BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai hamba Allah adalah satu-satunya makhluk yang paling
istimewa diantara semua makhluk-Nya yang lain. Disamping dikaruniai akal dan pikiran,
manusia ternyata adalah makhluk yang penuh dengan misteri dan rahasia-rahasia
yang menarik untuk dikaji. Misteri itu justru sengaja dibuat Allah Swt. agar
manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami
keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah, untuk kemudian mengenali siapa
pencipta-Nya.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, ada seorang filosof yang sangat
mendewakan akal dalam menghadapi setiap kehidupan yang ada di hadapannya, dia
mendewakan akal secara berlebihan. Jika dia dikatakan seorang muslim maka dia
bukanlah seorang muslim yang sempurna disebabkan ketidak percayaannya kepada
wahyu dan kenabian. Akan tetapi ia di kenal sebagai seorang rasional murni dan sangat
mempercayai akal, bebas dari prasangka serta terlalu berani dalam mengeluarkan gagasan
filosofinya. Dia dikenal dengan nama “Al-Razi”.
B. Rumusan Masalah
Untuk itu,
makalah ini secara sistematis akan membahas tentang Al-Razi yang sangat mendewakan
akal dan tidak percaya kepada wahyu serta kenabian, untuk memfokuskan pembahasan, penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Siapakah Al-Razi sebenarnya ?
2. Apa saja karya-karyanya ?
3. Apa saja pokok–pokok pikiran Ar-Razi tentang filsafatnya ?
4. Bagaimana pemikiran Ar-Razi tentang kenabian ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI HIDUP AL-RAZI
Al-Razi Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakariya Ibnu Zakaria
Ibnu Yahya Al-Razi[1]. Dalam wacana keilmuan Barat, Al-razi dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan
di Rayy, sebuah kota tua yang masalalu bernama Rhasee, dekat
Teheran Republik Islam Iran pada tanggal 1
sya’ban 251 H/685 M. Ia hidup pada pemerintahan Dinasti Saman (204 - 395
H). Ada beberapa nama tokoh yang lain juga dipanggil Al-Razi, yakni Abu Hatim
Al-Razi, Fakhruddin Al-Razi dan Nazmuddin Al-Razi. Oleh karena itu, untuk
membedakan Al-Razi sang filosof ini, dari tokoh-tokoh yang lain, perlu
ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar yang merupakan nama kun-yahnya (gelarnya).[2]
Ar-Razi
masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Persia dan hidup pada masa
kejayaan Daulah Abasiyah. Pada masa mudanya ia menjadi tukang intan, penukar
uang, atau lebih mungkin sebagai pemain kecapi. Kemudian ia meninggalkan music
untuk belajar al-kimia, dan pada usia 30 tahun atau setelah umur 40 tahun ia
meninggalkan al-kimia, karena matanya terserang penyakit akibat eksperimen yang
dilakukannya, yang menyebabkan mencari dokter dan obat-obatan. Itulah sebabnya,
ia mempelajari kedokteran (obat-obatan). Ia sangat rajin belajar dan bekerja di
siang dan malam hari. Gurunya Ali Ibnu Rabban Al-Thabbari adalah seorang dokter
dan filosof yang lahir di Merv pada yahun 192 H/808 M dan meninggal beberapa
tahun setelah 240 H/855 M.[3]
Al-Razi juga banyak menimba ilmu-ilmu lainnya dari Abu Al-Husen Ali bin Rin
Ath-Thabari. Al-Razi terkenal
sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, karena
itu ia sering memberikan pengobatan Cuma-cuma kepada orang yang tidak
mampu/miskin. Karena reputasinya di bidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat
menjadi kepala rumah sakit Ray pada masa pemerintahan Gubernur Al-mansur
Ibnu Ishak. Kemasyuran
Al-Razi sebagai seorang dokter tidak saja di dunia Timur, tapi juga di Barat,
ia kadang-kadang dijuluki The Arabic Galen. Kemudian
ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit disana pada masa pemerintahan
Khalifah Al-Muktafi.
Setelah Al-Muktafi meninggal dunia tahun 295 H/907 M, Al-Razi kembali ke Rayy, di Rayy ia mempunyai banyak
murid, dan kemudian Al-Razi menjadi syekh. Ia biasa dikelilingi oleh banyak murid. Jika tidak bersama
murid dan pasiennya, ia selalu menggunakan waktunya untuk menulis dan belajar.
Mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan
akhirnya ia menjadi buta. Ketika salah seorang muridnya datang dari Tabaristam
untuk mengobatinya, ia menolak, tetapi sebagaimana kata Al-Biruni, ia menolak
untuk diobati dengan mengatakan pengobatan itu akan sia-sia belaka, karena
sebentar lagi ia akan meninggal dunia.[4]
Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/27
Oktober 925 M.
B.
KARYA_KARYA AL-RAZI
Karir Al-Razi sebagai intelektual tampak dengan jelas dari buku-bukunya yang tidak
kurang dari 200 jilid banyaknya tentang medis, astronomi, kosmologi, kimia,
filsafat dan sebagainya.[5]
Ar-Razi
terkenal di Barat dengan nama Rhezes dari buku-bukunya tentang
ilmu kedoteran. Bukunya yang terkenal adalah tentang cacar dan campak yang
diterjemahkan dalam bebagai bahasa di Eropa dan pada tahun 1866 masih dicetak
untuk yang keempat puluh kalinya. Al Hawi fi Ath-Thib merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran,
tersusun lebih dari 20 jilid dan mengandung ilmu kedokteran Yunani, Syria, dan
Arab.[6]
Adapun
karya-karya Al-Razi yang masih dapat dinikmati
sampai sekarang meskipun
buku-buku tersebut dihimpun dalam satu kitab yang dikarang oleh orang lain
adalah:
·
Al-Tibb al-Ruhani
·
Al-Shirath al-Falasafiyah
·
Amarat Iqbal al Daulah
·
Kitab al-ladzdzah
·
Kitab al Ibnu al Ilahi
·
Makalah fi mabadd altalbiah
·
Al Syukur ’Ala Proclas[7]
·
Manshuri
·
Kitab Sirr Al-Asrar
·
Muluki
·
Kitab Al-Jami Al-Kabir
Al-Razi adalah filosof yang berani
mengeluarkan pendapat-pendaptnya meskipun pendapat tersebut bertentangan dengan
paham yang dianut umat Islam yaitu:
1.
Tidak percaya pada wahyu
2.
Al-Qur’an bukan mu’jizat
3.
Tidak percaya pada Nabi-Nabi
4.
Adanya hal-hal yang kekal dalam arti
tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan[8]
Meskipun
beberapa pemikiran Ar-Razi bertentangan dangan kepercayaan umat Islam,
pemikirannya telah memberi warna tersendiri dalam filsafat Islam. Terutama
tentang kebesan berfikir dan menemukan kebenaran dalam menggunakan akal. [9]
Menurut Ibn-Nadim buku-buku Ar-Razi adalah 118 buku, 19 surat 4 buku, 6
surat dan satu makalah jumlah seluruhnya 148 buah.[10] Ibn Abi Usaibi’ah
menyebutkan 236 karyanya, tetapi beberapa diantaranya tidak jelas pengarangnya.
Menurut Al-Biruni, Karya Al-Razi
tentang Alkemi ada sekitar dua puluh satu, yang terbesar diantaranya Kitab
Sirr Al-Asrar. Sesuai dengan semangat Al-Razi yang antihermetis,
rahasia-rahasia disini bukan misteri-misteri mistik, tetapi rahasia-rahasia
keahlian seorang Alkemis (ahli Alkemi), yang dengan bebas dipaparkan Al-Razi
dalam pembahasannya mengenai bahan-bahan, perangkat-perangkat, dan
metode-metode Alkemi. Tujuannya adalah meretas bahan-bahan yang memilahkan satu
bentuk substansi dari substansi lainnya, dengan menggunakan substansi kuat yang
akan menembus dan mengubah unsur dasar (substrate), dengan menambahkan
atau menghilangkan sifat-sifat spesifik, mengubah logam-logam dasar menjadi
emas atau batu menjadi permata. Akan tetapi Al-Razi juga menggunakan sebagian
dari preparat dalam praktik kedokterannya; dan metode-metodenya sebagai seorang
alkemis lebih bernuansa ilmu bedah daripada klenik atau sihir.[11]
Buku-buku tersebut dikelompokkan
sebagai berikut: (a) ilmu kedokteran; (b) ilmu fisika; (c) logika; (d)
matematika dan astronomi; (e) komentar, ringkasan, dan ikhtisar; (f) filsafat
dan ilmu pengetahuan hipotesis; (g) metafisika); (h) teologi; (i) alkimia; (j)
ateisme; (k) campuran. Diantaranya :
1.
Sekumpulan risalah logika
berkenaan dengan kategori-kategori demonstrasi, logika seperti yang dinyatakan
dalam ungkapan Islam.
2.
Sekumpulan risalah tentang
metafisika pada umumnya.
3.
Materi mutlak dan particular.
4.
Plenum dan Vacuum, ruang dan
waktu.
5.
Fisika
6.
Dunia mempunyai pencipta yang
bijaksana
7.
Keabadian dan ketidak abadian
Tuhan.
8.
Sanggahan terhadap procius
9.
Opini fisika “Plutarch” (Placita Philosoptorum).
10.
Sebuah komentar tentang
Timacus,
11.
Sebuah komentar terhadap Plutarch tentang Timacus
12.
Sebuah risalah yang menunjukan
bahwa benda-benda bergerak dengan sendirinya dan bahwa gerakan itu pada
akhirnya milik mereka.
13.
Obat pencahar rohani (Spiritual Physic)
14.
Jalan filosof.
15.
Tentang jiwa
16.
Tentang pengkataan iman yang
tidak bisa salah
17.
Sebuah sanggahan terhadap kaum
Mu’tazilah
18.
Menurut ajaran Plato, dan
19.
Metafisika menurut ajaran
Sokrates.
C.
FILSAFAT AL-RAZI
Dasar
filsafatnya tampak dari pandangan Ar-Razi yang mengklaim bahwa praktik
kedokteran itu bersandar pada filsafat.
Suatu praktik yang baik amat bergantung pada
pemikiran yang bebas (filsafat). Ia menganggap bahwa filsafat bukan sekedar
sarana bagi karya kedokteran, melainkan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri.
Karyanya, Ath-Thibb Ar-Ruhani, yang ditulis untuk Al-Manshur sebagai
pelengkap Manshuri,[12] mengikuti presiden Al-Kindi dalam
memperlakukan etika sebagai sejenis pengobatan psikis atau psikologi klins,
suatu pendekatan yang nantinya
digunakan oleh Gabirol dan Maimonides. Oleh karena itu, judulnya Spiritual
Physic, seperti yang secara artifisal digunakan kembali oleh Arberry,
Pengobatan Spiritual atau Psikologis.[13]
Al-Razi termasuk tokoh
filsafat yang sangat berani dalam mengekplorasikan sejumlah ide atau gagasanya bahkan,
dari keberaniannya
ini tidak sedikit Al-Razi
mendapat hujatan yang sangat serius dari para filosof, terutama dari para tokoh
agama yang sezaman
dengannya. Inti dari filsafat Al-Razi
adalah pembahasan seputar akal, ketuhanan, wahyu, dan kenabian, serat lima hal
yang kekal, filsafat rasional dan
filsafat moral.
1.
Akal
Corak pemikiran Al-Razi adalah rasionalis
murni, Rasional artinya ia selalau mencari kebenaran dengan pangkal tolak
kekuatan akal, tetapi tidak hanya mengandalkan kekuatan akal an-nisch, namun lebih pada kekuatan akal
yang selektif. Menurut Al-Razi
kita hendaknya mengembalikan segala urusan kepada akal, merubahnya dengan
berpatokan kepadanya,
bersandar kepadanya dalam segala hal. Kita juga harus menjalankan segala urusan
sesuai ketentuannya,
berhenti karena arahnya.
Kita tidak boleh mengikutu hawa nafsu dan meninggalkan akal, karena nafsu
adalah ancaman baginya ynag mengeruhkan kejernihannya; memalingknannya dari
jalan cinta, tujuan dan konsistensinya.
Al-Razi hanya mempercayai
kekuatan akal. Bahkan di dalam bidang kedokteran studi klinis yang dilakukannya
telah menemukan metoda yang kuat, dengan berpijak kepada observasi dan
eeksperimen. E.G Browne, dalam arabian
medicine
telah menerjemahkan satu halaman yang mungkin di
ambil dari al hawi, sebuah naskah yang ditulis Al-Razi yang menunjukan metode ini. Bunyi
terjemahan itu adalah sebagai berikut:
“Pemujaan Al-Razi terhadap akal
sangat jelas pada halaman pertama dari bukunya Al-Tib
Al-Ruhani. Ia mengatakan “Tuhan, segala puji
baginya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh
sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik tuhan kepada kita. Dengan
akal kita dapat melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup
kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang
tersembunyi ari kita. Dengan akal pula kita dapat memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan,
suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikian
mulia dan penting, maka kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh
menentukannya, sebab itu
adalah penentu, atau mengendalikannya, sebab ia adalah pemerintah, tetapi kita
harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah
dengannya kita harus sesuai dengan perintahnya”.
Manusia lahir dengan
kemampuan yang sama untuk
meraih pengetahuan, hanya melalui pemupukan kemampuan inilah, manusia menjadi
berbeda, ada yang menggunaknnya untuk speku;lasi dan belaja, ada yang
mengabaikannya, atau mengarahkannya untuk kehiddupan yang praktis.
2.
Filsafat
Wahyu dan Kenabian Al-Razi
Meskipun
Al-Razi seorang rasionalis murni ia tetap bertuhan hanya ia tidak mengakui
adanya wahyu dan kenabian. Al-Razi tidak percaya
kepada nabi-nabi, sebab nabi itu hanyalah pembawa kehancuran bagi manusia, ajaran
nabi-nabi itu saling bertentangan,
pertentangan itu akan membawa kehancuran manusia. Menurutnya para nabi tidak
berhak mengklaim bahwa dirinya mempunyai keistimewaan khusus, baik pikiran maupun rohani,
karena semua orang itu sama dan keadilan Tuhan
serta hikmahnya mengharuskannya untuk tidak membedakan antara seorang dengan
yang lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para nabi
padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan dan kekeliruan. Setiap bangsa
hanya percaya kepada nabinya dan tidak percaya kepada nabi bangsa lain dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik, peperangan dan
kebencian antara bangsa karena kefanatikan kepada agama yang dianutnya.
Al-Razi menyanggah
anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia memerlukan nabi. Adapun
semua mukjizat kenabian adalah bagian dari mitos keagamaan atau rayuan dan keahlian yang dimaksudkan
untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling kontradiksi karena satu sama
lain saling menghancurkan dan tidak sesuai dengan pernyataan yang mengatakan
bahwa realitas permanen. Itu dikarenakan setiap nabi membatalkan risalah
pendahuluannya tetapi menyerukan bahwa apa yang dibawanya adalah kebenaran dan
tidak ada kebenaran yang lain, dan manusia menjadi bingung tentang pimpinan dan
yang dipimpin, panutan dan yang patut.
Dalam hal itu badawi
menerangkan alasan-alasan A-Razi dalam menolak kenabian:
a.
Bahwa akal sudah
memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dann yang
jahat yang berguna dan yang tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengetahui
Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Kemudian mengapa masih
dibutuhkan nabi?
b. Tidak
ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab setiap
orang lahir dengan kecerdasan yang sama perbedaannya bukanlah karena pembawaan
alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan (eksperimen).
c.
Para nabi salinng
bertentangan. Apabila mereka berbicara atas nama satu Tuhan mengapa
implementasi mereka terhadap pertentangan? Setelah menolak kenabian kemudian Al-Razi mengkritik agama
secara umum. Ia menjelaskan kontradiksi kaum Yahudi Kristen ataupun Majusi. Pengikatan
manusia terhadap agama adalah karena meniru dan kebiasaan, kekuasaan ullama
yang mengabdi negara dan menifestasi lahiriah agama, upacara-upacara dan
peribadatan ynag mempengaruhi mereka yang sederhana dan naif.
Setelah menolak
kenabian, Al-Razi
lalu mengkritik agama secara umum.
Ia menjelaskan kontradiksi-kontradiksi kaum Yahudi, Kristen, Mani, dan Majusi. Hal itu terbukti dengan
kritik Al-Razi
terhadap Al-Quran dan Injil, Al-Razi juga mengkritik
agama Yahudi dan paham-paham Mani.
Al-Razi juga
mempertanyakan wahyu yang didakwahkan oleh para nabi, yang menganggap kebenarannya
tidaklah benar adanya. Al-Qur’an
dengan gaya bahasanya bukanlah mukjizat
bagi Nabi Muhammad, ia hanya
sebagai buku biasa.
Pertama
ia menolak mukjizatnya Al-Quran baik karena gayanya maupun isinya dan
menegaskan adanya kemungkinan menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang
lebih baik.
Nikmat akal lebihlah
konkrit dari wahyu oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan ilmu
pengetahuan lainnya lebih berarti dari pada membaca buku-buku agama.
keberlangsungan agama hanyalah berasal dari tradisi, dari kepentingan para
ulama yang diperalat oleh
negara, dan dari upacara-upacara yang
bagi kehidupan manusia dari pada kitab-kitab suci. Buku-buku kedokteran,
geometri, astronomi dan logika lebih berguna dari pada Injil dan Al-Qur’an.
Oleh
karena itulah tidak masuk akal apabila Tuhan mengutus para nabi, karena banyak
melakukan kemadharatan. Adanya peperangan yang terjadi diantara berbagai bangsa
adalah sebagai akibat percaya kepada mereka tanpa reserve dengan mempercayai ajaran-ajaran yang dibawa mereka,
kemudian saling bertentangan akhirnya timbul peperangan yang bersifat keagamaan
di dunia.
Penulis-penulis buku
ilmiah ini telah menemukan kenyataan dan kebenaran melalui kecerdasan mereka
sendiri tanpa bantuan para nabi. Ilmu pengetahuan berdasarkan tiga sumber:
pemikiran yang di dasarkan pada logika,
tradisi dari para pendahulu kepada para penganti yang didasarkan pada bukti
meyakinkan dan akurat seperti dalam sejarah, dan naluri yang menuntut manusia tanpa
memerlukan banyak pemikiran.
Menurut Abdul Latif
Muhammad Al-Abd
bahwa tuduhan
Al-Razi
tidak mempercayai kenabian adalah di dasarkan pada buku makhariq Al-Anbiya. Buku ini sering dibaca dalam
pengajian-pengajian kaum Zindiq,
terutama qaramithah. Bagian dari buku ini
terdapat dalam buku A’lam al-Nubuwah karya
Abu Hatim Al-Razi
yang tidak pernah
ditemukan. Oleh karena itu, kebenaranya diragukan. Andaikan buku-buku itu ada
tentu saja tidak bertentangan dengan buku Al-Razi
sendiri seperti At-tib Ar-Ruhani, al sirah al falsafiyah. Selidik demi
selidik ternyata Abu Hati Al-Razi
ini adalah tokoh Syi’ah
Ismailiyah sekaligus
musuh Al-Razi sendiri yang berasal dari satu bangsa. Disisi lain Al-Razi juga mendapat
beberapa sanggahan dari para pemikir, terutama ulama konservatif sangat tidak sejalan dengan pemikiran mereka.
Pertarungan antar pemikir dan ulama
seperti ini merupakan hal yang lumrah, terlebih orang yang kalah biasanya
menggunakan berbagai cara agar lawannya itu di jauhi dan di benci pengikutnya
dan orang lain.
Berdasarkan fenomena di
atas, adanya justifikasi
kafir terhadap Al-Razi pun patut dipertanyakan. Ahmad Aziz Dahlan mengatakan
bahwa Al Razi adalah seorang filosof muslim dan tidak boleh dikafirkan.
Analisis ini dapat di temukan dalm kitabnya Bar’u
al sa’ah, dan Sir al asror atau At-Tibb Ar-Ruhani sebagai berikut:
“mengendalikan
hawa nafsu adalah wajib menurut semua rasio, menurut semua orang yang berakal
dan menurut semua agama dan
wajiblah manusia yang baik, yang utama, yang sempurna menunaikan apa yang
diwajibkan agama yang benar kepadanya (as-syariah al-muhiqqah) dan takut pada kematian,
karena agama yang benar itu sungguh telah menjanjikan kepadanya, kemenangan,
ketentraman, dan masuk kedalam kenikmatan yang terus menerus.
Al Razi juga mengakui kenabian,
sebagaimana ia nyatakan dalam gubahnya:
Semoga
allah melimpahkan shalawat pada ciptaannya yang terbaik, Nabi Muhammad dan
keluarganya dan semoga Allah melimpahkanshalawat kepada sayyid kita, dan
penolong kita di hari kiamat, Muhammad, semoga Allah melimpahkan kepadanya
shalawat dan salam yang banyak selamanya.
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa Al-Razi adalah seorang rasionalis religius, bukan rasionalis
liberal, karena Al-Razi
masih mengakui dan mendasarkan logikanya kepada agama dan kewahyuan.
Dengan demikian, adanya
pernyataan bahwa Al-Razi menolak wahyu dan kenabiam merupakan tuduhan yang
tidak mendasar, bahkan banyak para filosof yang menarik kembali pernyataan
mereka, setelah menyatakan Al-Razi menolak wahyu dan kenabian. Peristiwa itu menandakan betapa
kuatnya pengaruh karya-karya lawan Al-Razi, yang telah menggiring para opini
publik untuk mendeskriditkan Al-Razi.
3.
Filsafat Lima Kekal (Metafisika)
Al-Razi merupakan salah
satu filosof muslim yang sangat kontroversial
di banding filosof muslim yang lain. Penyebab kontroversianlnya Al-Razi pada kesimpilan ihwal filsafat metafisikanya, yang
terkenal dengan doktrin lima yang kekal yaitu: Tuhan (Al-Bari Ta’ala), Jiwa universal (An-Nafs al-kulliyyah), Materi pertama (Al-hayula
al-ula), Ruang
absolut (Al-makan
al-muthlaq), zaman absolut (Az-zaman
al-muthlaq).
Dari lima
kekekalan itu ada dua yang hidup dan bergerak yakni, Tuhan dan ruh yang pasif dan
yang tidak hidup adalah materi pembentuk setiap wujud dan dua lagi yang tidak
hidup, tidak bergerak dan tidak pasif yaitu kehampaan dan keberlangsungan[14]
Benda tidak dapat terlepas dari yang
lima ini sebab:
1.
Setiap benda perlu ada yang
menciptakannya. Sebab itu ia perlu kepada Tuhan Pencipta.
2.
Diantara benda ada yang hidup. Hidup
memerlukan roh. Sebab itu perlu adanya roh.
3.
Benda adalah materi, yang dengannya
ia dapat diinderai.
4.
Materi mengambil tempat, sebab itu
perlu ruang untuk sebagai tempatnya.
5.
Materi mengalami perubahan,
perubahan terjadi dalam waktu.
Hanya
tentang zaman Al-Razi
membaginya atas dua bentuk, ada zaman yang absolut dan ada zaman yang reltif.
Zaman yang absolut bersifat abadi tidak berawal dan tidak berakhir, tetapi
zaman yang relatif dapat disifati dengan angaka.
Menurut Dr. T.J. De Beor bahwa
dasar-dasar metafisika Ar-Razi berasal dari doktrin-doktrin tua seumpama
pemikiran-pemikiran Anaxagoras, Empedokles, Mani dan lain-lain. Puncak dari
metafisikanya itulah Prinsip Tentang Lima Yang Abadi (five co-eternal
prinsiples)[15]
Lima ajaran
kekal Al-Razi menurut Nasution (2008:18) adalah: (1) Materi, merupakan apa yang
ditangkap dengan panca indera tentang benda, (2) Ruang, karena materi mengambil
tempat, (3) Waktu, karena materi berubah-ubah keadaannya, (4) Di antara
benda-benda ada yang hidup, karena itu perlu ada ruh, (5) Semua ini perlu pada
Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Adapun Penjelasan tentang lima kekal,
sebagaimana Al-Biruni mengatakan, Muhammad Ibn Zakaria Ar-Razi telah melaporkan
kekekalan lima hal dari Yunani kuno, yaitu : Tuhan, Roh Universal, materi
pertama, ruang mutlak,dan waktu mutlak. Kelima hal ini menjadi landasan
ajarannya. Akan tetapi, ia membedakan antara waktu dan keberlangsungan dengan
mengatakan bahwa angka berlaku bagi satu dan bukan yang lain, karena
keterbatasan berkaitan dengan keangkaan. Oleh karena itu, para filsuf
mendefinisikan waktu sebagai keberlangsungan yang berawal dan berakhir,
sedangkan keberlangsungan (akhir) tidak berawal dan tidak berakhir. Dia juga mengatakan
bahwa balam kemaujudan, lima hal
berikut adalah perlu kesadaran bahwa materi terbentuk oleh susunan; ia
berkaitan dengan ruang karena itu harus ada ruang (tempat); pergantian
bentuknya merupakan kekhasan waktu, karena ada yang dahulu dan ada yang
berikut, dan karena waktu, ada kekinian dan kebaruan, ada kelebihtuaan dan
kelebihmudaan; sehingga waktu itu perlu. Dalam kemaujudan, terdapat kehidupan, karena itu mesti ada roh? Dan
hal ini; mesti ada yang dimengerti dan hukum yang mengaturnya haruslah
sepenuhnya sempurna; karena itu, dalam kenyataan ini harus ada pencipta yang
bijaksana, maha tahu, melakukan segala sesuatu sesempurna mungkin, dan memberikan
akal sebagai bekal mencari keselamatan.[16]
Sistematika filsafat lima kekal
Ar-Razi dapat djelaskan sebagai berikut:
a.
Al-Bari
Ta’ala (Allah): hidup kekal dan aktif (dengan
sifat independen).
Tuhan bersifat sempurna. Tidak ada
kebijakan setelah tidak sengaja, karena itu ketidaksengajaan tidak bersifat
kepada-Nya. Kehidupan berasal dari-Nya sebagaimana sinar datang dari matahari
Tuhan mempunyai kepandaian yang sempurna dan murni. Kehidupan ini adalah
mengalir dari ruh. Tuhan menciptakan sesuatu dan tidak ada yang bisa menandingi
dan tidak ada yang bisa menolak kehendak-Nya. Tuhan Maha Mengetahui, segala sesuatu.
Tetapi ruh-ruh hanya mengetahui apa yang berasal dari eksperimen. Tuhan
mengetahui bahwa ruh cenderung pada materi dan membutuhkan kesenangan materi.
b. An-Nafs al-kulliyyah
(jiwa universal): hidup dan aktif dan menjadi al-mabda’ al-qadim ats-tsani (sumber kekal kedua). Hidup dan
aktifnya bersifat dependen. An-nafs
al-kulliyyah tidak berbentuk. Namun, karena mempunyai naluri untuk bersatu
dengan al-hayula al-ula, an-nafs
al-kulliyyah memiliki zat yang berbentuk (form) sehingga bisa menerima, sekaligus menjadi sumber penciptaan
benda-benda alam semesta, termasuk badan manusia. Ketika masuk pada benda-benda
itulah, Allah menciptakan roh untuk menempati benda-benda dan badan manusia di
mana jiwa (parsial) melampiaskan kesenangannya. Karena semakin lama jiwa bisa
terlena pada kejahatan, Allah kemudian menciptakan akal untuk menyadarkan jiwa
yang terlena dalam fisik tersebut.
c. Al-hayula al-ula
(materi pertama): tidak hidup dan pasif, Al-hayula
al-ula adalah substansi (jauhar) yang kekal yang terdiri atas dzarrah, dzarat
(atom-atom). Setiap atom terdiri atas volume. Jika dunia hancur, volume juga
akan terpecah dalam bentuk atom-atom. Materi yang sangat padat menjadi
substansi bumi, yang agak renggang menjadi substansi air yang renggang menjadi
substansi udara dan yang lebih renggang menjadi api. Al-hayula al-ula: kekal karena tidak mungkin berasal dari
ketiadaan. Buktinya, semua ciptaan Tuhan melalui susunan-susunan (yang
berproses) dan tidak dalam sekejap yang sangat sederhana dan mudah. Dengan kata
lain, Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa bahan sebelumnya yang kekal
karena mendapat (semacam emanasi, pancaran) dari Yang Maha kekal.
d. Al-makan al-muthlaq
(ruang absolut): tidak aktif dan tidak pasif. Materi yang kekal membutuhkan
ruang yang kekal pula sebagai “tempat” yang sesuai. Ada dua macam ruang: ruang
partikular (relatif) dan ruang universal. Yang partikular terbatas, sesuai
keterbatasan maujud yang menempatinya. Adapun ruang universal tidak terbatas
dan tidak terikat pada maujud karena bisa saja terdapat terjadi kehampaan tanpa
maujud.
e.
Az-zaman
al-muthlaq (zaman absolut): tidak aktif dan tidak
pasif. Zaman atau masa ada dua: relatif/terbatas yang biasa disebut al-waqt dan zaman universal yang bisa
disebut ad-dahr. Yang terakhir ini (ad-dahr) tidak terikat pada gerakan alam
semesta dan falak atau benda-benda angkasa raya.[17]
Filsafat
lima yang kekal Al-Razi tersebut mengisyaratkan bahwa di balik dunia fana
terdapat jiwa tak terbatas yaitu Tuhan sebagai Pencipta kosmos, Jiwa Yang
Mutlak yakni ruh tersebut menjelma pada alam, di mana ruh mempunyai
inti yang disebut ide atau berpikir, berupa kekuatan akal yang dipandang
sebagai pancaran Jiwa Universal (an-Nafs al-Kulliyah) Ilahi. Karena itu
kekuatan akal memungkinkan manusia mencapai kebenaran Ilahiyah.
Doktrin lima
hal yang kekal (al-Qudama al-khamsah) yang menyajikan beberapa kajian
tentang waktu, ruang kehampaan, serta perpindahan jiwa memiliki implikasi luas
guna dikembangkan sebagai dasar pemahaman masalah kosmologi.
Pemahaman
atas alam seisinya sebagai makrokosmos berarti memandang semesta sebagai
kesatuan kosmis, sementara manusia sebagai individu yang terdiri dari jasmani
dan rohani ditempatkan sebagai mikrokosmos, fakta tunggal yang menjadi bagian
tak terpisahkan dari keseluruhan sistem semesta. Pemahaman keduanya mendasari
pemahaman mengenai asal-usul dan arah ke mana tujuan kehidupan akan menuju.
Pemahaman masalah ini selanjutnya mendasari penentuan sikap dalam menyikpai
kehidupan ini.
Filsafat
Al-Razi membantu memahami konsep penciptaan berdasarkan pemahaman atas hakekat
Tuhan, alam semesta dan manusia. Ini menjadikan pandangan-pandangannya
mencerminkan sebuah pandangan teologis tersendiri. Dalam pandangan Al-Razi
ruang semesta membentang sangat luas dan tak terbatas, di mana Tuhan merupakan sentralnya.
Tuhan adalah Dzat Yang Maha Mutlak yang memiliki kekuasaan tak terbatas.
Kekuasaan Tuhan tidak terbatasi oleh ruang waktu.
Kehendak (iradah)
Tuhan menyemarakkan kehampaan semesta dengan menciptakan alam dari substansi
sederhana menjadi substansi yang terbentuk, kemudian dengan pancaran
kehendak-Nya pula Tuhan membangkitkan gerak dinamika alam. Kehendak Tuhan untuk
mencipta telah memecah kegelapan dan kesunyian semesta dengan dinamika gerak
dan keteraturan hukum alam (sunnatullah).
Manusia pada
hakekatnya hanyalah kehidupan yang sangat terbatas (mikrokosmos), sekedar
bentukan dari materi dan ruh yang menempati ruang terbatas di tengah
ketidakterbatasan ruang dan waktu. Pada saatnya unsur materi pada manusia,
berupa jasad (fisik) akan hancur, kembali pada materi awal, sementara ruh yang
menjadi esensi jati diri manusia akan kembali pada keabadiannya semula.
Seluruh
penciptaan ini ditujukan untuk kemaslahatan ruh yang telah dibantu bersemayam
di alam materi dalam wujud manusia. Bagi manusia, perpindahan ruh dari
kehampaan ruang tak terbatas ke dalam materi yang tertentu merupakan suatu
proses penyadaran (pendidikan) dari kebodohan yang telah memalingkan dari jalan
kebenaran dan kebahagiaan (as-sa’adah) hakiki kepada kesenangan (al-ladzdzah)
sesaat.
Keterjebakan
jiwa pada materi merupakan akibat ketidaktahuannya atas hakekat kebahagian
sejati, yang karenanya Tuhan menganugerahkan jiwa rasional yang terpancar dari
jiwa universal-Nya, sehingga memungkinkan manusia belajar mengetahui hakekat
kehidupan, dirinya, kebahagiaan, serta keharusan meningkatkan potensi diri.
Keterjebakan tersebut di sisi lain juga memberi kesempatan ruh untuk belajar
melalui pengalaman. Karena itu dapat dikatakan bahwa kehendak Tuhan untuk
menciptakan kehidupan ini tidak sia-sia (ma khalakta hadza bathila),
tetapi sebagai kesempatan untuk belajar hingga manusia dapat memperoleh
kebahagiaan hakiki.
Hidup
merupakan sebuah kesempatan untuk keluar dari kebodohan menuju kebahagiaan
sejati melalui proses belajar. Untuk sampai pada kebahagiaan sejati perlu
didahului dengan proses penyadaran atas hakekat diri dan kebahagiaan.
Kebahagiaan yang tidak didahului proses penyadaran berarti kebahagiaan dalam
ketidaktahuan atau kebodohan, yang berpotensi menjerumuskan ke arah
penyimpangan, seperti halnya jiwa yang bodoh tertarik pada meteri.
Filsafat
Al-Razi mengarahkan kehidupan untuk mencari kebahagiaan hakiki, yang dapat
diperoleh dengan cara membebaskan ruh dari jeratan materi. Kebahagiaan yang ada
dalam kehidupan dunia bukan kebahagiaan yang sebenarnya, tetapi hanya
kebahagiaan yang semu, bahkan diwarnai dengan rasa sakit dan penderitaan. Namun
demikian ar-Razi menilai hidup bukan suatu kesia-siaan, melainkan sebuah
kesempatan yang sangat berharga. Kebahagiaan akhirat yakni keterbebasan jiwa
dari pengaruh materi dapat diperoleh dengan pengembangan akal secara optimal.
Untuk itu diperlukan dukungan rasa yang sehat, di mana seluruh pekerjaan tubuh
memperoleh porsi perhatian yang cukup, hingga masing-masing dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Upaya yang
dapat ditempuh adalah dengan perlakuan masing-masing unsur jiwa secara
seimbang. Ini berarti ada keterkaitan dengan cara hidup yang tepat. Al-Razi
menjadikan sifat-sifat Tuhan sebagai acuan dalam menjalani kehidupan. Tuhan
adalah Dzat Yang Maha Pandai, Maha Adil dan Maha Pengasih, yang sifat-sifat-Nya
harus ditiru manusia. Manusia dituntut belajar agar menjadi pandai, mampu
bersikap adil dan bijaksana terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya,
serta penuh kasih sayang terhadap sesama. Al-Razi mencela kehidupan kaum
hedonis yang hanya memperturutkan hawa nafsu, sekaligus mencela para rahib dan
agamawan yang memilih jalan penyerahan diri secara total dengan cara lebih
banyak menghabiskan waktu di tempat ibadah, serta mengabaikan tuntutan hidup yang
lain (Iqbal, 2003:79).
Kehidupan
ideal didasarkan pada pertimbangan kesehatan jiwa dan raga sebagai standar
idealitas kehidupan. Untuk itu manusia berkewajiban memelihara karunia Tuhan
berupa fisik dan psikis dengan perlakuan seimbang. Keseimbangan diri manusia
itulah yang nantinya membentuk pribadi paripurna, yang tercermin dalam perilaku
kehidupannya sehari-hari. Keberhasilan individu dalam melakukan kontrol
pribadinya berarti berhasil menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial
kemasyarakatan dan keagamaan. Dalam hal ini akal memainkan beberapa fungsi: pertama, mencari
dan menemukan kebenaran hingga mampu menentukan baik buruk tata nilai yang ada,
sekaligus berperan sebagai alat kontrol pribadi agar dapat menyesuaikan diri
dengan tata nilai atau kebenaran yang diyakini. Kedua, akal
berperan dalam mengembangkan ilmu dan menciptakan berbagai perabot (teknologi)
untuk memudahkan dalam memenuhi hajat kehidupannya.
Prinsip keseimbangan juga menjadi landasan dalam tata pergaulan
kemasyarakatan, di mana demi kebaikan bersama antar anggota masyarakat perlu
dijalin hubungan saling menguntungkan dengan cara saling membantu dan bekerja
sama. Karena itu kehidupan ideal menuntut keadilan dalam kerja sama
kemasyarakatan. Adalah tidak layak bila seseorang harus membayar terlalu mahal
untuk sebuah jasa, karena hal itu berarti kerugian di satu pihak, dan
sebaliknya pelayanan terlalu besar dibanding imbalan sama halnya dengan
perbudakan.
4.
Filsafat Rasionalis
Nasution (2008:25) mengatakan bahwa Al-Razi adalah seorang filsuf yang
berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya yang bertentangan dengan paham yang
dianut umat Islam, seperti tidak percaya wahyu; Al-Qur’an bukan mukjizat; tidak
percaya nabi-nabi; tidak percaya adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak
bermula dan tidak berakhir selain Tuhan.
Ar-Razi
adalah seorang rasionalis murni dalam bidang kedokteran, studi klinis yang
dilakukannya telah menghaslkan metode yang kuat tentang penemuan yang berpijak
pada observasi dan eksperimen. Dalam kitab Al-Faraj
ba’d Asy-Syiddah-nya At-Tanukhi (w 384 H/ 994 M ) dan dalam Maqalah-nya Nizami ‘Arudi Samarqandi yang ditulis sekitar tahun 550 H/ 1155 M,
kita dapati kasus-kasus yang dilakukan Ar-Razi, dimana ia menunjukkan metode
penemuan klinis yang sangat baik. E. G. Browne, dalam Arabian Medicine, telah
menerjemahkan satu halaman yang mungkin diambil dari Hawi-sebuah naskah yang
ditulis Ar-Razi yang menunjukkan metode ini.[18]
Rasionalis
seorang Al-Razi
terhadap akal tampak jelas dalam bukunya Ath-Thibb Ar-Ruhani, ia mengatakan,
“Tuhan, segala puji bagi-Nya, Yang telah memberi kita akal agar dengannya, kita
memperoleh sebanyak-banyak manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita.
Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup
kita baik- dengan akal, kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang
bersembunyi dari kita... dengan akal pula kita dapat memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan, suatu pengtahuan yang tertinggi yang dapat kita peroleh... jika
akal sedemikian mulia dan penting, kita tidak boleh melecehkannya; kita tidak
boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau memerintahnya, sebab ia
adalah pemerintah; tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan
menentukan segala masalah dengannya kita harus sesuai dengan perintahnya.[19]
Pernyataan
di atas dengan jelas menempatkan Al-Razi
sebagai rasionalis murni, yakni tiada tempat bagi wahyu atau intuisi mistis.
Hanya akal logislah yang merupakan kriteria tunggal pengetahuan dan perilaku.
Tidak ada kekuatan irasonal dapat dikerahkan. Al-Razi menentang kenabian, wahyu,
kecenderungan berpikir irasional.[20]
Manusia lahir dengan kemampuan yang sama untuk meraih pengetahuan. Hanya
melalui pemupukkan kemampuan inilah, manusia menjadi berbeda, ada yang
menggunakannya untuk spekulasi dan belajar, ada yang megabaikannya, atau
mengarahknnya untuk kehidupan praktis.
Begitu
juga, dalam tulisan Harun Nasution[21]
atau Fuad al-Ahwani[22]
dikatakan bahwa Al-Razi
adalah seorang filsuf yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya yang
bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam, seperti tidak percaya wahyu;
Al-Qur’an bukan mukjizat; tidak percaya nabi-nabi, tidak percaya adanya hal-hal
yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan.
Pernyataan
ini tampaknya tidak objektif sebagaimana penulis kutip tulisan Ahmad Aziz
Dahlan bahwa Al-Razi
seorang filsuf muslim dan tidak boleh dikafirkan. Analisis ini dapat ditemukan
dalam kitabnya Bar’u al-Sa’aah dam Sirr Al-Asrar, atau Ath-Thibb
Ar-Ruhani, sebagai berikut:
“Mengendalikan bahwa nafsu adalah wajib bagi
penurut rasio, menurut semua orang berakal dan menurut semua agama dan wajiblah
manusia yang baik, yang utama yang sempurna menunaikan apa yang diwajibkan
agama yang benar kepadanya (asy-syariah al-muhiqqah), tidak takut pada
kematian karena agama yang benar itu sungguh telah menjanjikan kepadanya
kemenangan, ketentraman dan masuk ke dalam kenikmatan yang terus menerus.”[23]
Al-Razi juga mengakui
kenabian sebagaimana ia menyatakan bahwa “ Semoga Allah melimpahkan shalawat
kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad dan keluarganya dan semoga Allah
shalawat kepada syaid kita, kekasih kita, dan penolong kita dihari kiamat,
Muhammad, semoga Allah melimpahkan kepadanya shalawat dan salam yang banyak
selamanya.”[24]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Al-Razi adalah seorang
rasionalis-religius, bukan
rasionalis-liberal karena Al-Razi
masih mengakui dan mendasarkan logikanya kepada agama dan kewahyuan (Supriyadi, 2009:77).
5.
Filsafat Moral
Filsafat
ini dapat digali dari karyanya: Ath-Thibb Ar-Ruhani dan Ash-Shirat
Al-Falsafiyyah. Ia menjelaskan teorinya tentang kesengan, suatu teori yang
ia bahas lagi dalam sebuah surat khusus. Baginya, kebahagiaan tidak lain adalah kembalinya apa yang telah tersingkir
oleh kemudharatan, misalnya, orang yang meninggalkan tempat yang teduh menuju
ke tempat yang penuh sinar matahari dan panas akan senang ketika kembali ke
tempat yang teduh tadi. Dengan alasan ini, kata Al-Razi, para filsuf alami mendefinisikan kebahagiaan sebagai
kembali kepada alam. Al-Razi
mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada hawa nafsu.
Kemarahan muncul dalam diri binatang agar mereka dapat melakukan pembelaan terhadap bahaya
yang mengancam. Bila berlebihan, hal itu berbahaya sekali bagi mereka.[25]
Pada
bab terakhir, ia menulis tema yang paling sesuai dalam pemikiran Hellenistis
dan abad pertengahan awal,yaitu tentang takut mati. Di sini Al-Razi mencakupkan
dirinya dengan pendapat orang-orang yang berpendirian bahwa bila tubuh hancur,
roh juga hancur. Setelah mati, ia tidak akan merasa sakit selamanya. Sebaiknya
orang yang menggunakan nalar menghindari rasa takut mati karena bila ia
mempercayai kehidupan lain ia tentu gembira, karena melalui mati ia pergi
kedunia lain yang lebih baik. Bila ia percaya bahwa tiada sesuatu pun setelah
mati ia tak perlu cemas. Betapa pun orang tidak perlu merasa cemas akan
kematian karena tidak ada alasan untuk cemas,[26]
tegas Al-Razi bahwa jiwa yang
mati bersamaan dengan badan, dengan menunjukkan pada mereka bahwa bahkan tanpa
keabadian pun, “kematian lebih bermanfaat bagi manusia dari pada kehidupan”,
karena dalam kematian tidak ada penderitaan sementara dalam kehidupan
penderitaan bergandengan tangan dengan kesenangan.[27]
Filsafat
moral atau etika Al-Razi
sangat bijak, bahkan intelektualisme eksesif yang tampaknya ia diagnosis ada
dalam dirinya sendiri, mengikuti saran Galen bahwa kita dapat menemukan
keburukan-keburukan kita sendiri dari musuh kita, diakui sebagai keburukan
karena daya rusaknya terhadap kesehatan dan ketenagan pikiran kita, dan karena
rasa prustasi yang tak terelakkan yang diakibatkan oleh tak terpenuhi ambisi
intelektual. Karena itu, seperti telah saya tegaskan beberapa tahun lalu,
“kesenangan” menurut Al-Razi
di sini “menjadi hakimnya akal dan bukan alasan untuk bersennag-senang”.
Dalam
tulisan Lenn E. Goodman yang mempersamakan filsafat moral Ar-Razi dengan
Epicurus. Al-Razi
menganggap sebagai kesalahan moral mendasarkan penilaian etis pada
pertimbangan-pertimbangan di luar kesenangan pribadi manusia dalam pengertian
ketenangan jiwa dan emosi (ataraxia). Keseluruhan etikanya difokuskan pada
imbauan kepada akal untuk mengontrol hawa nafsu (al-hawa). Seperti ditegaskan
Mohaghegh, ”Al-Razi lebih banyak
menggunakan kata hawa daripada para filsuf moral Islam lainnya” dalam membicarakan pentingnya memerangi,
menekan, menahan, dan mengendalikan hawa nafsu.[28]
BAB III
SIMPULAN
Ar-Razi
adalah filosof yang hidup pada masa pendewaan akal secara berlebihan. Hal ini
sebagaimana Mu’tazilah yang merupakan theologi dalam Islam. Apabila Al-Razi seorang muslim maka dia bukanlah seorang muslim yang sempurna
disebabkan ketidak percayaannya kepada wahyu dan kenabian. Akan tetapi Al-Razi tetap dipandang pada masanya sebagai seorang yang tegar dan liberal
di dalam Islam. Bahkan dalam sejarah Al-Razi adalah seorang yang dikenal sebagai seorang rasional murni dan sangat
mempercayai akal, bebas dari prasangka serta terlalu berani dalam mengeluarkan
gagasan filosofinya dan untuk
mengakhiri makalah ini saya akan menukil pernyataan Al-Ghazali mengenai
persoalan-persoalan yang terdapat dalam karya-karya filosof Islam yang
menurutnya dapat merusak ajaran Islam. Al-Ghazali mencatat ada dua puluh
persoalan, dari dua puluh persoalan tersebut tujuh belas diantaranya dipandang
sebagai pembaharuan yang tercela (bid’ah) dan tiga
diantaranya yakni pandangan filosof tentang (1) yakni badan manusia tidak akan
dibangkitkan pada hari kiamat, akan tetapi jiwa yang dicabut dari badan yang
akan diberi balasan baik atau hukuman dan baik
pahala atau hukum tersebut adalah dalam bentuk spritual dan bukan bentuk
jasmaniah (2) Tuhan yang maha Mulia hanya mengetahui hal-hal yang universal dan
bukan yang partikular dan (3) bahwa dunia ini Qodim baik
waktu yang lalu maupun yang akan datang. Oleh Al-Ghazali ketiga pandangan itu
menyebabkan para filosof dapat dipandang kafir.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Yusril, Perkembangan
Pemikiran Filsafat Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Heris Hermawan dan Yaya
Sunarya. 2011. Filsafat Islam,
Bandung: CV. Insan Mandiri
Mustofa, A. 2009. Filsafat
Islam, Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Harun, Fisafat dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang
Nasution, Hasymsyah, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama
Sirajuddin Zar, 2004. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta
: Grafindo Persada,
Sudarsono. 2010. Filsafat
Islam, Jakarta : Rineka Cipta
Supriyadi,
Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam,
Bandung : CV Pustaka Setia
[1] Dedi Supriyadi, pengantar Filsafat
Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 68
[2] Prof. Dr.
H. Sirajuddin Zar, MA.,”Filsafat Islam
Filosof dan Filsafatnya”, Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 112.
[3] M.M. Syarif, MA., “Para Filosof
Muslim”, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 31.
[4] Ibid Sirajudin Zar, hlm 116
[5] Yusril Ali, Op.Cit, hal.
34
[6] Hasymsyah Naution,
Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama
[7] Drs. H. A Mustofa, Filosafat
Islam, Bandung: Pustaka Setia , hal.117
[8] Harun Nasution, Op.Cit,
hal 19
[9] Bagus Takwin, Filsafat
Timur, hal. 123
[10] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam., hlm 71
[11] Ibid hlm. 72
[12] Kitab
Manshuri, yang dipersembahkan Ar-Razi kepada Gubernur Dinasti Samaniyyah di
Rayy, Al-Manshur Ibn Ishaq (w.313 H/925 M), menurut ‘Ali Ibn Al-‘Abbas (w. 385
H/994 M), menjadi rujukan utama pendidikan kedokteran abad ke-12 yang dialih
bahasakan ke Latin Liber Almansoris oleh Gerard dari Cremona; lihat Lenn
E.Goodman,Ibid.,hlm. 244
[13] Lenn. E. Goodman, Ibid.,
hlm. 246.
[14] Drs.
H. A. Mustofa, Op.Cit, hal. 120
[15] Yusril
Ali, Op.Cit, hal.38
[16] M.M.Syarif,
Ibid., hlm.38.
[17] Ibid.
[18] M. M. Syarif, Ibid.,
hlm. 38. Kitab Hawi diterbitkan di Hyderabad dalam bahsa Arab pada 1955.
Sebelum meninggal,Ar-Razi menerbitkan empat media dengan judul kitab Al-Hawi;
lihat Sayyed Hosen Nasser, Ibid., hlm. 669.
[19] Ibid., lihat pula Opera
Philosophica, Vol. 1, 1939, hlm., 17-18.
[20] Informasi bahwa Ar-Razi
tdak mengakui Nabi, wahyu, dan ajaran kenabian disampaikan oleh Abu Hatim
Ar-Razi(w.321 H/933 M), tokoh propagandis Syiah Ismailiah yang sezaman dengan
Ar-Razi tetapi memusuhinya. Bila benar informasi ini, tentu Ar-Razi tidak dapat
disebut filsuf dan dokter muslim. Bila
tidak benar, maka Ar-Razi tidak disebut kafir atau rasionalis murni yang
menolak adanya wahyu. Sebenarnya dalam karya Ar-Razi disamping ia menghargai
akal, ia juga menghargai syariat atau agama.
[21] Harun Nasution,
filsafat....., Ibid., hlm.25.
[22] M. M. Syarif, Para
Filosof....., Ibid., hlm. 46-47.
[23] Ahmad Aziz Dahlan
sebagaimana dalam kitab Al-Thibb Al-Ruhani, Ibid., hlm. 185.
[24] Ibid., hlm. 185.
[25] Ibid., hlm.49.
[26] Ibid
[27] Seyyed Hosen Nasser
[editor], Ibid., hlm.265.
[28] Lenn E. Goodman, Ibid.,
hlm. 260.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar