BAB I
PENDAHULUAN
I.1 latar belakang masalah
Islam adalah agama yang mementingkan
perihal pendidikan. Dalam Al-Quran sendiri terdapat perintah mencari ilmu, yang
terdapat pada permulaan surat Al-‘Alaq:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.”
Dari ayat tersebut timbulah keinginan
manusia untuk menunaikan perintah Allah tersebut dengan cara mencari ilmu
tentang segala hal. Dari ilmu itu sendirilah timbul aliran-aliran Filsafat
terdahulu.
Sistem pendidikan masa kini, yang meskipun terus mengalami
perubahan kurikulum, telah menimbulkan keresahan bagi kita. Terutama tentang
masalah yang menjadi trending topic saat ini, yaitu banyaknya tawuran
pelajar yang terjadi di daerah metropolitan. Maka, tiada salahnya jika kita
kaitkan pendidikan masa kini kepada model filsafat pendidikan masa dulu.
Masa ini lebih menghargai para penemu sains muslim, meskipun
sebenarnya terbukti bahwa mereka adalah para filosof, tetapi pemikirannya ini
yang justru ditinggalkan. Padahal semestinya filsafat Islam itu berkarakter
Islami, tentu tak akan merubah apa pun dalam dunia pendidikan Islam, yang ada
adalah membuatnya menjadi semakin baik. Filsafat itu tidak bisa dipisahkan dari
Islam. Tambahan, bahwa sistem pendidikanlah yang menjadikan filosof-filosof Islam
menjadi ilmuwan. Maka, pada makalah ini, akan dibahas pemikiran kelompok Ikhwan
Ash Shofa, terutama tentang pemikirannya tentang pola pendidikan.
I.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pembahasan mengenai biografi Ikhwan Ash Shofa?
2.
Apa saja
karya-karya Ikhwan Ash Shofa?
3.
Bagaimana
penjelasan tentang filsafat Ikhwan Ash Shofa?
4.
Bagaimana
konsep pendidikan menurut Ikhwan Ash Shofa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI
Ikhwan Ash Shofa adalah perkumpulan para
mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan dalam bidang dakwah
dan pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada abad kedua Hijriah di kota
Bashrah, Irak.[1] Identitas kelompok ini
tidak jelas karena mereka bersama para anggota merahasiakan diri dan aktivitas
mereka. Menurut informasi As-Sijistani, para pemuka mereka adalah Abu Sulaiman
Al-Busti, Abu Al-Hasan Az-Zanjani, Abu Ahmad An-Nahrajuri, Abu Hasan Al-Aufi,
dan Zaid bin Rita’ah. Kalangan Syiah terutama isma’iliah mengklaim bahwa ikhwan
Ash-Shafa adalah kelompok dari kalangan mereka. Kendati identitas mereka tidak
jelas, risalah ensiklopedia yang mereka hasilkan itu, menurut Abu Hayyan
At-Tauhidi dan dara internal dalam risalah mereka, dapat disimpulkan berasal
dari masa antara tahun 347H/958 M sampai tahun 373 H/983 M atau dari perempat
ketiga abad ke-4 H. pusat kegiatan mereka di kota Basrah, tetapi di Baghdad
juga terdapat cabang dari kelompok rahasia itu. Pemikiran mereka sangat layak
dikaji karena lebih dari sekadar kajian artificial, disamping ihkwan ash shafa
sangat dikenal di Timur Tengah, sebagaimana Hegel, Kant dan Voltaire yang
sangat dikenal di Barat. Penyebutan diri mereka sebagai “ Orang-orang yang tertidur dalam gua Adam” sebagaimana
dalam kitabnya Rasa’il yang diambil dari Al-Quran dan Tujuh Orang yang Tertidur
dalam legenda Epheus, mencerminkan misteri identitas mereka. Pengaruh Plato,
Aristoteles dan terutama Plotinus ada dalam filsafat ikhwan,
Kota
Basrah merupakan tempat asal Ihkwan. Sumber-sumber Arab menyebutkan nama
masing-masing secara berlainan dan barangkali ini merupakan tindakan
kerahasiaan yang berhasil mereka upayakan pada masa itu sehingga hanya sedikit
sekali yang kita ketahui tentang kehidupan mereka pada zaman kita sekarang. Laksana
perkemahan kekasih yang telah ditinggalkan dalam syair kuno, jejak-jejak
perjalanan kehidupan mereka meredup dan tinggal bayang-bayang.
Jemaah ikhwan terdiri dari empat kelompok
yaitu: 1) Al-Ikhwan Al-Abrar Ar-Ruhama, (para saudara yang baik dan
dikasihi) berusia antara 15-29 tahun. 2) Al-Ikhwan Al-Akhyar Al-fudala (para yang terbaik dan utama)
berusia antara 30 sampai 39 tahun, 3)Al-Ikhwan Al-Fudala Al-Kiram (para
saudara yang utama dan mulia), berusia antara 40-49 tahun dan 4) kelompok
yang berusia 50 keatas, kelompok elit
yang hati mereka telah terbuka dan menyaksikan kebenaran dengan mata hati. [2]
Organisasi ini antara lain mengajarkan
tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan pada persaudaraan Islamiyah
(Ukhuwah Islamiyah), yaitu suatu sikap yang memandang iman seseorang muslim
tidak akan sempurna keuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri. Sebagai sebuah organisasi ia memiliki
semangat dakwah tabligh yang amat militan dan kepedulian yang tinggi terhadap
orang lain. Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan mubaligh
terhadap orang lain yang terdapat di mastarakat.
Informasi lain menyebutkan bahwa
organisasi ini didirikan oleh kelompok masyarakat yang terdiri dari para
filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia dan memiliki missi
politis. Namun bersamaan dengan itu ada pula yang mengatakan pendidikan dan
penggajaran yang berkenaan dengan pembentuk pribadi, jiwa dan akidah.[3]
B.
KARYA – KARYA IKHWAN ASH-SHAFA’
Ikhwan Ash-Shafa’
menghasilkan sebagian magnus opus
(masterpiece)-nya yang terhimpun kedalam sebuah tulisan yang terdiri dari
52 Risalah dengan keluasan dan
kualitas beragam yang terkaji subjek-subjek berspektrum luas dari musik smpai
sihir. Tekananya bersifat amat didaktik. Sedangkan kandunganya sangat eklektik.
Ini memberikan cerminan paedagogis dan kultural mereka serta beragam filsafat
dab kredo masa itu. Rasa’il sendiri di bagi dengan apak menjadi empat
bagian utama : 14 terfokus pada ilmu matematis
17 membahas ilmu kealaman, 10 berhubungan dengan ilmu Psikologis dan
intelektual, dan 11 mengakhiri empat jilid edisi Arab terakhirb dengan memusatkan pada apa yang disebut matefisika
atau ilmu teologis.
Aspek pokok Rasa’il adalah bagian utama yang
menampilkan perdebatan antara manusia dan para utusan dari kerajaan
binatang; ini mengisi sebagian Risalah Ke -22 yang berjudul On How Animals and Their Kinds are Formed (Netton
[1982]:2). Bagian ini telah di telaah secara ilmiah, dianalisis secara tejemah
oleh L.E. Goodman (1978).
Namun, Sayyed
Hossein Nasr (1978: 39) memperingatkan bahwa “sumber-sumber mengenai Ikhwan , hendaknya tidak diangap
sebagai teks historis semata.” Dia menerjemahkan bagian dari suatau wacana (Rasa’il, 4:42), yang didalamya “mereka
sendiri menginformasikan kepada pembaca mengenai universalitas sumber-sumber
mereka, dengan memasukan wahyu dan alam, di samping teks-teks tertulis,”
sebagai berikut :
Kita telah mengambil pengetahuan dari empat buku. Buku pertama berisi ilmu-ilmu matematis dan
kealaman yang telah dibangun oleh orang-orang bijak dan para filisuf. Kedua, terdiri atas kitab-kitab wahyu, seperti taurat, injil, dan Al-Qur’an,
dan lembaran-lembaran catatan (Shuhuf- peneremah). Lain yang dibawa oleh
para nabi melalui wahyu. Ketiga, buku-buku tentang alam yang merupakan gagasan-gagasan
(shuwar) dan pengertian paltonik mangenai bentuk-bentuk (asykal) ciptaan
yang secara aktual ada, dari susunan benda-benda langit, pembagian zodiac,
gerak bintang, dan sebagainya…. Hingga perubahan unsur-unsur, produksi berbagi
jenis mineral, tumbuhan dan binatang, dan berbagai ragam industry manusia….Keempat,
terdiri atas buku-buku ilahiah yang hanya menyentuh orang-orang suci dan
malaikat man yang dekat dengan mahluk-mahluk pilihan, serta jiwa-jiwa yang
mulia yang suci.
Pengetahuan
Ikhwan Ash-Shafa’ membagi pengetahuan pada tiga kelompok, yaitu :
1. Pengatahuan adab/sastra,
2. Pegetahuan syariat, dan
3. Pengetahuan filsafat. Pengetahuan
filsafat, mereka bagi menjadi empat bagian. Yaitu;
a. Pengetahuan matematika,
b. Pengetahuan logika,
c. Pengetahuan Ilahiah/metafisika.
Pengetahuan syariat adalah pengetahuan nibuwwah yang di sampaikan oleh
para nabi, merupakan hasil upaya jiwa manusia. Bagi mereka, pengetahuan mulia
adalah penegtahuan syariat atau nibuwwah, yakni pengetahuan yang
diperoleh para nabi melaluai wahyu, sedangkan yang paling mulia sesudahnya
adalah pengetahuan filsafat. Yakni pengetahuan yang diperoleh tidak melalui
wahyu, tetapi melalui pikiran akal yang mendalam.
Dilihat dari segi objek pengetahuan,
dalam pengajaran Ikhwan Ash-Shafa’ , pengetahuan yang paling mulia adalah
pengetahuan tentang Tuhan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya, kemudian
menyusul pengetahuan tentang hakikat jiwa. Hal-ihwalnya dan hubungan dengan
raga (tubuh), keberadaanya yang sementara dalam tubuh, kelepasan dari tubuh,
dan keberadaanya kembali di alam jiwa. selanjutnya pengetahuan tentang hari
bangkit (kiamat), hari berhimpun, hari perhitungan amal, hari masuk
surga/neraka dan perjumpaan dengan Tuhan. Mereka mengajarkan bahwa para jemaah
Ikhwan Ash-Shafa’ mempelajari semua pengetahuan, tidak mengabaikan suatu buku
dan tidak fanatik terhadap salah satu mazhab agama.
C.
FILSAFAT
Filsafat, menurut anggota Ikhwan Ash-Shafa’, memiliki tiga taraf,
yaitu:
1.
Taraf
permulaan, yakni mencintai pengetahuan
2.
Taraf
pertengahan, yakni mengetahui sejauh mana hakikat manusia dari segala yang ada
3.
Taraf akhir,
yakni berbicara dan beramal dengan sesuatu yang sesuai dengan pengetahuan.
Kemudian mengenai lapangan filsafat, dikatakannya ada4, yaitu:
1.
Matematika
2.
Logika
3.
Fisika
4.
Ilmu ketuhanan.
Ilmu ini mempunyai 4 bagian:
a.
Mengenai Tuhan.
b.
Ilmu
kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan.
c.
Ilmu kejiwaan,
yaitu mentahui ruh-ruh dan jiwa-jiwa yang ada pada benda-benda alam.
d.
Ilmu politik, yang
mencakup politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum, politik khusus
(rumah tangga) dan lain-lain.[4]
Menurut
mereka filsuf atau orang bijak (hakim) adalah orang yang perbuatan, aktifitas
dan akhlaknya kokoh, pengetahuannya hakiki, tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan bahaya dan tidak
pula meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Tujuan filsafat dalam pengajaran
mereka adalah menyerupai Tuhan (a-tasyabbuh bi al-ilah) sejauh kemampuan
manusia. Untuk mencapai tujuan itu, manusia harus berijtihad (berupaya
sungguh-sungguh) menjauhkan diri dari : berkata bohong dan meyakini aqidah yang
batil, pengetahuan yang keliru dan akhlak yang rendah, serta berbuat jahat dan
melakukan pekerjaan secara tak sempurna.
1.
Filsafat Alam
Sebagaimana Al-Farabi, ikhwan Ash-Shafa’ juga menganut paham
penciptaan alam oleh Tuhan melalui cara emanasi. Namun, paham emanasi mereka
berbeda dengan paham emanasi Al-Farabi. Menurut paham emanasi mereka, Tuhan
memancarkan akal universal atau akal aktif. Akal universal memancarkan jiwa
universal. Jiwa universal lalu memancarkan materi pertama, yaitu bentuk dan
jiwa dan dari materi pertama, muncul tabiat-tabiat yang menyatu dengan jiwa.
Jiwa universal dengan bantuan akal universal menggerakan materi pertama
sehingga mengambil bentuk yang memiliki dimensi panjang. Dengan demikian
terwujud tubuh yang mutlak, dan dengan tubuh mutlak itu , tersusun alam
falak/langit dan unsur yang empat (tanah, air, udara, api). Karena pengaruh
gerakan langit yang berputar-putar, terjadi percampuran unsur-unsur yang empat
sehingga muncul mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Di alam langit,
yang lebih dahulu muncul adalah wujud yang lebih mulia (akan universal,
kemudian jiwa universal, dan seterusnya). Adapun dibumi yang paling akhir mucul
adalah yang paling mulia (didahului oleh mineral, kemudian tumbuhan, kemudian
hewan, dan terakhir baru muncul manusia).
Bila diurutkan dari yang pertama muncul wujud itu dari yang pertama
sampai yang terakhir, urutannya adalah : (1) Tuhan, (2) akal universal, (3)
jiwa universal, (4) materi pertama dan bentuk, (5) tabiat, (6) tubuh mutlak,
(7) falak/langit, (8) unsur yang empat (tanah, air, udara dan api), dan (9)
yang dilahirkan dari empat unsur mulai benda-benda mineral, tumbuhan, binatng,
dan manusia.
Menurut Al-Farabi,
penciptaan alam merupakan akibat aktivitas Tuhan berpikir tentang diri-Nya,
maka pada filsafat Ikhwan Ash-Shafa’, penciptaan alam oleh Tuhan adalah
manifestasi kepemurahan Tuhan. Tuhan menciptakan segenap alam rohani dan
potensi alam raga yang tersusun. Ia menciptakan segenap alam rohani sekaligus,
sedangkan alam raga yang tersusun diciptakan-Nya berangsur-angsur dengan mengubahnya
dari keberadaan potensial pada keberadaan aktual.
Tuhan adalah wujud
Yang MahaSempurna. Sejak azali, pada diri-Nya terdapat bentuk-bentuk dari
(pengetahuan tentang) segala wujud yang ada. Bentuk-bentuk dari segala yang ada
itu dilimpahkan-Nya kepada akal universal secara langsung, dan kepada universal
melalui akal universal. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Tuhan adalah guru akal
universal, akal universal adalah guru jiwa universal, jiwa universal adalah
guru para malaikat, para malaikat adalah guru para nabi dan filsuf, sedangkan
para nabi dan filsuf adalah guru segenap manusia. Pada jiwa manusia,
bentuk-bentuk atau segenap pengetahuan itu, pada mulanya belum ada secara
actual, tetapi ada secara potensial saja. Melalui berbagai jalan (tangkapan indera,
pemikiran akal instingtif, akal yang diupayakan, atau melalui ilham dan wahyu)
pengetahuan itu mengaktual dalam jiwa manusia secara bertahap.
2.
Filsafat dan
angka
Membaca selintas teks Rasa’il akan menemukan betapa besar perhatian
Ikhwan pada angka. Sebaliknya, seseorang mempelajari terlebih dahulu matematika
dan bilangan sebelum mempelajari cabang-cabang pengetahuan lain (yang lebih
tinggi), seperti fisika, logika dan ketuhanan (Rasa’il, 1;49). Ikhwan memegang
“keyakinan Phytagorean bahwa sifat dasar hal-hal yang diciptakan adalah sesuai
dengan sifat dasar bilangan” dan menyatakan, “inilah mazhab pemikiran Ikhwan
kami” (Netton[1982]:10). Mereka juga mengikuti kaum Phytagorean dalam hal
kepeduliannya yang besar pada angka-angka tertentu. Secara khusus, Ikhwan
memberikan perhatian khusus terhadap angka empat, suatu penghormatan yang
melampaui bidang matematika murni: mereka menaruh perhatian, misalnya, pada
empat musim, empat angin, empat arah mata angin, dan empat unsure empedoclean.
Terdapat empat sifat dasar dan empat jenis cairan dalam diri manusia. Kecapi
mempunyai empat senar dan bahkan materi dapat dibagi menjad empat jenis.
Menurut Ikwan Ash-Shafa’, seorang dapat belajar tentang keesaan
Tuhan dengan mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan angka dan mereka
menyatakan, “Pythagoras percaya bahwa yang kedua menuntun ke yang pertama
(Rasa’il, 3:200). Kendatipun mencurahkan perhatian mereka pada bilangan, Ikhwan
berusaha menghindarkan diri dari kesalahan utama dari kaum Pythagorean, seperti
dicatat oleh Aristoteles, ketika angka dan hal yang diangkakan dihancurkan.
Mereka juga menolak gagasan-gagasan Pythagorean tentang perpindahan jiwa
(reinkarnasi), dan lebih berpegang pada gagasan bahwa penyucian yang tercapai
dalam satu kali kehidupan di bumilah yang dapat memasukkan manusia kedalam
surga (Netton [1982]: 12-14).
3.
Manusia dan
Jiwa
Seperti
halnya Al-Kindi, Ar-Razi, dan Al-Farabi , Ikhwan Ash-Shafa’ memandang manusia
terdiri dari dua unsure, yaitu jiwa yang bersifat imateri, dan tubuh yang
merupakan campuran dari tanah, air, udara, dan api. Dalam salah satu tulisan
mereka, dikatakan bahwa masuknya jiwa kedalam tubuh merupakan hukuman kepada
jiwa yang telah melakukan pelanggaran (melanggar larangan Tuhan, seperti dalam
kisah Adam dan Hawa). Karena pelanggaran itu, jiwa diusir dari surge, yakni
alam rohani dan harus turun kebumi, masuk kedalam tubuh. Dengan hukuman itu,
jiwa yang semulanya memiliki pengetahuan yang banyak secara actual, setelah
memasuki tubuh, menjadi lupa sama sekali dengan pengetahuannya, dan jadilah
pengetahuan itu terdapat dalam jiwa secara potensial saja. Dengan bantuan tubuh
dan pancaindera tubuh sebagai alat jiwa, secara berangsur-angsur jiwa manusia
dapat memiliki kembali pengetahuan secara actual. Dalam versi lain, tidak
tergambar bahwa keterusiran Adam a.s. dari surga ke bumi adalah keterusiran
jiwanya dari alam rohani, yang merupakan surga bagi jiwa, masuk kedalam tubuh
yang ada di bumi. Tulisan versi ini menggambarkan bahwa Adam a.s. dan
pasangannya Hawa, berada disurga, yakni taman yang subur dan menyenangkan yang
terletak di suatu tempat yang tinggi di bumi juga. Karena setan berhasil menipu
keduanya sehingga keduanya melanggar larangan Tuhan, keduanya diusir dari
tempat yang tinggi itu dan harus turun ketempat yang lebih rendah di bumi,
menjalani kehidupan yang jauh lebih susah karena tempatnya yang baru bukan
merupakan taman yang subur.
Lepas
dari masalah sebab keberadaan jiwa dalam tubuh manusia, jiwa manusia, menurut
Ikhwan Ash-Shafa’, karena berada didalam tubuh, awalnya tidak mengetahui
apa-apa, tetapi memiliki kemampuan untuk menerima pengetahuan secara
berangsur-angsur. Manusia haruslah dididik sedemikian rupa dengan ajaran-ajaran
yang diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga mengaktual pada jiwanya
pandangan keyakinan dan pengetahuan yang benar, baik tentang realitas maupun
tentang apa yang seharusnya dibiasakan manusia. Dengan pendidikan yang benar,
jiwa manusia menjadi suci, tidak bergelimang dosa karena memperturutkan hawa
nafsu.[5]
D.
KONSEP PENDIDIKAN IKHWAN ASH SHOFA
Menurut Ikhwan, bahwa
perumpamaan orang yang belum dididik dengan ilmu akidah, ibarat kertas yang
masih putih bersih, belum ternoda apa pun juga.
Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki
bekas yang tidak akan mudah dihilangkan. Organisasi ini memandang pendidikan
dengan pandangan yang bersifat rasional dan empirik atau perpaduan antara
pandangan yang bersifat intelektual dan factual. Mereka memandang ilmu sebagai
gambaran dari sesuatu yang dapat diketahui di ala mini. Dengan kata lain ilmu
yang dihasilkan oleh pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan-bahan
informasi yang dikirim oleh pancaindera.
Cara mendapatkan ilmu
Sejalan dengan uraiannya tentang ilmu
sebagaimana dikemukakan diatas, Ikhwan memandang bahwa ilmu pengetahuan itu
dapat dibaca melalui dua cara, pertama dengan cara mempergunakan panca indera
terhadap obyek dalam semesta ya ng bersifat empirik. Ilmu model ini berkaitan dengan
tempat dan waktu. Kedua, dengan cara mempergunakan informasi atau berita yang
disampaikan oleh orang lain. Ilmu yang dicapai dengan cara yang kedua ini hanya
dapt dicapai oleh binatang. Dengan cara yang kedua ini pula manusia dapat
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal gaib.
Selain itu Ikhwan menyebutkan tentang
ilmu yang dapat dicapai melalui tulisan dan bacaan. Dengan cara ini manusia
dapat memahami kalimat, bahasa dan ungkapan-ungkapan yang ditangkap melalui
pemikiran.
Pada bagian lain Ihkwan berpendapat
bahwa pada dasarnya semua ilmu itu harus diusahakan (muktasabah) bukan dengan
cara pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan mempergunakan
panca indera. Dalam hubungan ini organisasi berpendapat bahwa sesuatu yang
terlukis dalam pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hakikatnya telah ada dalam
pemikiran. Melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena
adanya kiriman dari panca indera. Jadi bukan kaerna adanya ide yang ada dalam
pikiran. Manusia pada mulanya tidak mengetahui apa-apa, lalui karena adanya
panca indera yang mengirimkan informasi, maka manusia dapat mengetahui sesuatu.
Pandangan seperti ini dihasilkan melalui pnafsirannya terhadap ayat
yang berbunyi:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ
لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٧٨)
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”
Berkenaan
dengan pengetahuan yang diperoleh dngan panca indera, maka mesti terdapat apa ygndisebut objek
pemikiran. Objek pemikiran ini pada awalnya adalah pernyataan akal yang
mengatakan bahwa keseluruhan itu adalah lebih besar dari sebagian yang bersifat
particular. Dan inilah yang dinamakannya sebagai perolehan pertama. Pada bagian
lainnya Ihkwan menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta
tersembunyi) sebagaimana Plato yang beraliran idealisme. Hasil penelitian para
ahli menyebutkan bahwa Ikhwan lebih dekat kepada aliran John Locke yang
bersifat empirisme, aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena
panca indera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinterakdi dengan lam
nyata itu di dalam akal tidak terdapt pengetahuan apapun. Jika ilmu pengetahuan itu harus diusahakan,
maka bagaimanakah cara untuk mendapatkan ilmu tersebut? Ikhwan berpendapat
bahwa cara untuk mendaptkan imu tersebt adalah dengan cata membiasakan berpegang
pada pembiasaan dan perenungan. Dalam hubungan ini ia mengatakan: “hendaknya
diketahui bahwa pembiasaan dan latihan itu harus dilakukan secara kontinyu dan
dari pembiasaan ini akan dihasilkan akhlak yang kokoh, sebagaimana hal itu
terjadi dalam bidang ilmu. Pembiasaan itu juga berhubungan dengan mudzakarah
yang dapt memperkuat daya ingat dan kedalaman ilmu.”[6]
Seperti
yang telah dibahas sebelumnya, Ikhwan banyak dikaitkan dengan syi’isme pada
umumnya dan isma’ilisme pada khususnya. Rasa’il mereka mulai dibaca oleh
lingkuingan luas cendekiawan dan pemikir Islam. Baik Sunni maupun Syi’ah dan
termasuk teolog-teolog Sunni terkemuka semisal Al Ghazali. Rasa’il merupakan
studi Syi’ah yang disuguhkan dalam gaya ensiklopedik, mempunyai dampak
kependidikan yag melampuai batas-batas madzhab tertentu hingga menyentuh
seluruh komunitas Islam. Tambahan pula, perspektifnya – dalam mana unsure-unsur
Neoplatonik, Hermetik dan Neopytagorean terpadu kedalam esoterisme Islam –
tetap berkait erat dengan filsafat Ismi’ili, pengaruuh filosofikalnya terasa
luas di kalangan aneka tokoh di masa-masa terkemudian sejarah Islam. Kiranya
cukup membaca halaman-halaman asfar tulisan Mulla Shadra untuk menyadari betapa
kuat memang gema-gema Rasa’il pada kurang lebih tujuh abad kemudian.
Tujuan
Ikhwan menulis Rasa’il sendiri ialah bersifat pendidikan dan
persoalan-persoalan pendidikan yang meliputi tujuannya, tahap-tahapnya,
metode-metodenya dan unsure-unsur lain yang ditemukan di sepanjang lima puluh
satu risalah sebagai unsur-unsur lain yang ditemukan di sepanjang lima puluh
satu risalah sebagai unsure-unsur pembentuknya. Khususnya dalam risalah ketujuh
dari volume pertama, yang diberi titel Fi al-shana’I al-ilmiyyah,yang ada
dalam Rasa’il mereka membahas Al-Akhlaq wa ashab ikhtilafiha.. ( tentang
pemberian Etika dan Sebab Perbedaan –Perbedaan di Kalangan
Mdzhab-Madzhabnya..”) mereka membaas pengaruh lingkungan, rrumah dan sekolah,
guru dan faktor-faktor lain yang tampak bertautan dengan pendidikan siswa.
Menurut Ikhwan, jiwa secara potensial adalah substansi yang spiritual, jasadi,
memungkinkan individu mengaktualisasikan kemungkinan-kemungkinan potensial ini
dan dari sana menyempurnakannya dan mempersiapkannya untuk kehidupan yang baka.
Pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan, dalam kenyataannya adalah
saripati ultimat yang mewadahi jiwa abadi manusia, sementara aktualisasi dari
apa yang potensial dalam jiwa itu tidak lain adalah wujud, mode
eksistensi yang tidak akan hancur oleh kematian. Ikhwan juga mempertimbangkan pentahapan
pendidikan sesuai dengan perkembangan jasmani, pikiran dan jiwa, perasaan dan
insting lebih menonjol pada perkembangan anak berusia sampai dengan empat
tahun, dan seterusnya.
Tujuan
pendidikan menurut Ikhwan adalah menyempurnakan dan mengaktualisasikan seluruh
kemungkinan yang dimiliki individu yang pada akhirnya menuntun pada pengetahuan
tertinggi tentang ketuhanan yang adalah tujuan hidup manusia. Pendidikan
mempersiapkan manusia untuk kebahagiaan dalam hidup ini, tujuan ultimatnya
adalah tempat tinggalyang permanen dan semua pendidikan menunjuk pada dunia
permanen yang baka yang melampaui perkisaran-perkisaran sementara dunia yang
berubah. Menurut Ikhwan, tujuan ultimat pendidikan, sekalipun seseorang telah
menguasai sains-sains tentang alam, bukan berarti mendominasi dunia dan
memperoleh kekuasaan eksternal, melainkan mendominasi diri individu agar mampu
melampaui dunia yang berubah ini dan masuk ke dunia yang langgeng dan untuk
mencapai hal yang disemarakkan dengan ornament pengetahuan yang dipadukan
dengan keutamaan, yang itu saja bermanfaat bagi dunia kedalam mana jiwa
orang-orang beriman mengharapkan masuk pada akhir perjalanan duniawi ini. [7]
BAB III
SIMPULAN
A.
Ikhwan Ash Shofa adalah perkumpulan para
mujtahidin dalam bidang filsafat yang banyak memfokuskan dalam bidang dakwah
dan pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada abad kedua Hijriah di kota
Bashrah, Irak.
B.
Karya Ikhwan diantaranya adalah Rasa’il. Rasa’il di
bagi dengan apik menjadi empat bagian utama : 14 terfokus pada ilmu
matematis 17 membahas ilmu kealaman, 10
berhubungan dengan ilmu Psikologis dan intelektual, dan 11 mengakhiri empat
jilid edisi Arab terakhirb dengan
memusatkan pada apa yang disebut matefisika atau ilmu teologis.
C.
Filsafat,
menurut anggota Ikhwan Ash-Shafa’, memiliki tiga taraf, yaitu:
a.
Taraf
permulaan, yakni mencintai pengetahuan
b.
Taraf
pertengahan, yakni mengetahui sejauh mana hakikat manusia dari segala yang ada
c.
Taraf akhir,
yakni berbicara dan beramal dengan sesuatu yang sesuai dengan pengetahuan.
Kemudian mengenai lapangan filsafat, dikatakannya ada4, yaitu:
a.
Matematika
b.
Logika
c.
Fisika
d.
Ilmu ketuhanan
D.
Ikhwan memandang bahwa ilmu pengetahuan
itu dapat dibaca melalui dua cara, pertama dengan cara mempergunakan panca
indera terhadap obyek dalam semesta ya ng bersifat empirik. Ilmu model ini
berkaitan dengan tempat dan waktu. Kedua, dengan cara mempergunakan informasi
atau berita yang disampaikan oleh orang lain. Ilmu yang dicapai dengan cara
yang kedua ini hanya dapt dicapai oleh binatang. Dengan cara yang kedua ini
pula manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal gaib.
Ikhwan juga menyebutkan tentang ilmu yang dapat
dicapai melalui tulisan dan bacaan. Dengan cara ini manusia dapat memahami
kalimat, bahasa dan ungkapan-ungkapan yang ditangkap melalui pemikiran.
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa. 2009. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Nasr, Seyyed Hossein. 1987. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia
Modern. Bandung: Penerbit Pustaka
Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
[1] Drs. H. Abudin Nata, MA. Filsafat
Pendidikan Islam 1. Hal 181.
[2] Dedi Supriyadi, M. Ag. Pengantar
Filasafat Islam. Hal 99.
[3] Drs. H. Abudin Nata, MA.
loc. cit.
[4] Drs. H. A. Mustofa, Filsafat
Islam, Hal 165.
[5] Dedi Supriyadi, M. Ag.
op.cit. hal 103-108
[6] Drs. H. Abudin Nata, op.
cit. hal 182-183
[7] Seyyed Hossein Nasr, Islam
Tradisi di Tengan Kancah Dunia Modern. Hal 153-154
Tidak ada komentar:
Posting Komentar