BAB
I
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sunah Nabi yang
sangat di anjurkan pelaksanaannya bagi umat islam. Bahkan Nabi pernah melarang
sahabat yang berniat untuk meninggalkan nikah agar bisa mempergunakan seluruh
waktunya hanya untuk Allah,karena hidup membujang tidak disyariatkan dalam
agama. Dibalik anjuran Nabi kepada umatnya untuk meikah, pastilah ada hikmah
yang bisa diambil. Diantaranya yaitu agar bisa menghalangi mata dari melihat
kepada hal-hal yang tidak diijinkan syara dan menjaga kehormatan diri dari
terjatuh pada kerusakan seksual.
Oleh karena itu kami akan mencoba membahas makalah tentang yang
bertemakan tentang Nikah, mudah-mudahan dengan dibuatnya makalah ini
mampu memberikan semangat untuk beribadah (nikah) dibandingkan berbuat maksiat.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Nikah
Pengertian Secara Bahasa nikah berasal dari kata Az-zawaaj adalah kata dalam bahasa arab yang menunjukan
arti: bersatunya dua perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya):
" Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh)"[1]
dan
firman-Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang artinya mereka
disatukan dengan bidadari :
“Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari
yang cantik lagi bermata jeli"[2]
Karena
perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut juga Al-Aqd, yakni bergandengan (bersatu)nya antara laki-laki dengan perempuan,
yang selanjutnya diistilahkan dengan zawaaja.
Pengertian Secara Syar’i
Adapun secara syar’i perkawinan itu ialah ikatan yang
menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan, dan
tidak berlaku, dengan adanya ikatan tersebut, larangan-larangan syari’at.[3]
Lafadz
yang semakna dengan “Az-Zuwaaj” adalah “An-Nikaah“ sebab nikah itu artinya saling
bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang
maksud dari lafadz “An-Nikaah” yang sebenarnya. Apakah berarti “perkawinan” atau “jima”[4]
Selanjutnya, ikatan pernikahan merupakan ikatan yang
paling utama karena berkaitan dengan dzat manusia dan mengikat antara dua jiwa
dengan ikatan cinta dan kasih sayang, dan karena ikatan tersebut merupakan
sebab adanya keturunan dan terpeliharanya kemaluan dari perbuatan keji.
Menurut undang-undang,
pernikahan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorangwanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[5]
ada beberapa pendapat ulama
tentang hukum nikah, ada yang mengatakan nikah itu wajib, sunah, mubah,
makruh bahkan haram. menurut kelompok mazhab Hanafi,Maliki dan
Hanbali, hukum melaksanakan perkawinan adalah sunat.[6]
Sedangkanmenurut
Zahiri, hukum asal perkawinan adalah wajib bagi orang muslim walaupun hanya satu
kaliseumur hidup.
Lebih
dari itu, as-Sayyid Sa biq menyebutkan lima kategorihukum pelaksanaan pernikahan yaistu :
yaitu
bagi orang yang telah mampu untuk melaksanakannya, nafsunya sudah meledak-ledak
serta dikhawatirkanterjerumus dalam perbuatan zina. Karena memelihara jiwa
danmenjaganya dari perbuatan haram adalah wajib, sedangkanpemeliharaan jiwa
tersebut tidak dapat terlaksana dengan sempurna(baik) kecuali dengan
pernikahan.
yaitu
bagi orang yang sudah mampu dannafsunya telah mendesak, tetapi ia masih sanggup
mengendalikan danmenahan dirinya dari perbuatan haram (terjerumus ke lembah
zina).Dalam kondisi seperti ini, perkawinan adalah solusi yang lebih baik.
Nikah di katakana sebagai sunnah karena memang itulah
yang di contohkan oleh Nabi junjunan kita Muhammad saw, dan tentu saja beliau melakukan hal ini bukan
karena kehendaknya sendiri melainkan Allah yang memerintahkanya untuk menikah ,
dengan turunya ayat Al-quran surah An-nisa ayat 30, dan bahkan di dalam ayat
ini Allah mengizinkan seorang laki-laki menikahi 4 orang istri asal laki-laki tersebut mampu untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Surah
An-nisa ayat 30 :
فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلَثَ
وَرُبَعَ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً (النسا ٣)
‘’Maka
nikahilah wanita-wanita )lain( yang kamu senangi dua, tiga, atau empat kemudian jika kamu
takut tidak dapat berlaku adil maka, (nikahilah) seorang saja.[7]
Selain
itu nikah sebagai sunah, karena di jelaskan juga di dalam sebuah hadist :
Dalam
hadist di atas sudah jelas bahwa nikah itu di nyatakan sunah, selain menikah sebagai sunah menikah
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena menikah adalah salah satu asa
pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Selain
itu pernikahan ialah akad yang membatasi pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban, serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang bukan mahram Selain itu dengan pernikahan seorang akan terpelihara dari
kebinasaan hawa nafsunya .
sabda
Rasullulah saw.
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَالْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ
وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ (رواه الجماعة)
‘’Hai
pemuda-pemuda, barang siapa di antarara kamu yang mampu serta berkeinginan
hendak menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu dapat merundukan pandangan
mata terhadap orang yang tidak halal di lihatnya. Dan akan memeliharanya dari
godaan syahwat . Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah dia berpuasa, karena dengan
berpuasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang.’’ (Riwayat jamaah ahli hadist)[8]
Selain
menikah sebagai sunah, menikah juga menjadi obat bagi orang yang jatuh cinta.
Betapa tidak dengan menikahlah sesuatu yang di haramkan menjadi di halalkan.
yaitu bagi orang yang tahu dan sadar bahwa
dirinyatidak mampu memenuhi kewajiban hidup berumah tangga, baik nafkahlahir
seperti sandang, pangan dan tempat tinggal, maupun nafkah batinseperti mencampuri
istri dan kasih sayang kepadanya, serta nafsunyatidak mendesak.
yaitu bagi orang yang tidak berkeinginan
menggauliistri dan memberi nafkah kepadanya. Sekiranya hal itu tidak
menimbulkan bahaya bagi si istri, seperti karena ia kaya dan tidak mempunyai
keinginan syahwat (seks) yang kuat.
yaitu bagi orang yang tidak terdesak oleh
alasan-alasanyang mewajibkan segera kawin dan tidak ada penghalang
yangmengharamkan untuk melaksanakan perkawinan.Terlepas dari pendapat para
mujtahid dan ulama di atas, makaberdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Saw, Islam sangat menganjurkanbagi orang yang sudah mampu dan siap, baik secara
moril maupun materi agarsegera melaksanakan perkawinan.[9]
Selain karena dasar hukum yang
tertera diatas, nikah juga memiliki dampak yang luar biasa,
1.
Sebagai
wadah birahi manusia
Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa
nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya
negatif.
Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu
birahi dan menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat
mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan adalah
sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi ‘aspirasi’ nulari normal seorang anak
keturunan Adam.
2.
Meneguhkan akhlak terpuji
Dengan menikah, dua anak manusia yang
berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu berupaya membentengi serta menjaga
harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang baik.
Akhlak dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya
akhlak dari diri seseorang merupakan lonceng kebinasaan, bukan saja bagi
dirinya bahkan bagi suatu bangsa. Kenyataan yang ada selama ini menujukkkan
gejala tidak baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam
pergaulan.
Jauh sebelumnya, Nabi telah memberikan suntikan
motivasi kepada para pemuda untuk menikah, “Wahai para pemuda, barangsiapa sudah memiliki
kemampuan untuk menafkahi, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat
meredam keliaran pandangan, pemelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu,
hendaknya ia berpuasa, sebab puasa adalah sebaik-baik benteng diri.”
(HR. Bukhari-Muslim)
3.
Membangun rumah tangga islami
Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak
akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui proses menikah. Tidak ada kisah
menawan dari insan-insan terdahulu maupun sekarang hingga mereka sukses
mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa menikah yang diteruskan dengan
membangun biduk rumah tangga islami.
Layaknya perahu, perjalanan rumah tangga kadang
terombang-ambing ombak di lautan. Ada aral melintang. Ada kesulitan datang
menghadang. Semuanya adalah tantangan dan riak-riak yang berbanding lurus
dengan keteguhan sikap dan komitmen membangun rumah tangga ala Rasul dan
sahabatnya.
Sabar dan syukur adalah kunci meraih hikmah
ketiga ini. Diriwayatkan tentang sayidina umar yang memperoleh cobaan dalam
membangun rumah tangga.
Suatu hari, Seorang laki-laki berjalan
tergesa-gesa menuju kediaman khalifah Umar bin Khatab. Ia ingin mengadu pada
khalifah, tak tahan dengan kecerewetan istrinya.
Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah.Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.
Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah.Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.
Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang
disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Beliau berkata,
“Wahai
saudaraku, istriku adalah yang memasak masakan untukku, mencuci
pakaian-pakaianku, menunaikan hajat-hajatku, menyusui anak-anakku. Jika
beberapa kali ia berbuat tidak baik kepada kita, janganlah kita hanya mengingat
keburukannya dan melupakan kebaikannya.”
Pasangan yang ingin membangun rumah tangga
islami mesti menyertakan prinsip kesabaran dan rasa syukur dalam mempertahankan
‘perahu daratannya’.
4.
Memotivasi semangat ibadah
Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada
umat manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali untuk
bersembah sujud, beribadah kepada-Nya.
Dengan menikah, diharapkan pasangan suami-istri
saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan. Dengan menikah satu sama lain
memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan Rasul-Nya.
Lebih dari itu, hubungan biologis antara laki
dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan terhitung sebagai sedekah. Seperti
diungkap oleh rasul dalam haditsnya, “Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu
(dengan istrinya) adalah sedekah.” “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah
seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?”
Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi
syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi
syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim)
5.
Melahirkan keturunan yang baik
Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang
salih, berkualitas iman dan takwanya, cerdas secara spiritual, emosional,
maupun intelektual.
Dengan menikah, orangtua bertanggung jawab
dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada
Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu melahikan generasi
yang baik pula.
Lima hikmah menikah di atas, adalah satu aspek
dari sekian banyak aspek di balik titah menikah yang digaungkan Islam kepada
umat. Saatnya, muda-mudi berpikir keras, mencari jodoh yang baik, bermusyawarah
dengan Allah dan keluarga, cari dan temukan pasangan yang beriman, berperangai
mulia, berkualitas secara agama, lalu menikahlah dan nikmati hikmah-hikmahnya[10]
عن عبد اللله بن
مسعو د قال قا ل لنا رسو ل ا لله ص يا معشر الشبب.من استطع منكم الباء فليتزوج ,
فانه اغض للبصر,واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه با لصوم,فانه له وجاء.متفق عليه
وله شا هد عند ا بي داود والنسا اى وابن حبا ن من حد ىث معقل ابن يث
Artinya
:
Dari
Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Saw. Kepada kami :
Hai golongan orang-orang muda ! siapa-siapa dari kamu mampu berkawin,hendaklah
ia berkawin, karena yang demikian lebih menundukan pandangan mata dan
memelihara kemaluan dan barang siapa
tidak mampu, maka hendaklah ia bershaum, : Karena,puasa
itu dapat menjadi penghalang umtuk melawan gejolak nafsu. (HR.Al-Bukhari,Muslim,Ibnu
Majah dan At-Tirmidzi). Imam At-Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini
bersetatus hasan, shahih..( Riwayat Bukhari,)[11]
حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا
حُمَيْدُ بْنُ أَبِي حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا
فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ
أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ
الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا
أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ
إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ
وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي
فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya :
Telah menceritakan kepada
kami Sa'id bin Amir Abu Maryam Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin
Ja'far Telah mengabarkan kepada kami Humaid bin Abu Humaid Ath Thawil bahwa ia
mendengar Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata; Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu
'alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka,
sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata,
"Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga
yang akan datang?" Salah seorang dari mereka berkata, "Sungguh, aku
akan shalat malam selama-lamanya." Kemudian yang lain berkata, "Kalau
aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan
berbuka." Dan yang lain lagi berkata, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya."
Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka seraya
bertanya: "Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah,
adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling
bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta
menikahi wanita .
Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku. "( HR. Bukhori) [12]
Perawi
awal hadits ini adalah Anas Ibn Malik ra sedangkan Mukhorijnya,
adalah Bukhori
Said
Ibn Abu Maryam
َعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ
, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ;
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Abdullah Ibnu
Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah
mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan
memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya
berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (HR. Muttafaq Alaihi)[13]
Menikah
dalam teks hadis yang pertama itu
dikaitkan dengan kemampuan seseorang. Berarti bagi orang yang tidak memiliki
kemampuan, atau mungkin kesiapan tertentu, dia tidak dikenai anjuran menikah.
Dalam komentar Ibn Hajar terhadap teks hadis ini, orang yang tidak mampu
menikah (misalnya, berhubungan seksual) justru disarankan untuk tidak menikah,
bahkan bisa jadi menikah itu baginya menjadi makruh. Memang dalam bahasan fiqh,
menikah tidak melulu dihukumi sunnah, sekalipun disebutkan dalam teks hadis di
atas sebagai sesuatu yang sunnah. Menikah banyak berkaitan dengan
kondisi-kondisi kesiapan mempelai dan kemampuan untuk memberikan nafkah atau
jaminan kesejahteraan.
Imam
al-Ghazali (w. 505H), misalnya, menyatakan bahwa bagi seseorang yang merasa
akan memperoleh manfaat dari menikah dan terhindar dari kemungkinan penistaan
dalam pernikahan, sebaiknya ia menikah. Sebaliknya, ketika ia justru tidak akan
memperoleh manfaat, atau tidak bisa menghindari kemungkinan penistaan, maka ia
tidak dianjurkan untuk menikah .[14]
Ibnu
Mas’ud adalah Abdullah bin Mas’ud Abu Abdurrahman Al-Kufi Ibnu Ummi Ma’bad
Al-Hadzali, seorang sahabat Rasulullah SAW yang juga pembantu beliau. Ibnu
Mas’ud termasuk salah seorang As-Sabiquuna Al-Awwaluun. Dia telah menghafal
alqur’an sebanyak 70 surat. Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa barangsiapa
yang ingin membaca Al-Qur’an sebagaimana diturunkannya, dia membaca sebagaimana
halnya bacaan Ibnu Ummi Ma’bad. Dia menyaksikan banyak peperangan. Dia
meriwayatkan 848 hadits yang kemudian sejumlah orang meriwayatkan darinya. Ibnu
Mas’ud meninggal dunia tahun 32 H dalam usia 60 tahun lebih.
Anjuran
Nikah Berdasarkan Firman Allah SWT yang berbunyi, فا نكحوا ما طاب لكم من الساء, [an-Nisa’:
6]. Abu al-Waqt menambahkan bahwa asalnya ayat dan perintah merupakan kepastian
anjuran. Sunnah itu sangat kecil derajatnya. Maka tetaplah anjuran itu. Adapun
pendapat Daud dan yang mengikutinya bahwa nikah itu fardlu ain bagi orang yang
mampu melakukan hubungan suami istri dan memberi nafkah karena ayat di atas.
Syari’at
dengan tegas melarangnya, tapi sekte Syi’ah Imamiyah membolehkannya. Perkawinan
seperti ini sudah populer pada saat ini di Eropa, dan mereka menyebutnya
sebagai "perkawinan eksperimen".[15]
Pernikahan
seperti ini juga tersiar di kalangan kaum muslimin, dengan alasan bahwa
pernikahan ini tidak diharamkan oleh syari’at. Itu terjadi karena kebodohan
mayorits kaum muslimin tentangnya. Oleh karenanya, saya ingin membahasnya
tersendiri dalam pembahasan kita ini.
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا ابْنُ
عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِمَا
أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُومِ
الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ
Telah menceritakan
kepada kami Malik bin Isma'il Telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyainah bahwa
ia mendengar Az Zuhri berkata; Telah mengabarkan kepadaku Al Hasan bin Muhammad
bin Ali dan saudaranya Abdullah bin Muhammad dari bapak keduanya bahwasanya;
Ali radliallahu 'anhu berkata kepada Ibnu Abbas, "Sesungguhnya Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang nikat Mut'ah dan memakan daging
himar yang jinak pada zaman Khaibar."[16]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي جَمْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ سُئِلَ
عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ فَرَخَّصَ فَقَالَ لَهُ مَوْلًى لَهُ إِنَّمَا ذَلِكَ
فِي الْحَالِ الشَّدِيدِ وَفِي النِّسَاءِ قِلَّةٌ أَوْ نَحْوَهُ فَقَالَ ابْنُ
عَبَّاسٍ نَعَمْ
Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Basysyar Telah menceritakan kepada kami Ghundar Telah
menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu Jamrah ia berkata; Aku mendengar
Ibnu Abbas ketika ia ditanya mengenai Mut'ah, lalu ia memberi rukhshah.
Maka bekas budaknya pun berkata, "Sesungguhnya yang demikiannya itu hanya
boleh pada saat seseorang memang berada dalam keadaan yang sangat
memperihatinkan dan ketika wanita sangat sedikit." Maka Ibnu Abbas
berkata, "Ya, benar."
َوَعَنْ
سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رضي الله عنه قَالَ : ( رَخَّصَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم عَامَ أَوْطَاسٍ فِي اَلْمُتْعَةِ , ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ , ثُمَّ
نَهَى عَنْهَا ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
|
Salamah Ibnu Al-Akwa' berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
pernah memberi kelonggaran untuk nikah
mut'ah selama tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekkah),
kemudian bleiau melarangnya. Riwayat Muslim.[17]
|
Mut’ah adalah
pernikahan yang menetapkan batas waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara
calon suami dan istri. Bila beliau masa yang di sepakati habis maka keduanya
dapat memperpanjang atau mengakhiri pernikahan mereka sesuai kesepakatan
semula. Ulama-ulama tafsir kelompok sunni menyatakan bahwa Allah SWT hanya
membenarkan dua cara, cara untuk penyaluran nafsu seksual yaitu mulai pasangan-pasangan
yang di nikahi tanpa batas waktu dan melalui kepemilikan budak perempuan.
Dengan demikian tidak ada cara melalui nikah mut’ah karena perempuan yang di
nikahi secara mut’ah di namai istri bukan juga termasuk budak perempuan yang
dimiliki. Dan ulama sunnah Azzamakhsyari pakar tafsir yang beraliran Rasional
dan Sunni menyatakan “ perempuan yang di nikahi secara mut’ah adalah istri yang
sah, mereka juga dinamai pasangan-pasangan bahkan mereka pun mempunyai hak
karena nikah mut’ah dibenarkan oleh Rasulullah SAW dan di praktekan oleh
sahabat beliau dan di praktekan pada masa khalifah Abu Bakar ra. Dan Umar Ibnu
Al-Khattab.
Pada masa inilah nikah
mut’ah di dasari dengan syarat-syarat tertentu yang membedakan dengan perzinaan
berdasarkan aneka riwayat datang pengharaman dengan demikian tidak di benarkan
segala macam hubungan seks kecuali melalui pernikahan yang bertujuan langgeng.
Pernikahan ini pada mulanya tidak di batasi jumlahnya sampai dengan turunnya
izin berpoligami yang tidak boleh lebih dari empat orang wanita.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ
عُبَيْدِ اللهِ قَالَ حَدَّثَنِى سَعِيْدُ بْنُ أَبِى سَعِيْدٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَ لِحَسَبِهَا وَ
جَمَالِهَا وَ لِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (أخرجه
البخاري فى كتاب النكاح باب الأكفاء فى الدين)[i]
(رَوَاهُ الْخَمْسَةُ)[ii]
(رواه الجماعة إلّا الترمذيّ)[iii] (متفق عليه مع بقيّة السبعة)[iv]
Artinya :
...Abdurrahman Ibn Shakhar (Abu Hurairah) Ra. Rasulullah SAW
bersabda : “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena
keturunannya karena kecantikannya, karena karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya karena jika tidak
binasalah kedua tanganmu” (HR. Al-Bukhary pada kitab Nikah bab Orang-orang yang
mampu beragama) ...maka pilihlah wanita
yang beragama, niscaya engkau berbahagia” (Riwayat Khamsah)...Maka pilihlah
yang beragama, mudah-mudahan engkau memperoleh keberuntungan.”...Maka pilihlah
wanita yang beragama (jika tidak), maka binasalah engkau” (H.R. Jama’ah ahli
hadits kecuali Turmudzi)...Lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu
bahagia.” (Muttafaq ‘Alaih beserta sisa As Sab’ah (perawi yang tujuh, selain Al
Bukhari dan Muslim, yaitu Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu
Majah. Pent.)), yaitu mereka yang sudah disebutkan dalam pendahuluan kitab
Subulus Salam I.[18]
Hadits tersebut, memberikan gambaran mengenai kriteria-kriteria yang
menjadi bahan pertimbangan seorang lelaki dalam memilih seorang perempuan
sebagai isterinya. Kriteria-kriteria tersebut adalah kecantikan, keturunan,
kekayaan, dan agamanya. Orang yang mengutamakan kriteria agama, dijamin oleh
Allah akan memperoleh kebahagiaan dalam berkeluarga.
Ada empat kepentingan yang
disebutkan dalam hadits
di atas, sebagai motivasi pemilihan istri.
4)
kepentingan agama, yang diungkapkan dengan li
diniha karena agamanya. Perempuan dinikahi karena kebaikan agamanya, yang
akan menjadi jaminan kebaikan kepribadian dan urusan keluarga nanti. Dengan
kepentingan agama ini, seorang laki-laki meletakkan pondasi yang kokoh bagi
kehidupan keluarga. Itulah sebabnya Rasul Saw. Menjlaskan dengan “Pilihlah
berdasarkan agamanya agar selamat dirimu”
Kriteria utama yang harus ditetapkan oleh para
lelaki dalam memilih calon
istri adalah agama, yaitu seorang perempuan yang salehah, taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, serta berakhlak mulia. Tentu saja kepentingan yang lain
tidak diabaikan, hanya haruslah berlandaskan kebaikan agama, bukan yang lain.
“Janganlah kalian
menikahi wanita karena kecantikannya, boleh jadi kecantikannya itu akan
membinasakan mereka. Jangan kalian menikahi wanita karena hartanya, boleh jadi
hartanya itu akan membuat mereka durhaka. Tapi nikahilah mereka atas dasar
agamanya. Budak wanita yang cacat telinga lagi hitam kelam yamg memiliki agama,
adalah lebih utama untuk dinikahi. “(HR. Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar).
Secara umumnya, mereka yang baik agamanya dan lebih taqwanya adalah mulia
dan dipandang tinggi di sisi Allah s.w.t.
...إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ...
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu…” [20]
Orang yang menikah hanya karena dilatar belakangi harta atau kecantikan,
tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan. Harta, boleh jadi
membuat wanita itu congkak dan sombong terhadap suami. Kecantikan, boleh jadi
membuat dirinya lupa daratan, berselingkuh dan macam-macam tingkah yang
dilakukan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda:
Adapun
keriteria lain ketika memilih calon istri diantaranya :
a)
al-walud (wanita yang subur) dan sangat
mencintai karena Nabi Muhammad Saw menganjurkan kepada laki-laki muslim yang
hendak memilih calon istri agar memilih atau menkahi wanita-wanita yang subur
lagi sangat mencintai.
عن
أنس رضي الله عنه قال: كان النبي صلى الله
عليه وسلم يأمرنا بالباءة، وينهى عن التبتل نهيا شديدا، ويقول: "تزوجوا
الودود الولود فإني مكاثر بكم الأنبياء يوم القيامة “.رواه
أحمد ، وصححه ابن حبان[21] .
…..Rasulullah bersabda
“nikahilah wanita-wanita yang subur lagi sangat mencintai……(HR. Ahmad dan
shahih Ibnu Hibban)[22]
b)
perawan, dalam pandangan Rasulullah wanita yang
masih gadis/perawan itu lebih manis mulutnya, lebih bersih rahimnya, dan lebih
rela terhadap hal yang sedikit. Keena itu beliau sangat menganjurkan dalam
hadist.
“hendaklah
kalian menikahi para gadis atau perawan. Sebab, mereka itu lebih manis mulutnya,
lebih bersih rahimnya dan lebih rela terhadap yang sedikit.”(HR. Ibnu majah
dan Baihaqi)
وَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى , عَنْ أَبِيهِ
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا نِكَاحَ إِلَّا
بِوَلِيٍّ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ
اَلْمَدِينِيِّ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَابْنُ حِبَّانَ , وَأُعِلَّ
بِالْإِرْسَالِ
Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak sah nikah kecuali dengan wali ." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut
Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursa[23]
Wali
adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada oranglain sesuai
dengan bidang hukumnya.Wali ada yang umum dan yang khusus. Yang khusus , ialah
berkenaan dengan dengan manusia dan harta benda. Disini yang dibicarakan wali
terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam perkawinan.
Jumhur
ulama’ berpendapat seperti ; Malik .Tsauri Laits, dan Syafi’I berpendapat bahwa
Wali dalam pernikahan adalah ahli waris, tetapi bukan paman dari ibu, bini dari
ibu,saudara seibu dan keluarga dzawil arham(……………………).
Syafi’I
berkata : (“nikah seorang wanita tidak dapat dilakukan , kecuali dengan
pernyataan wali Qorib (dekat). Jika ia tidak ada , dengan wali yang jauh . dan
jika ia tidak ada, dengan hakim.”2)Laki-laki boleh mengawini perempuan yang
berada dalam perwaliannya tanpa menunggu persetujuan wali lainya, asal saja
perempuan tersebut rela menjadi isterinya.
Syarat –syarat wali
Adapun
syarat-syarat wali ialah;
1. merdeka,
2. berakal
sehat
3. dewasa.
4. untuk
menjadi wali adalah beragama islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang
islam pula sebab yang bukan islam tidak boleh menjadi walinya orang islam .
Allah telah berfirman:
·
“dan Allah
tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai
orang-oarang mukmin.”[24]
o
Seorang wali
tidak disyaratkan adil. Jadi seorang yang durhaka tidak kehilangan hak menjadi
wali dalam perkawinan, kecuali kalau kedurhakaannya melampaui batas-batas
kesopanan yang berat. karena wali tersebut jelas tidak menentramkan jiwa
orang-orang yang diurusnya, karena itu haknya menjadi wali menjadi hilang.
Macam_macam wali
Bagi
orang yang kehilangan kemampuannya, seperti orang gila, anak-anak yang masuh
belum mencapai umur tamyiz boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya ,
sebagaimana dengan orang –orang yang kurang kemampuannya, seperti anak-anak dan
orang yang akalnya belum sempurna , tetapi belum tamyiz (abnormal). Yang
dimaksud dengan wali mujbir yaitu seorang yang berhak meng’aqadkan orang yang
diwalikan diantara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih
dahulu. Dan aqadnya berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat ridho
atau tidaaknya .
Wewenang
wali berpindah ke tangan hakim , apabila;
1. ada pertentangan di antara wali-wali
2. bilamana
walinya tak ada dalam pengertian mereka meninggal atau hilang atau karma
gharib.
Jika
perempuan dan laki-lakinya tak mau menanti, tak ada alas an untuk mengharuskan
mereka menanti. Dalam sebuah hadis disebutkan;
Jika
wali terdekat memenuhi syarat-syarat hadir dalam upacara “aqad-nikah tersebut
maka wali yang jauh yang juga sama-sama hadir pada waktu itu tidak berhak
menjadi wali . misal ; ayah hadir maka saudara laki-lakinya tidak dapat menjadi
wali.
Bila
wali terdekatnya gharib sedang peminang tak mau menunggu lebihlama pendapatnya
maka hak perwaliannya berpindah dengan wali berikutnya. Hal ini agar tidak
menyebabkan terganggunya kemaslahatan dan apabila wali yangyang gharib telah
datang kemudian, ia tidak mempunyai hak untuk membatalkan tindakan wali
pengantinya yang terdahulu . karna keghoribanya dipandang sama dengan ia tidak
ada. Karena itu hak perwalian berpindah ke tangan wali berikutnya .pendapat
mahzab hanafi.
Dari
pendapat syafi’i “bahwa apabila perempuan yang di’aqadkan oleh wali yang lebih
jauh , sedang wali yang lebih dekat hadir , maka nikahnya batal . jika walinya
yang lebih dekat gharib, wali berikutnya tidak berhak meng’aqadkannya dan yang
meng’aqadkanya ialah hakim.
Dalam
“Bidayatul Mujtahid” dikatakan bahwa mengenal masalah ini imam malik sendiri
mempunyai beberapa pendapat .
1)
jika walinya
yang lebih jauh meng’aqadkan padahal wali yang lebih dekat hadir , maka
pernikahan itu dibatalkan .
BAB III
SIMPULAN
1.
Penghalalan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim untuk “bersenang-senang” serta memiliki tujuan untuk mencapai keluarga
yang sakinah mawadah warohmah”
2.
Adanya hukum-hukum dalam nikah, ketika seseorang menikah
dengan tujuan ibadah, maka akan bernilai ibadah. Dan apabila nikah itu
ditujukan untuk maksiat maka, dosa yang akan didapat.
3.
Ketika melakukan pernikahan, maka rukun dan syaratnya
harus kita lakukan, sebagai mana dijelaskan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bajuri,
Ibrahim. hasytul bajuri. Jilid II.
Penerbit Darul kitab al-islamiyyah. Beirut . 2007.
Al-Imam
Syamsyud Din-Raudhatul Muhibbin:Irsyad
Baitus Salam.2006
Al-Mahalli,
Abu Iqbal, Muslim Modern Dalam Bingkai Al-Qur’an dan Al-Hadits, Penerbit
LeKPIM Brajan, Yogyakarta, 2000.
Amru,
Khoirul harahap, Ikhtiar Cinta, Penerbit Qultum Media, Jakarta. 2009.
As-Sayyid
Sabiq, Fiqh as-Sunnah II, Penerbit Pustaka Percetakan Offset, Bandung, 1993
Hamidy,
Mu’ammal, A. M., Imron, dan Fanany, Umar, Terjemahan Nailul Authar Himpunan
Hadis-hadis Hukum, Penerbit PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993.
Hasan,
Ahmad, Terjemah Bulughulmaram, CV.Diponegoro,
Bandung, 1989.
Helmy,
Masdar, Tarjamah hadits Bulughul Maram,
gema risalah press, bandung.
Ja’far,
H. Abidin, dan Fuady, M. Noor, Hadits Nabawi Memuat 50 Hadits-hadits Nabi
SAW Sesuai dengan Silabus Fakultas Tarbiyah, Antasari Press, Banjarmasin,
2006.
Muhammad,
Abu Bakar, Terjemahan Subulus Salam III, Penerbit Al-Ikhlas, Surabaya,
1995.
Mukhtar,
Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Penerbit PT. Bulan
Bintang, Jakarta, 1993.
Ja’far,
H. Abidin, dan Fuady, M. Noor, Hadits Nabawi Memuat 50 Hadits-hadits Nabi
SAW Sesuai dengan Silabus Fakultas Tarbiyah, Antasari Press, Banjarmasin,
2006
Junaedi,
Didi, Mimbina Rumah Tangga Islam di bawah
Ridho Illahi, PT.Pustaka Setia, Bandung, 2000.
M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
cet. ke-6, Bandung, Mizan, 1997.
[2] QS. At-Thur : 20
[3] Musthafa, al-Khin dkk., Al-Fiqh al-Manhaji , IV: 11.
[4] M. Quraish Shihab,Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat,cet. ke-6 (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 191
[5] UU no. 1 tahun 1974
[6] Pendapat ini dapat dilihat di ‘Abd ar- Rahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh
‘ala al-Mazahib al- ’Arba‘ah,IV 8.
[8] Bulughul Maram 993
[9]
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II : 12-14.
[10] http://www.hidayatullah.com/read/17644/22/06/2011/lima-hikmah-menikah-.html
[12] Kitab Shahih Bukhori No 4675
[13] Bulugul Maram no 993
[15] ‘Audatul
Hijaab (II/60).
[16] Shahih Bukhori 4723
[17] Bulugul Maram 1023
[18] Bulughul Maram no 997
[19] Syeikh
Ibrahim al-Bajuri, hasytul bajuri.
Jilid II. Penerbit Darul kitab al-islamiyyah. Beirut . 2007. h. 179
[21] Imam ahmad bin ismail Al amirul
shonani, Subbulus Salam. Jilid III.
Penerbit Maktabah Al ishriyah. 1990. Hal 195.
[22] Bulughul Maram No 995
[23] Bulughul Maram 1008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar