan metafisika Aristoteles barulah Ibn Sina memahaminya (Dedi Supriyadi,
2010: 81).
Dengan
demikian beliau adalah seorang ahli ilmu pasti dan seorang filosof yang ulung
bahkan beliau melebihi Al-Kindi dalam memberikan penjelasan maupun dalam
menerjemahkan dan menyusun kembali kitab-kitab filsafat Yunani (Sudarsono,
2010: 31). Maka beliau dianggap sebagai filosof yang paling terpelajar dan
tajam dari para komentator karya Aristoteles, dan Plato sehingga ia dijuluki
sebagai Al-Mua’lim Ats-Tsani (guru
kedua) sedangkan Al-Mu’alim Al-Awwal
(guru pertama) adalah Aristoteles (Dedi Supriyadi, 2010: 82).
Karya-karya Al Farabi bila
dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah dalam
jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit
sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam
pembicaraannya. Sebagian karangan Al Farabi masih ditemukan di beberapa
perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabadikan namanya.
Ciri khas tertentu yang ada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab
besar atau makalah-makalah, namun juga memberi ulasan-ulasan dan penjelasan
terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraudismy dan Plotinus.
Karya-karya nyata dari Al Farabi
adalah:
1.
Al jami’u Baina
Ra’yai Al Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/ penggabungan
pendapat antara Plato dan Aristoteles)
2.
Tahsilu as
Sa’adah (mencari kebahagiaan)
3.
As Suyasatu Al
Madinah (politik pemerintahan)
4.
Fususu al Taram
(hakikat kebenaran)
5.
Arroo’u Ahli
AlMadinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintah)
6.
As Syiyasyah
(ilmu politik)
7.
Fi Ma’ani Al
Aqli
8.
Ihsho’u Al Ulum
(kumpulan berbagai ilmu)
9.
Isbatu Al
Mufaraqat.
10.
Al Ta’liqat (A.
Mustafa, 1997: 127-128)
B.
Pemikiran-pemikiran Al Farabi
a)
Filsafat Al
Farabi
Secara etimologis, istilah filsafat,
yang merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab) dan Philosohy (bahasa
Inggris) berasal dari bahasa Yunani. Kata philosophy diambil dari
perkataan Yunani: philos (suka, cinta) dan sophia (kebijaksanaan).
Jadi kata itu berarti: cinta kepada kebijaksanaan. Pengertian filsafat dari
segi praktisnya berarti “alam pikiran” atau “alam berpikir”. Berfilsafat artinya
berpikir. Akan tetapi, tidak semua berpikir itu adalah berfilsafat. Berfilsafat
adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh (Dr. Dian: 2).
Al Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu
bilmujudaat bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu menyelidiki
hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Al
Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga
berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles,
sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam
tujuannya.
b)
Filsafat politik
Al
Farabi berpendapat, bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai
bentuk tindakan, cara hidup, watak, disposisi positif dan akhlak. Semua
tindakan dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat
melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan dengan
cara yang baik dapat diteliti.
Ada dua macam problem politik yaitu:
1)
Pemerintahan
atas dasar penegakan terhadap tindakan-tindakan yang sadar, cara hidup,
disposisi positif. Dasar ini dapat dijadikan upaya untuk memperoleh
kebahagiaan. Pemerintahan atas dasar demikian disebut pemerintahan utama,
dimana sebagai ciri kota-kota dan bangsa-bangsanya tunduk terhadap
pemerintahan.
2)
Pemerintahan
atas dasar penegakan terhadap tindakan-tindakan dan watak dalam rangka mencapai
sesuatu yang diperkirakan mendapat suatu kebahagiaan, maka muncul beraneka
ragam bentuk pemerintahan, apabila yang dikejar kejayaan semata dapat dianggap
sebagai pemerintah yang rendah, jika mengejar kehormatan disebut pemerintahan
kehormatan, dan pemerintahan bergantung kepada apa yang menjadi tujuannya.
c)
Filsafat
metafisika
Persoalan-persoalan
filsafat telah dibahas oleh filosof sebelumnya, baik dari Yunani, Persia atau
yang lainnya, meski pemecahan yang dilakukan mereka saling berlawanan. Al
Farabi dalam usaha memecahkan persoalan tersebut tidak terlepas murni dari
pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh mereka itu. Di antara persoalan itu
adalah Esa dan berbilang.
1)
Ilmu ketuhanan
Al
Farabi membagi ilmu ketuhanan menjadi tiga yaitu:
1.
Membahas semua
wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud.
2.
Membahas
prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat yaitu ilmu yang berdiri
sendiri karena penelitiannya tentang wujud tertentu.
3.
Membahas semua
wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu.
2)
Wujud
Al
Farabi membagi wujud kepada dua bagian yaitu:
1.
Wujud yang
mungkin atau wujud yang nyata karena lainnya. Seperti wujud cahaya yang
sekiranya tidak akan ada, kalau tidak ada matahari.
2.
Wujud nyata
dengan sendirinya. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan.
3)
Sifat-sifat Tuhan
Tuhan
adalah tunggal. Ia tidak berbeda dari zat-Nya. Tuhan merupakan akal (pikiran)
murni, karena yang menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi objek pemikiran
adalah benda, maka sesuatu itu berada. Apabila wujud sesuatu tidak membutuhkan
benda, maka sesuatu itu benar-benar akal.
Dari beberapa uraian, nampaknya Al Farabi berusaha keras
dalam menunjukkan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya dan bahwa zat yang
merindukan pula (al asyiq dan al ma’suq).
d)
Filsafat
kenabian
Persoalan
kenabian ada pada agama. Tetapi agama yang dimaksud adalah agama samawi/ langit,
dimana secara esensial berasal dari pemberitahuan wahyu dan ilham (inspirasi).
Berdasarkan wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendi-sendinya menjadi tegak.
Seorang nabi hanyalah manusia biasa, ia diberi kemampuan untuk berhubungan
dengan Allah dan mengekspresikan kehendaknya, sebagai keistimewaannya. Agama Islam
adalah agama langit yang ajarannya berasal dari langit dan sumber utamanya
adalah kitab suci dan as sunnah. Dan
Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang
diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (Q.S. An Najm: 3-5)
Apabila ada orang yang mengingkari
wahyu berarti menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan tindakan ini
merupakan pelanggaran Allah. Sebagai orang muslim sudah tentu akan mengimani
apa yang datang dari wahyu.
1)
Keraguan dalam
soal kenabian di dalam Islam
Kaum
muslimin dalam kehidupan masyarakatnya, berbaur dengan unsur asing yang banyak
menyembuhkan racun di kalangan mereka. Meskipun mereka tidak meninggalkan sama
sekali prinsip-prinsip agama Islam. Tetapi mereka meletakkan sebagai posisi kritik,
keraguan dan penyesatan. Hal ini disebabkan ada unsur-unsur yang dipancangkan
agama telah kehilangan nilai religiusitasnya, dan ada perbedaan baru yang telah
menegaskan ketinggian dan keluhurannya. Maka unsur-unsur asing bergolak dan
mulai memerangi Islam, sehingga untuk menerima Islam (mengakui nabi) menjadi
ragu dan penuh praduga. Namun usaha tersebut sia-sia dan gagal, karena
kebenaran wahyu tidak dapat dibantah dan keutuhannya akan terjaga. Firman-Nya: Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya.
(Q.S. Al-Hijr: 9)
2)
Sikap Al Farabi
terhadap keraguan dan pengingkaran kenabian
Teori
kenabian yang telah dicapai oleh Al Farabi yang dihubungkan dengan soal-soal sosial
dan kejiwaan. Maka nabi dan filosof, menurut Al Farabi adalah dua pribadi shaleh
yang akan memimpin negeri utama, dimana keduanya dapat berhubungan dengan akal
fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan
negeri itu. Perbedaan keduanya, apabila nabi meraih hubungan ini melalui
imajinasi, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa atau kajian.
e)
Pola pikir
tasawuf
Al
Farabi sebagai seorang filosof telah menghimpun berbagai konsepsi dimana
sendi-sendinya menjadi suatu mata rantai yang saling berkaitan. Dalam hal ini
kita bisa melihat teori sufi yang merupakan bagian dari pandangan filosofis Al
Farabi. Bukti yang paling kuat dalam masalah ini adalah adanya korelasi yang
kuat untuk menghubungkan tasawuf dengan teori-teori Al Farabi yang lain, baik
psikologis, moral, maupun politik.
Dalam lapangan tasawuf Islam mempunyai kajian yang luas
sekali, meskipun sudah banyak orang yang mengkajinya, seperti Al Kindi dan
lain-lain, namun pembahasan-pembahasan mereka belum lengkap dan masih banyak
pemikiran-pemikiran filsafat dan tasawuf yang belum kita ketahui secara gamblang.
Hal tersebut Al Farabi merupakan salah seorang yang
merupakan sumber tertua bagi pemikiran-pemikiran tasawuf di kalangan filosof-filosof
Islam, karena ia adalah orang yang pertama membentuk filsafat Islam dengan
lengkap, dimana teori tasawufnya merupakan salah satu bagiannya yang penting
dan yang menyebabkan filsafat Islam mempunyai corak yang berbeda dengan
pemikiran-pemikiran filsafat yang lain.
f)
Logika
Sebagian
besar karya Al Farabi dipusatkan pada studi tentang logika. Tetapi hal ini
hanya terbatas pada penulisan kerangka Organon, dalam versi yang dikenal oleh
para sarjana Arab pada saat itu. Al Farabi menyatakan bahwa: “seni logika, umunya, memberikan
aturan-aturan, yang bila diikuti dapat memberikan pemikiran yang besar dan
mengarahkan manusia secara langsung kepada kebenaran dan menjauhkan dari
kesalahan-kesalahan”. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah
dimengerti, sebagaimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu
mantra dengan syair. Ia menekankan praktik dan penggunaan aspek logika, dengan
menunjukkan bahwa pemahaman dapat diuji lewat aturan-aturannya, sebagaimana
dimensi, volume, dan massa ditentukan oleh ukuran.
g)
Teori Al Farabi
tentang sepuluh kecerdasan
Teori
Al Farabi menempati bagian penting dalam filsafat muslim, ia menerangkan dua
dunia, langit dan bumi, ia menafsirkan gejala gerakan dua perubahan. Ia
merupakan dasar fisika dan astronomi. Bidang utama garapannya ialah pemecahan
masalah Yang Esa dan yang banyak dan pembagian antara yang berubah dan yang
tetap.
Ia
berpendapat bahwa Yang Esalah memancar yang lain, berkat kebaikan dan
pengetahuan sendiri-Nya. Pemancaran ini merupakan kecerdasan pertama. Dengan
demikian pengetahuan sama dengan ciptaan, karena cukuplah melukiskan sesuatu
untuk mengadakannya. Kecerdasan (inteligensi) pertama mungkin dengan
sendirinya, perlu oleh yang lain, dan ia memikirkan Yang Esa dan dirinya. Ia
adalah satu dalam dirinya, dan banyak berkat pertimbangan-pertimbangan ini.
Dari sinilah Al Farabi memulai langkah pertama ke arah pelipatan. Dari
pemikiran oleh inteligensi pertama Yang Esa, lahirlah inteligensi lain. Karena
pemikirannya tentang dirinya sendiri bisa terjadi pada dirinya memancarkan
materi dan bentuk langit pertama, sebab setiap lingkaran (sphere)
mempunyai bentuk tersendiri yang adalah ruhnya. Baginilah rantai pemancaran
berlangsung hingga melengkapi sepuluh inteligensi sembilan lingkaran dan
sembilan ruh mereka. Inteligensi kesepuluh dan terakhir, atau inteligensi agen,
adalah yang mengatur dunia fana ini. Dan dari inteligensi inilah mengalir
ruh-ruh manusia dan empat unsur.
Al Farabi melalui ajaran sepuluh inteligensi ini,
memecahkan masalah gerak dan perubahan. Ia menggunakan teori itu pula ketika
memecahkan masalah Yang Esa dan yang banyak, dan dalam penciptaan. Materi itu
tua, setua sepuluh inteligensi. Untuk mengukuhkan keesaan Tuhan Al Farabi
memilih menengahi sepuluh inteligensi ini antara Tuhan dan dunia bumi.
Unsur-unsur teori sepuluh inteligensi dapat dilacak pada
sumber asal mereka yang berbeda-beda. Aspek astronominya identik sekali dengan
penafsiran Aristoteles dengan gerak lingkungan. Teori pemancaran diperoleh dari
Plotinus dan aliran Alexandria. Tetapi secara keseluruhan, hal itu merupakan
suatu teori Al Farabi, yang ditulis dan diformulasikan untuk menunjukkan
kesatuan kebenaran dan metodanya tentang pengelompokan dan sintesis. Ia
memadukan Plato, Aristoteles, agama, dan filsafat. Teori ini berhasil baik di
kalangan filosof Timur dan Barat abad pertengahan. Tetapi usaha pemaduan
seperti itu memaksa beberapa konsensi dari satu pihak atau beberapa pihak, dan
bila hal ini menyenangkan beberapa orang, maka terdapat pula orang lain yang
menyesalkannya. Kemudian teori ini dipegang kuat oleh Ibnu Sina yang
merangkumkannya dan memaparkannya, sedangkan Al Ghazali menolak keras. Di
antara sarjana-sarjana Yahudi, Ibnu Gabriol sedikit pun tak mengacuhkannya,
sedang Maimonides secara antusias berpegang padanya. Meski sarjana-sarjana
Kristen berkeberatan terhadap teori ini, namun teori ini membuat mereka hormat
dan menghargainya. (A. Mustofa, 1997: 128-159)
h) Emanasi (Pancaran)
Al Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya
dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan
antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan
tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin
al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses
terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang
diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”.
Tuhan senantiasa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi
obyek pemikiran. Al Farabi memberi tiga istilah yang disandarkan pada Tuhan: al-‘Aql
(akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal,
sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran
akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi Al Farabi adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I.
Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan
Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2. Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga
melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3. Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga
melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4. Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga
melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5. Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga
melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6. Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga
melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7. Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga
melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8. Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga
melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9. Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga
melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10. Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga
melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama
(hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X
ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril
yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori:
1) Esensinya tidak berfisik (baik yang tidak
menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang
menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]).
2) Esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit,
manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu:
api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran Al Farabi yang lain adalah tentang jiwa.
Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa
dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa
jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs
al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad
berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.
Jiwa manusia menurut Al Farabi, memiliki tiga daya:
1) Daya gerak (quwwah muharrikah), berupa:
makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan
berkembang biak (muwallidah, reproduction);
2) Daya mengetahui (quwwah mudrikah),
berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination);
dan
3) Daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah,
intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql
nazharī).
Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada tiga tingkatan:
1) Al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material
intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti
atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya;
2) Al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual
intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan
arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan
lagi dalam bentuk potensial;
3) Al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan,
acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa
terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati
materi.
Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu
menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql
fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal
aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan
antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.
i)
Filsafat kenegaraan
Terkait filsafat kenegaraan, Al Farabi membagi negara ke
dalam lima bentuk. Pertama ada negara utama (al-madinah al-fadilah). Inilah
negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Bentuk negara ini dipimpin
oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filosof. Kedua negara orang-orang
bodoh (al-madinah al-jahilah). Inilah negara yang penduduknya tidak mengenal
kebahagiaan.
Ketiga negara orang-orang fasik. Inilah negara yang
penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan
penduduk negara orang-orang bodoh. Keempat negara yang berubah-ubah (al-madinah
al mutabaddilah). Penduduk negara ini awalnya mempunyai pikiran dan pendapat
seperti yang dimiliki penduduk negara utama, tetapi mengalami kerusakan. Kelima
negara sesat (al-madinah ad-dallah). Negara sesat adalah negara yang pemimpinnya
menganggap dirinya mendapat wahyu. Ia kemudian menipu orang banyak dengan
ucapan dan perbuatannya.
C. Pengaruh Pemikiran Al Farabi
Second teacher alias mahaguru kedua. Begitulah Peter
Adamson pengajar filsafat di King’s College London, Inggris, menjuluki Al
Farabi sebagai pemikir besar Muslim pada abad pertengahan. Dedikasi dan
pengabdiannya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan telah membuatnya didaulat
sebagai guru kedua setelah Aristoteles: pemikir besar zaman Yunani.
Sosok dan pemikiran Al Farabi hingga kini tetap menjadi
perhatian dunia. Dialah filosof Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta
menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam. Sehingga, bisa
dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh
besar terhadap dunia Barat.
Kontribusi ilmuwan besar:
·
Logika
Al Farabi adalah ahli logika muslim pertama yang
mengembangkan logika no-Aristotelian. Dia membagi logika ke dalam dua kelompok,
pertama ide dan kedua bukti.
·
Musik
Selain seorang ilmuwan, Al Farabi juga seorang seniman.
Dia mahir memainkan alat musik dan menciptakan beragam instrumen musik dan
sistem nada Arab yang diciptakannya hingga kini masih tetap digunakan musik
Arab. Dia juga berhasil menulis Kitab Al-Musiqa – sebuah buku yang mengupas
tentang musik. Bagi Al Farabi, musik juga menjadi sebuah alat terapi.
·
Fisika
Al Farabi juga dikenal sebagai ilmuwan yang banyak
menggali pengetahuan tentang eksistensi alam dalam fisika.
·
Psikologi
Social Psychology and Model City merupakan risalah
pertama Al Farabi dalam bidang psikologi sosial. Dia menyatakan bahwa, ”Seorang
individu yang terisolasi tak akan bisa mencapai kesempurnaan dengan dirinya
sendiri, tanpa bantuan dari orang lain” (Penulis: Heri Ruslan, Republika
Online).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Al Farabi dikenal sebagai "guru kedua" setelah
Aristoteles. Dia adalah filosof Islam pertama yang berupaya menghadapkan,
mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik
dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks
agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah
(Kota atau Negara Utama) yang membahas tentang pencapaian kebahagian melalui
kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman
Plato dengan hukum Ilahiah Islam.
Karya-karya
Al Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah
dalam jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan
sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam
pembicaraannya.
Pemikirannya meliputi pada filsafat politik, metafisika,
kenabian, tasawuf, logika, tentang sepuluh kecerdasan, emanasi, dan kenegaraan.
Pengaruh Al Farabi dengan dedikasi dan pengabdiannya dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan telah membuatnya didaulat sebagai guru kedua setelah Aristoteles:
pemikir besar zaman Yunani.
B. Saran
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu kami menerima dengan baik kritik dan sarang
yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Dian. “Pengantar
Filsafat”.
Hermawan,
A.Heris dan Yaya Suryana. 2011 ”Filsafat Islam”.
Bandung: Insan
Mandiri
Mustofa, A.. 1997. “Filsafat Islam”. Bandung: Pustaka Setia
Sudarsono. 2010
”Filsafat Islam”. Jakarta: Rineka
Cipta
Supriyadi, Dedi. 2010 “Filsafat Islam”. Bandung: Pustaka Setia
www.republika.co.id (Republika Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar