TUGAS FIQIH
HIKMAH FATMAWATI
1210202073
Pendidikan Agama Islam
B / IV
Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati
PENGERTIAN SYARAT
TUJUAN DAN RUKUN NIKAH
A. Pengertian perkawinan atau nikah
Perkawinan atau nikah
menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah
Ijab dan Qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan
perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut
peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam
al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud
perkawinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan
perkawinan dan mengharamkan zina.
Pernikahan merupakan salah
satu ibadah yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini tersurat dalam
firman Allah:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم
مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً
وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang.
Berikut uraian sedikit
tentang rukun, syarat dan larangan dalam perkawinan menurut ajaran Islam:
a. Setiap ibadah tentunya mempunyai rukun
dan syarat, agar ibadah tersebut sah dan sesuai dengan ajaran islam. Dalam
konteksnya dengan perkawinan, rukun dari sebuah pernikahan adalah:
a. Adanya calon mempelai pria dan wanita
b. Adanya wali dari calon mempelai wanita
c. Dua orang saksi dari kedua belah pihak
d. Adanya ijab; yaitu ucapan penyerahan
mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria untuk dinikahi
e. Qabul; yaitu ucapan penerimaan
pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)
b. Setiap rukun yang ada harus memiliki
syarat-syarat tertentu. Hal ini demi sahnya sebuah pernikahan. Adapun
syarat-syarat pernikahan tersebut adalah:
1. Menyebut secara spesifik (ta’yin) nama
mempelai. Tidak boleh seorang wali hanya mengatakan, “saya nikahkan kamu dengan
puteri saya” tanpa menyebut namanya sedangkan puterinya lebih dari satu.
2. Kerelaan dua calon mempelai. Dengan
demikian tidak sah pernikahan yang dilangsungkan karena paksaan dan tanpa
meminta persetujuan dari calon mempelai. Sebagaimana sabda Nabi : “Seorang
gadis tidak boleh dinikahkan sehingga diminta persetujuannya” (HR Bukhari &
Muslim)
3. Wali bagi mempelai wanita, sebagaimana
dalam sabda Nabi Saw : “Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR.
Abu Dawud). Yang menjadi wali bagi
seorang wanita adalah ayahnya, kemudian kakek dari ayah dan seterusnya ke atas;
kemudian anak lelakinya dan seterusnya ke bawah; Kemudian saudara kandung pria,
saudara pria ayah dan seterusnya sebagaimana dalam hal warisan. Apabila seorang
wanita tidak memiliki wali, maka sulthan (penguasa) yang menjadi walinya.
4. Dua orang saksi yang adil, beragama Islam
dan laki-laki. Sebagaimana sabda Nabi: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa
seorang wali dan dua orang saksi yang adil ” (HR. Al-Baihaqi)
B. Hukum dan Tujuan Menikah
Fuqaha menyebutkan bahwa
pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi dalam satu keadaan
hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau hanya mubah,
bahkan terkadang makruh atau haram. Adapun hukum asal menikah adalah sunnah
menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari
mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama,
menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.
Nikah ini merupakan sunnah
para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً
مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Sungguh Kami telah mengutus
para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak
turunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Utsman bin Mazh’un
radhiyallahu ‘anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki
syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.).
Akan tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR.
Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)
C. Tujuan Menikah
Orang yang menikah
sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata,
sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah
karena tujuan-tujuan berikut ini:
1. Melaksanakan anjuran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّج
“Wahai sekalian para pemuda!
Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia
menikah….”
2. Memperbanyak keturunan
umat ini, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ،
فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan
wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku
membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3. Menjaga kemaluannya dan
kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang
haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا
مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ
خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad)
kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan
mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan
katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan
sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur:
30-31)
Dalam surah yang lain, Allah
Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang beriman yang salah satu sifat mereka
adalah menjaga kemaluan mereka kecuali kepada apa yang dihalalkan:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ
غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang
mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
(Al-Mu`minun: 5-6)
Dalam sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Karena dengan nikah akan
lebih menundukkan pandangan (dari melihat yang haram) dan lebih menjaga
kemaluan (dari melakukan zina),” juga terkandung tujuan nikah.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ…
“Wahai sekalian para pemuda!
Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia
menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu)
[Faidah ini diambil dari
artikel "Menikah dengan Aturan Islam" oleh Al-Ustadz Ishaq Muslim
Al-Atsari.
D. Rukun Nikah
A. Rukun nikah adalah sebagai berikut:
a) .Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang
secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi
keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang
yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan
penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang
lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan
dinikahinya seorang muslimah.
b) Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang
menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka
Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah”
(“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
c) .Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang
mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat
Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Dalam ijab dan qabul
dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an.
Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا
زَوَّجْنَاكَهَا “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap
istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab
yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
d) Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau
orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki. Dalam hadits
disebutkan: إِلاَّ بِوَلِيٍّ لاَ نِكَاحَ “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya
wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i) Bila seorang wanita tidak memiliki
wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak
perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: فَالسُّلْطَانُ
وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ “Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita
yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)
e) Dua orang saksi Saksi adalah orang yang menyaksikan sah atau
tidaknya suatu pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma: لاَ نِكَاحَ
إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ (رواه الطبراني، وهو في صحيح الجامع 7558) “Tidak
ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah
kecuali An-Nasa`i)
E. Syarat Nikah
1.
.Sarat calon pengantin pria
sebagai berikut :
a) Beragama Islam
b) Terang prianya (bukan banci)
c) Tidak dipaksa
d) Tidak beristri empat orang
e) Bukan Mahram bakal istri
f) Tidak mempunyai istri dalam yang haram dimadu dengan bakal isteri
g) Mengetahui bakal istri tidak haram dinikahinya
h) Tidak sedang dalam ihram atau umrah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan,
dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim)
2.
Syarat calon pengantin
wanita sebagai berikut :
a) Beragama Islam
b) Terang wanitanya (bukan banci)
c) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya Hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu: لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ
الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ “Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia
diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan
sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya
menikahkannya tanpa seizinnya. \
d) dak bersuami dan tidak dalam iddah
e) Bukan mahram bakal suami
f) Belum pernah dili'an ( sumpah li'an) oleh bakal suami
g) Terang orangnya h)Tidak sedang dalam ihram haji atau umra.
3.
Syarat wali sebagai berikut
:
a) Beragama Islam
b) Baligh
c) Berakal
d) Tidak dipaksa
e) Terang lelakinya
f) Adil ( bukan fasik )
g) Tidak sedang ihram haji atau umrah
h) Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh
pemerintah (mahjur bissafah)
i)
Tidak rusak pikirannya
karena tua atau sebagainya.
4.
Syarat saksi
a)
Beragama Islam
b)
Laki-laki
c)
Baligh
d) Berakal
e)
Adil
f)
Mendengar {tidak tuli}
g)
Melihat (tidak buta)
h)
Bisa bercakap-cakap (tidak
bisu)
i)
Tidak pelupa ( mughhaffal)
j)
Menjaga harga diri ( menjaga
muru'ah)
k)
Mengerti maksud ijab dan
qobul l)Tidak merangkap menjadi wali
5.
.Ijab dan Qabul Ijab dan
qabul harus berbentuk dari asal kata "inkah" atau "tazwij"
atau terjemahan dari kedua asal kata tersebut yang dalam bahasa Indonesia
berarti "Menikahkan". Contoh : a. Ijab dari wali calon mempelai perempuan
: Hai Wulan bin, saya nikahkan fulanah, anak saya dengan engkau, dengan ;mas
kawin (mahar). b. kabul dari calon mempelai pria ; saya terima nikahnya fatimah
binti........ dengan maskawin (mahar)............
MASALAH MAHRAM, KHITBAH DAN MAHAR PERNIKAHAN
A. Mahram Nikah
Dalam ajaran Islam ada ketentuan hukum
bahwa tidak setiap pasang laki-laki dan perempuan boleh dan syah melangsungkan
pernikahan. Banyak diantara pasangan laki-laki dan perempuan karena sebab-sebab
tertentu mereka haram menjalin akad pernikahan. Laki-laki yang tidak boleh
menikah dengan perempuan tertentu disebut mahran perempuan. Sebaliknya
perempuan yang tidak boleh menikah dengan laki-laki tertentu disebut mahram
laki-laki. Jadi laki-laki maupun
perempuan yang haram dinikahi disebut mahram.
Masalah mahram merupakan
salah satu masalah yang penting dalam syari’at Islam. Karena masalah ini
memiliki kaitan yang sangat erat dengan hubungan mu’amalah diantara kaum
muslimin, terutama bagi muslimah. Allah Ta’ala telah menetapkan masalah ini
sebagai bentuk kasih sayang-Nya juga sebagai wujud dari kesempurnaan agama-Nya
yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Istilah mahram adalah istilah yang
terdapat di dalam bab fiqih nikah. Berasal dari kata haram yang artinya tidak
boleh atau terlarang. Dari asal kata ini kemudian terbentuk istilah mahram,
yang pengertiannya wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi.
Contoh hubungan mahram adalah seorang
ibu yang menjadi mahram buat anaknya. Tidak boleh atau tidak mungkin terjadi
hubungan pernikahan antara ibu dengan anak. Demikian juga seorang laki-laki
menjadi mahram buat saudara wanitanya, dengan tidak boleh adanya pernikan
sedarah.
Contoh hubungan non muhrim adalah
antara seorang laki-laki dengan saudara sepupunya yang wanita. Atau antara
seorang laki-laki dengan anak pungutnya yang wanita. Meski anak itu telah
dipeliharanya sejak bayi, namun secara nasab anak itu bukan anaknya sendiri
tapi anak orang lain. Sehingga hubungan antara ayah angkat dengan anak
angkatnya itu bukan mahram. Dan dimungkinkan terjadinya pernikahan antara
mereka berdua.
Mirip dengan mahram, kita juga
sering mendengar istilah muhrim, yang asal katanya sama-sama dari kata haram.
Namun makna muhrim adalah orang yang sedang melakukan ibadah ihram, di mana
baginya diharamkan untuk memakai parfum, mencabut rambut, membunuh bintangan
atau berburu dan perbuatan lain.
Sedangkan istilah muabbad bermakna
abadi, berkesinambungan, terus-terusan, un-limtedatau selamanya. Dan makna
ghairu muabbad adalah lawannya, yaitu untuk sementara waktu, temporal, limited
dan terbatas waktunya. Sewaktu-waktu bisa berubah keadaannya.
Maka bila kedua istilah itu kita
padukan menjadi mahram muabbad, artinya adalah hubungan kemahraman yang
bersifat abadi, seterusnya, tidak akan pernah berubah dan selama-lamanya.
Sedangkan mahram ghairu muabbad adalah lawannya, yaitu hubungan kemahraman yang
bersifat sementara, temporal,sewaktu-waktu bisa saja berubah dan tidak abadi.
Para ulama telah menyusun daftar
hubungan kemahraman yang muabbad dan yang ghairu muabbad sebagai berikut :
1. Mahram Muabbad
Mereka yang termasuk mahram
selama-lamanya bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama karena hubungan nasab
. Kedua, karena hubungan persusuan.
a. Mahram karena Nasab
1. Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti
nenek, ibunya nenek.
2. Anak wanita dan seteresnya ke bawah
seperti anak perempuannya anak perempuan.
3. Saudara kandung wanita.
4. `Ammat/ Bibi .
5. Khaalaat/ Bibi .
6. Banatul Akh/ Anak wanita dari saudara
laki-laki.
7. Banatul Ukht/ anak wnaita dari saudara
wanita.
b. Mahram karena Mushaharah
Sedangkan kemahraman yang bersifat
sementara adalah kemahraman yang terjadi akibat adanya pernikahan. Atau sering
juga disebut dengan mushaharah . Mereka adalah:
1. Ibu dari isteri .
2. Anak wanita dari isteri .
3. Isteri dari anak laki-laki .
4. Isteri dari ayah .
c. Mahram karena Penyusuan
1. Ibu yang menyusui.
2. Ibu dari wanita yang menyusui .
3. Ibu dari suami yang isterinya menyusuinya
.
4. Anak wanita dari ibu yang menyusui .
5. Saudara wanita dari suami wanita yang
menyusui.
6. Saudara wanita dari ibu yang menyusui.
Ini berlaku untuk selama-lamanya
meskipun terjadi kematian, perceraian ataupun pindah agama.
Konsekuensi Hukum Sesama Mahram
Hubungan kemahraman yang ada dalam
daftar di atas, baik yang muabbad maupun yang ghairu muabbad, sama menghasilkan
konsekuensi hukum lanjutan, selain tidak boleh terjadinya pernikahan. Di
antaranya adalah:
Kebolehan berkhalwat antara
sesama mahram
Kebolehan bepergiannya
seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
Kebolehan melihat sebagian
dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
2.
Mahram Ghoiru Muabbadah
Adapun yang dimaksud dengan mahram
ghoiru mu’abbadah adalah wanita-wanita untuk sementara waktu saja, namun bila
terjadi sesuatu seperti perceraian, kematian, habisnya masa iddah ataupun
pindah agama, maka wanita itu boleh dinikahi. Mereka adalah:
1. Wanita yang masih menjadi isteri orang lain
tidak boleh dinikahi. Kecuali setelah cerai atau meninggal suaminya dan telah
selesai masa iddahnya.
2. Saudara ipar, atau saudara wanita dari
isteri. Tidak boleh dinikahi sekaligus juga tidak boleh berkhalwat atau melihat
sebagian auratnya. Kalau isteri sudah dicerai maka mereka halal untuk dinikahi.
Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari isteri.
3. Isteri yang telah ditalak tiga, haram
dinikahi kecuali isteri itu telah menikah lagi dengan laki-laki lain, kemudian
dicerai dan telah habis masa iddahnya.
4. Menikah dalam kesempatan dengan melakukan
ibadah ihram. Bukan hanya dilarang menikah, tetapi juga haram menikahkan orang
lain.
5. Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi
wanita merdeka. Kecuali bila tidak mampu membayar mahar wanita merdeka karena
miskin.
6. Menikahi wanita pezina, kecuali yang telah
bertaubat taubatan nashuha.
7. Menikahi wanita non muslim yang bukan
kitabiyah atau wanita musyrikah, kecuali setelah masuk Islam atau pindah
memeluk agama yahudi atau nasrani.
B. KHITBAH
Pengertian Peminangan (Khitbah)
Kata "meminang"
berasal dari kata "pinang", "meminang" adalah kata kerja.
Yang dalam bahasa arab disebut dengan Khitbah.
Menurut ethimologi meminang
adalah meminta untuk dijadikan istri (baik untuk diri sendiri ataupun orang
lain). Menurut terminology peminangan ialah kegiatan upaya kea rah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanitaAtau seorang
laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan
cara-cara yang umum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
Peminagan merupakan
pendahuluan pernikahan, disyari'atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan
tujuan agar waktu memasuki pernikahan didasarkan kepada penelitian dan
pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.
Adapun wanita yang boleh
dipinang adalah memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Tidak dalam pinangan orang lain
b. Pada
waktu dipinang tidak ada penghalang syar'i yang melarang dilangsungkanya
pernikahan.
c. Tidak dalam masa iddah karena Thalak
raj'i.
d. Apabila wanita dalam masa iddah karena
thalak ba'in, hendaklah meminang dengan cara sirri
Hukum Peminangan (Khitbah)
Menurut Ulama' Madzhab
Mengenai khitbah nikah yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, maka jumhur fuqoha’ mengatakan bahwa hal
itu tidak wajib, sedang Daud Ad-Dhoriri berpendapat bahwa hal itu tetap wajib.
Silang pendapat ini disebabkan,
apakah pebuatan Nabi SAW, yang berkenaan dengan hal itu diartikan wajib ataukah
sunnah.
Selanjutnya hukum melihat
wanita waktu peminangan, dalam hal ini ulama; madzhab juga ada silang pendapat,
imam malik berpendapat bahwa yang boleh dilihat pada waktu khitbah adalah
bagian wajah dan kedua telapak tangan. Sedangkan fuqoha’ yang lain membolehkan
melihat seluruh bagian tubuh kecuali dua kemaluan, sementara fuqoha’ yang lain
melarang melihat sama sekali.
Sedang imam Abu Hanifah
membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan kedua telapak tangan.
Silang pendapat ini
disebabkan karena dalam masalah ini terdapat suruhan khitbah nisa’ secara
mutlak, terdapat pula larangan secara mutlak dan ada pula suruhan yang bersifat
terbatas, yakni pada muka dan telapak tangan, firman Allah :
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
( النور : 31)
Artinya : “Dan janganlah
mereka (kaum wanita)menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa Nampak padanya
(Q.S. An-Nuur : 31 )
Yang dimaksud dengan
perhiasan yang biasa Nampak adalah muka dan kedua dua telapak tangan. Di
samping itu juga diqiyaskan dengan kebolehan membuka muka dan dua telapak
tangan pada waktu berhaji, bagi kebanyakan fuqoha’.
Akan halnya fuqoha’ yang
melarang melihat sama sekali, maka mereka berpegang dengan aturan pokok, yaitu
larangan melihat wanita.
C. MAHAR
A. Pengertian dan Hukum
Mahar
Pengertian
mahar secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan pengertian mahar menurut
istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon
isteri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih
bagi seorang isteri kepada calon suaminya dalam kaitannya dengan perkawinan.
Pemberian itu dapat berupa uang, jasa, barang, ataupun yang lainnya yang
dianggap bermanfaat oleh orang yang bersangkutan.
Kemudian
menegnai depinisi mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan bahwa
mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik bebentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
Dalam ilmu
fiqih mahar atau maskawin mempunyai banyak nama. Demikian pula dalam al-Qur’an,
maskawin sering disebut dengan sebutan yang berbeda-beda, kadangkala disebut
dengan shadaq,nihlah, faridhah, atau ajrun. Dalam hadits, kata maskawin biasa
disebut dengan dua kata saja, yaitu shadaq, dan maharDasar hukum mahar.
Firman Allah Artinya :
“Berikanlah kepada
wanita-wanita yang kamu nikahi mahar mereka dengan kerelaan.”
( Q.S. An-Nisaa : 4)
Imam Syafi’i mengatakan
bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh lelaki kepada perempuan
untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Sedangkan Imam Malik
berpendapat bahwa mahar merupakan/sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya
adalah wajib.
Sementara dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 30 dikatakan bahwa “ Calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh
kedua belah pihak”.
B. Ukuran Mahar
Besarnya
mahar tidak ditetapkan dalam Islam. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara
sesama manusia. Disamping itu, setiap masyrakat mempunyai adat kebiasaan yang
berbeda. Oleh karena itu, menurut penulis besarnya mahar disesuaikan dengan
kebiasaan suatu negeri disamping kondisi ekonomi kedua calon mempelai. Mengenai
besarnya mahar, fuqaha sepakat bahwa mahar itu tidak ada batasnya, apakah
sedikit atau banyak. Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan paling
sedikitnya.
Imam Malik
dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit sepempat dinar
emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang
sebanding berat emas dan perak tersebut.
Dengan
demikian, besarnya mahar antara satu dan lain tempat akan berbeda-beda. Hanya
saja permintaan yang terakhir ini disindir Nabi dengan sabdanya :
“Wanita
yang paling banyak membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit
maskawinnya.”
Dalam masyarakat
kita, pemberian mahar itu dikompromikan antara kedua mempelai bahkan sejak
jauh-jauh hari.
C. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada
calon isteri, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Harta/bendanya yang berharga
Tidak sah mahar dengan yang
tidak yang memiliki harga apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuan banyak
atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit tetapi memiliki
nilai, maka tetap sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil
manfaat
Tidak sah mahar dengan
khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang gasab
Memberikan mahar dengan
barang hasil gasab, adalah tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d. Bukan barang yang tidak jelas
keadaannya
D. Macam-Macam Mahar
Adapun mengenai macam-macam
mahar, ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu
sebagai berikut:
a. Mahar Musamma
Yaitu mahar yang sudah
disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Ulama fiqih sepakat bahwa
dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
a). Telah bercampur (bersenggama) Q.S An
-Nisa : 20
b). Apabila salah satu dari suami isteri
meninggal. Demikian pendapat ‘ijma.
Mahar musamma juga wajib
dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan isteri, dan ternyata
nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, akan tetapi kalau isteri dicerai
sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahya.Sebgaimana Firman Allah SWT
Q.S Al -Baqarah : 237.
b. Mahar Misil
Yaitu mahar yang tidak
disebut kadarnya, pada saat sebelum ataupun ketika terjadi perhnikahan. Bila
terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin
wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude), apabila tidak ada maka misil itu
beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar misil juga dapat
terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut:
Bila tidak disebutkan kadar
dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur
dengan isteri, atau meninggal sebelum bercampur.
Kalau mahar musamma belum
dibayar, sedangkan suami telah bercampur dengan isteri dan ternyata nikahnya
tidak sah.
Dalam hal ini, nikah yang
tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya, maka nikahnya disebut nikah
tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Dalam al-Qur’an syrat
al-Bqarah : 236 dijelaskan.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM ISLAM
A. Nash Sekitar Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Dalam Islam, untuk
menentukan suatu hukum terhadap sesuatu masalah harus berlandaskan atas Nas
al-Qur’an dan sunnah Nabi. Kedua sumber ini harus dirujuk secara primer untuk
mendapatkan predikat absah sebagai suatu hukum Islam. Oleh karena itu, usaha
untuk menemukan Nas yang sesuai dengan masalah yang akan dibahas adalah bagian
dari aktifitas penemuan hukum yang tidak kalah pentingnya dengan menentukan
hitam putihnya sebuah hukum. Dalam al-Qur’an tidak semua permasalahan manusia
bisa diketemukan ketentuannya, namun pada biasanya, dalam menyikapi masalah
cabang (furu‘iyah) yang tidak ada penjelasan rincinya, al-Qur’an hanya
memberikan ketentuan secara umum.
mengenai hak dan kewajiban
bersama antara suami isteri, penyusun tidak menemukan ketentuan al-Qur’an yang
mengatur secara khusus, bahkan Khoiruddin Nasution dan Ahmad Azhar Basyir
misalnya, berbeda pendapat tentang dalil mana yang mengatur tentang hak dan
kewajiban bersama tersebut. Namun sebagai pertimbangan dalam memperkaya
dalil-dalil tentang hak dan kewajiban bersama antara suami isteri akan dikemukakan
beberapa dalil yang dipakai Khoiruddin Nasution dan Ahmad Azhar Basyir yang
antara lain sebagai berikut:
والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة
قروء ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كنّ يؤمنّ بالله واليوم الأخر
وبعولتهن أحق بردهنّ في ذلك إن أرادوا إصلحا، ولهنّ مثل الذي عليهنّ بالمعروف وللرجال
عليهنّ درجة، والله عزيز حكيم[14]
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم
ذرية ضعفا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا
يأيها الذين أمنوا لايحل لكم أن
ترثوا النساء كرها ولا تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما أتيتموهنّ إلاّ أن يأتين بفحشة مبينة،
وعاشروهنّ بالمعروف، فإن كرهتموهنّ فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
Tiga ayat di atas
menjelaskan tentang hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri.
Selanjutnya mengenai ketentuan kewajiban memberi maskawin oleh suami yang
menjadi hak isteri dalam al-Qur’an dijumpai di beberapa tempat antara lain:
والمحصنت من النساء إلا ما ملكت
أيمنكم، كتب الله عليكم، وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأمولكم محصنين غير مسفحين،
فما استمتعتم به منهنّ فأتوهنّ أجورهنّ فريضة، ولا جناح عليكم فيما ترضيتم به من بعد
الفريضة، إن الله كان عليما حكيما
Ayat di atas menjelaskan
tentang kewajiban suami memberikan maskawin kepada isterinya. Tentang kewajiban
suami dalam hal maskawin Allah berfirman juga dijelaskan dalam al-Qur’an
sebagai berikut:
يأيها النبي إنا أحللنا لك أزواجك
التي أتيت أجورهن وما ملكت يمينك مما أفاء الله عليك وبنات عمّك وبنات عمتك وبنات خالك
وبنات خلتك التي هاجرن معك وامرأة مؤمنة إن وهبت نفسها للنبي إت أراد النبي أنيستنكححا
خالصة لك من دون المؤمنين، قد علمنا ما فرضنا عليهم في أزواجهم وما ملكت أيمنهم لكيلا
يكون عليك حرج، وكان الله غفورا رحيم
Sedangkan dalam sunnah Nabi,
Nabi bersabda kepada salah seorang sahabat, “nikahlah kamu sekalipun dengan
cincin dari besi.” Kemudian tentang kewajiban suami yang menjadi hak isteri
dalam hal nafkah dijumpai dalam firman Allah:
لينفق ذوسعة من سعته، ومن قدر
عليه رزقه فلينفق مما أته الله، لا يكلف الله نفسا إلا ما أتها سيجعل الله بعد عسر
يسرا
والولدت يرضعن أولدهنّ حولين كاملين،
لمن أراد أن يتم الرضاعة، وعلى المولود له رزقهنّ وكسوتهن بالمعروف لاتكلف نفس إلاوسعها،
لاتضارّ ولدة بولدها ولا مولود له بولده، وعلى الوارث مثل ذلك، فإن أرادا فصالا عن
تراض منهما وتشاور فلاجناح عليهما، وإن أردتم أن تسترضعوا أولدكم فلاجناح عليكم إذا
سلمتم ما أتيتم بالمعروف، واتقوا الله واعلموا أن الله بما تعملون بصير
الرجال قوامون على النساء بما
فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أمولهم، فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله،
والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن، فإن أطعنكم فلاتبغوا عليهن
سبيلا، إن الله كان علياّ كبيرا
Lebih lanjut dalam masalah
hak-hak isteri yang ditalak, al-Qur’an memberikan ketentuan sebagai berikut:
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم
ولا تضارّوهنّ لتضيقوا عليهنّ، وإن كنّ أولت حمل فأنفقوا عليهنّ حتى يضعن حملهنّ، فإن
أرضعن لكم فأتوهنّ أجورهنّ وأتمروا بينكم بمعروف، وإن تعاسرتم فسترضع له أخرىa
لاجناح عليكم إن طلقتم النساء
مالم تمسوهنّ أوتفرضوا لهنّ فريضة، ومتعوهنّ على الموسع قدره وعلى المقتر قدره متاعا
بالمعروف، حقا على المحسنين
C. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
dalam tradisi hukum Islam,
untuk menunjuk asas dan tujuan suatu hukum, antara asas dan tujuan digunakan
secara bergantian, walaupun untuk menunjuk objek yang khusus. Misalnya tentang
asas hukum perkawinan dalam Islam yaitu salah satunya musyawarah dan
demokrasi,[32] dan menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga.
Dalam asas hukum perkawinan
terkandung juga asas pokok hukum Islam secara umum, misalnya asas untuk
memelihara agama dan memperbaiki keturunan. Satu ketentuan hukum dalam Islam,
disamping memiliki asas normatif temporalnya, juga memiliki asas universal.
Hukum Islam Tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Dalam Islam, perkawinan
dipandang sebagai suatu perbuatan yang luhur dan suci. Perkawinan bukan hanya
perbuatan akad biasa sebagaimana dikenal dalam perkawinan perdata,[34] lebih
dari itu perkawinan merupakan perbuatan yang memiliki nilai keakhiratan (falah
oriented). Sedangkan hukum melakukannya bergantung pada kondisi subyek
hukumnya.
Pada setiap perkawinan,
masing-masing pihak (suami dan isteri) dikenakan hak dan kewajiban. Pembagian
hak dan kewajiban disesuaikan dengan proporsinya masing-masing. Bagi pihak yang
dikenakan kewajiban lebih besar berarti ia akan mendapatkan hak yang lebih
besar pula.[36] Sesuai dengan fungsi dan perannya.
Selanjutnya mengenai hak dan
kewajiban suami isteri, al-Qur’an telah secara rinci memberikan
ketentuan-ketentuannya. Ketentuan-ketentuan tersebut diklasifikasi menjadi:
Ketentuan mengenai hak dan
kewajiban bersama antara suami isteri
Ketentuan mengenai kewajiban
suami yang menjadi hak isteri
Ketentuan mengenai kewajiban
isteri yang menjadi hak suami.
Secara teoretik, untuk
menetapkan suatu hukum dalam Islam harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah
Nabi sebagai sumber primer. Al-Qur’an digunakan sebagai petunjuk hukum dalam
suatu masalah kalau terdapat ketentuan praktis di dalamnya. Namun apabila tidak
ditemukan, maka selanjutnya merujuk kepada sunnah Nabi.
Sementara itu terkait dengan
ketentuan praktis mengenai hak dan kewajiban antara suami dan steri, banyak
ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an. Dalil-dalil tersebut meliputi hak dan
kewajiban bersama antara suami dan isteri, kewajiban suami terhadap isteri,
kewajiban isteri terhadap suami.
Al-Qur’an tidak menentukan
secara khusus tentang hak dan kewajiban bersama suami isteri.[39] Namun
Khoiruddin Nasution berpendapat bahwa surat al-Baqarah (2): 228 dan surat
al-Nisa>’ (4): 9adalah dalil untuk menetapkan hak dan kewajiban bersama.
Sedangkan Ahmad Azhar Basyir
menggunakan surat al-Nisa>’ (4): 19sebagai dalil untuk menetapkan adanya hak
dan kewajiban bersama antara suami isteri dalam keluarga atau rumah tangga.
Dari ketiga ayat al-Qur’an
tersebut di atas, baik surat al-Baqarah (2): 228 dan surat al-Nisa>’ (4): 9
dan 19 diperoleh ketentuan hak dan kewajiban suami isteri sebagai berikut:
Bergaul dengan baik sesama
pasangan
Adajaminan hak sesuai dengan
kewajiban
Halal bergaul antara suami
isteri, dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain.
Sedangkan katentuan yang berhubungan dengan
kewajiban suami terhadap isteri dalam keluarga dijelaskan dalam firman Allah:
والمحصنت من النساء إلا ما ملكت
أيمنكم، كتب الله عليكم، وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأمولكم محصنين غير مسفحين،
فما استمتعتم به منهنّ فأتوهنّ أجورهنّ فريضة، ولا جناح عليكم فيما ترضيتم به من بعد
الفريضة، إن الله كان عليما حكيما
Ayat ini menjelaskan tentang
kewajiban suami membayar kepada isterinya. Suami tidak boleh meminta mahar
(pada hari-hari berikutnya) dengan jalan paksa, namun apabila isterinya
memberikan dengan sukarela, maka suami dibenarkan untuk mengambilnya. Mahar
untuk selanjutnya menjadi hak penuh isteri apabila telah dicampuri.
Rasulullah juga bersabda
bahwa maskawin dan apa saja yang diberikan suami kepada isterinya adalah
menjadi hak isteri sepenuhnya.
يأيها النبي إنا أحللنا لك أزواجك
التي أتيت أجورهن وما ملكت يمينك مما أفاء الله عليك وبنات عمّك وبنات عمتك وبنات خالك
وبنات خلتك التي هاجرن معك وامرأة مؤمنة إن وهبت نفسها للنبي إت أراد النبي أنيستنكححا
خالصة لك من دون المؤمنين، قد علمنا ما فرضنا عليهم في أزواجهم وما ملكت أيمنهم لكيلا
يكون عليك حرج، وكان الله غفورا رحيما
Dalam ayat ini dijelaskan
bahwa kegunaan mahar adalah untuk menghalalkan hubungan badan antara suami dan
isteri.
لينفق ذوسعة من سعته، ومن قدر
عليه رزقه فلينفق مما أته الله، لا يكلف الله نفسا إلا ما أتها سيجعل الله بعد عسر
يسرا
Sedangkan ayat ini
menjelaskan tentang kewajiban suami untuk mencukupi nafkah isteri. Kadar nafkah
yaitu disesuaikan dengan kemampuannya. Menurut Azhar Basyir bahwa batas minimal
kewajiban nafkah yaitu meliputi keperluan makan, pakaian, perumahan dan
sebagainya. Ketentuan ma‘ru>f dalam al-Qur’an juga berlaku untuk ketentuan
nafkah, yaitu batas kewajaran (sedang, tengah-tengah, tidak kurang dari
kebutuhan tetapi tidak pula berlebihan)
والولدت يرضعن أولدهنّ حولين كاملين،
لمن أراد أن يتم الرضاعة، وعلى المولود له رزقهنّ وكسوتهن لاتكلف نفس إلاوسعها، لاتضارّ
ولدة بولدها ولا مولود له بولده، وعلى الوارث مثل ذلك، فإن أرادا فصالا عن تراض منهما
وتشاور فلاجناح عليهما، وإن أردتم أن تسترضعوا أولدكم فلاجناح عليكم إذا سلمتم ما أتيتم
بالمعروف، واتقوا الله واعلموا أن الله بما تعملون بصير
Ayat ini mengokohkan ayat
sebelumnya yang memuat kewajiban suami untuk memenuhi nafkah isteri-isterinya.
Sekali lagi dalam ayat ini ditegaskan bahwa kadar nafkah yaitu disesuaikan
dengan kemampuan suami. Kata بالمعروف sebagai pembatas kadar nafkah yang tidak
boleh berlebihan, apalagi memang tidak mampu untuk memberikan nafkah secara
berlebihan.
الرجال قوامون على النساء بما
فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أمولهم، فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله،
والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن، فإن أطعنكم فلاتبغوا عليهن
سبيلا، إن الله كان علياّ كبيرا
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم
ولا تضsارّوهنّ لتضيقوا عليهنّ، وإن كنّ أولت حمل فأنفقوا عليهنّ حتى يضعن حملهنّ،
فإن أرضعن لكم فأتوهنّ أجورهنّ وأتمروا بينكم بمعروف، وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى
Dua ayat di atas menjelaskan
tentang hak isteri yang ditalak untuk mendapatkan tempat tinggal. Menjadi
kewajiban suamilah untuk memberikan rumah tempat tinggal dan nafkah sampai masa
persalinan.
لاجناح عليكم إن طلقتم النساء مالم تمسوهنّ
أوتفرضوا لهنّ فريضة، ومتعوهنّ على الموسع قدره وعلى المقتر قدره متاعا بالمعروف، حقا
على المحسنين
Ayat ini menjelaskan tentang
hak mut’ah isteri. Sedangkan kadar ukurannya yaitu disesuaikan dengan kemampuan
suami. Kalau suaminya tergolong orang kaya maka harus diberikan dengan
ma‘ru>f.
Sedangkan kewajiban isteri
terhadap suami diatur dalam firman Allah sebagai berikut:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله
بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أمولهم، فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله، والتي
تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن، فإن أطعنكم فلاتبغوا عليهن سبيلا،
إن الله كان علياّ كبيرا[56]
Menurut Azhar Basyir,
berdasarkan dari penjelasansuratan-Nisa’ (4): 34 tersebut di atas dapat
diperoleh ketentuan sebagai berikut:
Isteri supaya bertempat
tinggal bersama suami di rumah yang telah disediakan
Taat kepada perintah-perintah
suami, kecuali melanggar larangan Allah
Suami berhak memberi
pelajaran.
Selanjutnya dalam
Ensiklopedi Wanita Muslimah disebutkan bahwa akhlak isteri terhadap suami yaitu
meliputi:
Wajib mentaati suami, selama
bukan untuk bermaksiat kepada Allah.
Menjaga kehormatan dan harta
suami.
Menjaga kemuliaan dan
perasaan suami, yaitu berpenampilan di rumah dengan penampilan yang memikat
suami, berbicara dengan tutur kata yang ramah dan selalu membuat perasaan suami
senang dan bahagia.
Melaksanakan hak suami, mengatur
rumah dan mendidik anak.
Tidak boleh menerima tamu
yang tidak disenangi suaminya.
Tidak boleh melawan
suaminya.
Tidak boleh membanggakan
sesuatu tentang diri dan keluarganya di hadapan suami, baik kekayaan, keturunan
maupun kecantikannya.
Tidak boleh menilai dan
menganggap bodoh suaminya.
Tidak boleh menuduh
kesalahan atau mendakwa suaminya, tanpa bukti dan saksi-saksi.
Apabila melepas suami pergi
bekerja, lepaslah dengan sikap kasih dan apabila menerima suami pulang krja,
sambutlah kedatangannya dengan muka manis, pakaian bersih dan berhias.
Harus pandai mengatur urusan
rumah tangga.
Setelah melihat
ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an yang disebutkan di atas, secara keseluruhan
dapat disebutkan hak-hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga menurut Islam
yaitu sebagai berikut:
Kewajiban Bersama Suami dan
Istri
Halal bergaul antara suami
dan isteri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain
Terjadi mahram semenda
terjadi hubungan waris
mewarisi
bergaul dengan baik antara
suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan harmonis dan damai
Kewajiban Suami Terhadap
Isteri
Memberi Maskawin (mahar)
Memberi nafkah sesuai
kemampuannya
Kewajiban Istri Terhadap
Suami
Taat kepada suami
Berdiam di rumah, tidak
keluar kecuali seizin suami
Tidak menerima masuknya
seseorang tanpa izin suami.
Sesuai dengan
ketentuan-ketentuan al-Qur’an di atas dalam kaidah fikih dijelaskan:
الضرر يدفع بقدر الإمكان[59]
Dari kaidah ini dapat
diketahui bahwa adanya kewajiban menghindarkan akan terjadinya suatu
kemud{aratan atau dengan kata lain bahwa usaha agar jangan terjadi suatu
kemud{aratan dengan segala upaya yang mungkin untuk diusahakan.
Tidak jarang dalam suatu
perbuatan bergantung pada perbuatan yang lain. Dan tak jarang pula perbuatan
inti sangat bergantung pada perbuatan perantara. Seperti dalam perkawinan,
bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia,
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA
Pendidikan Anak dalam
Keluarga
Salah seorang tokoh bangsa Arab
yang hidup tahun 106 H- 143 H yaitu Ibnu Muqaffa merupakan pengarang Kitab
Kalilah dan Daminah yang mengatakan bahwa: “Pendidikan itu ialah yang kita
butuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan menguatkan semua indera kita
seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita butuhkan untuk mencapai
peradaban yang tinggi yang merupakan santapan akal dan rohani.”
Peran orang tua memberikan
banyak pengaruh bagi perkembangan anaknya. Berbagai macam pengaruh yang sengaja
dipilih untuk membantu sang anak demi perkembangan jasmaninya, akalnya, dan
akhlaknya, sehingga secara perlahan sampai kepada batas kesempurnaan maksimal
yang dapat dia capai, sehingga anak merasa senang dalam kehidupannya sebagai
individu dan dalam kehidupan kemasyarakatan (sosial) dan setiap tindakan yang
ke luar daripadanya, menjadi lebih sempurna, lebih tepat, dan lebih baik bagi
masyarakat.
Dalam hal ini pendidikan
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.Pendidikan akal
(intelektual)
2.Pendidikan jasmani
3.Pendidikan akhlak (moral)
Kata keluarga berasal dari
bahasa Sansekerta: kula dan warga "kulawarga" yang berarti
"anggota" "kelompok kerabat". Keluarga adalah sebuah wadah
di mana terdapat beberapa orang yang memiliki hubungan darah, bersatu. Keluarga
inti ("nuclear family") terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka.
Keluarga adalah suatu
kelompok kecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan juga
anak-anak yang senantiasa menjaga rasa aman dan ketentraman ketika menghadapi
segala suka duka hidup. Dalam keluarga tersebut memiliki peranan penting setiap
komponen. Menurut ajaran Islam, bahwasanya anak adalah amanat Allah. Amanat
wajib dipertanggungjawabkan. Jelas, tanggung jawab orang tua terhadap anak
tidaklah begitu mudah. Secara umum Allah
memerintahkan :
“Jagalah dirimu dan
keluargamu dari siksaan neraka”. [Al Ayah]
Al-Bukhari meriwayatkan dari
Anas bin Malik bahwa telah datang kepada Aisyah seorang ibu bersama dua anaknya
yang masih kecil. Aisyah memberikan tiga potong kurma kepada wanita itu.
Diberilah oleh anak-anaknya masing-masing satu, dan yang satu lagi untuknya.
Kedua kurma itu dimakan anaknya sampai habis, lalu mereka menoreh kearah
ibunya. Sang ibu membelah kurma (bagiannya) menjadi dua, dan diberikannya
masing-masing sebelah kepada kedua anaknya.
Nabi Muhammad SAW datang,
lalu diberitahu oleh Aisyah tentang hal itu. Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Apakah yang mengherankanmu
dari kejadian itu, sesungguhnya Allah telah mengasihinya berkat kasih sayangnya
kepada kedua anaknya”.
Dari uraian tersebut
jelaslah bahwa: (1) kewajiban bagi orang tua menyelenggarakan pendidikan dalam
rumah tangganya, dan (2) kewajiban itu hal yang wajar (natural) karena Allah
menciptakan orang tua yang bersifat mencintai anaknya sejak lahir.
Secara jelas mengingatkan
para orang tua bahwa berhati hatilah memberikan pola asuh dalam memberikan
pembinaan keluarga sakinah, seperti yang termaktub dalam QS Lukman ayat 12
sampai 19. Jika ayat tersebut dikaji lebih lanjut, maka kita akan menemukan
beberapa point-point penting diantaranya adalah :
1. Pembinaan jiwa orang tua
2. Pembinaan akidah anak
3. Pembinaan jiwa social anak.
POLIGAMI
A .Pengertian
Poligami ialah memiliki
istri lebih dari satu. Hal ini bukan merupakan masalah baru, poligami sudah ada
seja dahulu, pada kehidupan manusia diberbagai kelompok masyarakat diberbagai
penjuru dunia.
Seperti diketahui, biasanya
para pelaku poligami membenarkan perbuatannya tersebut pada dua hal: Al-Quran
surat Al-Nisa ayat 3 Artinya:
Dan jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS.An-Nisa ayat 3)
Dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 pasal 3 ayat 1 juga menjelaskan bahwa pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami.
Dan sebenarnya turunnya ayat
poligami itu berkaitan dengan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud di tahun
625 M. Saat itu, banyak sekali prajurit muslim yang gugur di medan tempur dan
mereka meninggalkan anak-anak yatim beserta istrinya. Saat itu, masyarakat
Islam masih sangat terbatas, dan turunnya ayat poligami tampaknya didasarkan
pada dua hal. Pertama, untuk menjaga keutuhan masyarakat Islam yang secara
kuantitas masih sangat sedikit. Kedua, agar mereka yang akan bertindak sebagai
pengayom anak-anak yatim dan janda korban perang dapat berlaku lebih adil.
B. Bagaimana Islam Memandamg
Poligami
Islam memandang poligami
lebih banyak membawa resiko/madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu
menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka
mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika
hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Karena itu hukum asal dalam
perkawinan menurut islam adalah monogamy, sebab dengan monogami akan mudah
menetralisasi kezaliman dalam kehidupan
keluarga yang monogamis. Akan tetapi, poligami diperbolehkan dengan syarat ia
dilakukan pada masa-masa terdesak untuk mengatasi perkara yang tidak dapat
diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata lain bahwa poligami itu
diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali jikalau dikhawatirkan bahwa
kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.Seperti contoh, apabila sang
istri mandul dan sang suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis hasil
laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu
mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian
nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.
Jika suami khawatir berbuat
zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan
poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang,
maka ia haram menikahi istri untuk yang keempatnya. Bila ia hanya sanggup
memenuhi hak-hak istrinya dua orang, maka ia haram menikahi istri untuk yang
ketiganya, dan begitu seterusnya. Berkenaan dengan ketidakadilan suami terhadap
istri-istrinya, Nabi SAW bersabda :
عن ابي هريرة ان النبى صلى الله
عليه و سلم قال: من كا نت له امر اتا ن فمال الى احداهما جاء يوم القيامه وشقه ما ئل
(رواابودو والتر مذى والنسائ وابي حا ن)
Artinya :
Dari Abu Hurairah ra.
Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri,
lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat
dengan bahunya miring.
Hadits diatas adalah sebagai
penguat adanya wajib melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang
merdeka, dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya, yang berarti
mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk lebih mencintai perempuan yang
satu daripada yang lainnya, karena masalah cinta berada di luar kesanggupannya.
C. Syarat-syarat dalam
Berpoligami
Allah SWT telah
mensyari’atkan poligami dan mengizinkan hamba-Nya untuk berpoligami dan
syari’at islam telah membatasinya dengan syarat-syarat dimana seorang hamba
tidak boleh berpoligami tanpa mememnuhi syarat-syarat dibawah ini, yaitu :
1. Jumlah istri
Membatasi jumlah isteri yang
akan dikawininya. Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan
firman-Nya;
"Maka berkahwinlah dengan
siapa yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau
empat." (Al-Qur'an, Surah an-Nisa ayat 3)
Ayat di atas menerangkan
dengan jelas bahawa Allah telah menetapkan seseorang itu berkahwin tidak boleh
lebih dari empat orang isteri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak beristeri
satu, boleh dua, tiga atau empat saja. Pembatasan ini juga bertujuan membatasi
kaum lelaki yang suka dengan perempuan agar tidak berbuat sesuka hatinya. Di
samping itu, dengan pembatasan empat orang isteri, diharapkan jangan sampai ada
lelaki yang tidak menemukan isteri atau ada pula wanita yang tidak menemukan
suami. Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang isteri saja, maka akan banyak
wanita yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan lebih dari empat, mungkin
terjadi banyak lelaki tidak memperolehi isteri[6].
2. Nafkah
Yang termasuk dalam nafkah
adalah makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan yang
lazim. Wajib bagi seorang laki-laki yang ingin menikah untuk segera menyiapkan
kemampuannya agar dapat memberi nafkah kepada calon istrinya. Jika dia belum
memeiliki pekerjaan yang dengannya dia menafkahi istrinya, maka secara syar’i
dia belum bisa menikah. Hal ini secara jelas terlihat pada hadits Nabi SAW
berikut :
“Wahai para pemuda, barang
siapa yang telah mampu, maka hendaklah dia menikah karena menikah dapat menahan
pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya
dia berpuasa, karena puasa dapat menahan nafsu[7].
3. Adil kepada seluruh istri
Sebagaimana yang difirmankan
Allah (SWT) :
"Kemudian jika kamu
bimbang tidak dapat berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu), maka
(kahwinlah dengan) seorang sahaja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang
kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu
tidak melakukan kezaliman." (QS. An-Nisa ayat 3).
Dengan tegas diterangkan
serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan
takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga
orang saja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua saja.
Dan kalau dua itu pun masih khuatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah
menikah dengan seorang saja.Para mufassirin berpendapat bahwa berlaku adil itu
wajib. Adil di sini bukanlah berarti hanya adil terhadap para isteri saja,
tetapi mengandung arti berlaku adil secara mutlak. Oleh kerana itu seorang
suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:
a) Berlaku adil terhadap dirinya sendiri
b) Adil di antara para isteri
c) Adil memberikan nafkah.
d) Adil dalam menyediakan tempat tinggal.
e) Adil dalam giliran
D. Hikmah Poligami
Mengenai hikmah diizinkan
berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain
adalah sebagai berikut:
a) Untuk mendapatkan keturunan bagi suami
yang subur dan istri yang mandul
b) Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa
menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai
istri
c) Untuk menyelamatkan suami dari hypersex
ataupun dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
d) Untuk menyelamatkan wanita dari krisis
akhlak yang tinggal di Negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih
banyak dari kaum prianya misalnya akibat peperangan yang cukup lama.
NAFKAH
A. Pengetian Nafkah
Secara etimologi, nafkah
berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan (انفق- ينفق-
انفاقا) . Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan
dengan “ pembelanjaan. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi
sudah dipakai dengan arti pengeluaran.
Dalam kitab-kitab fiqh
pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah
merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang
wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana
yang diungkapkan oleh al- Syarkawi : “Ukuran makanan tertentu yang diberikan
(menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua,
anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya” .
Defenisi yang dikemukakan
oleh al-Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan
dalam ayat dan sunnah Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah
sebagai berikut :
“Nafkah Yaitu mencukupi
kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat
tinggal”. Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat
dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh
seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan
hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu
yang baik.
B. Dasar Hukum Nafkah
Adapun dasar hukum tentang
eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah,
kesepakatan para imam madzhab maupun UU yang ada di Indonesia, diantaranya
adalah:
1. Surat Ath-Thalaq ayat 6-7
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ
مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ
حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ
فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ
عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (7)
“Tempatkanlah mereka (para
isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin utuk
menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir
kandungan mereka. Jika mereka menyusukan untukmu (anakmu) berilah upah
(imbalannya). Bermusyawarahlah kamu dengan sebaik-baiknya.Tetapi jika kamu
kepayahan hendaklah (carilah) perempuan lain yang akan menyusukannnya”(6)
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan (kekurangan) rezkinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa
yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada
seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan
memberikan kelapangan setelah kesempitan”(7)[5]
Dalam ayat dapat kita pahami
bahwa:
a. Suami wajib memberikan istri tempat
berteduh dan nafkah lainnya.
b. Istri harus mengikuti suami dan bertempat
tinggal di tempat suami. Besarnya kewajiaban nafkah tergantung pada keleluasaan
suami. Jadi pemberian nafkah berdasarkan atas kesanggupan suami bukan
permintaan istri.
Al-Qurthubi berpendapat
bahwa firman Allah (لينفق) maksudnya adalah; hendaklah suami memberi nafkah
kepada isterinya, atau anaknya yang masih kecil menurut ukuran kemampuan baik
yang mempunyai kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang
yang tidak berkecukupan. Jadi ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang
yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan
menurut kebiasaan setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan لينفق ذو سعة من سعته adalah bahwa perintah untuk memberi nafkah
tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap isteri. Adapun maksud ayatلا يكلف
الله نفسا الا مأ تا ها adalah bahwa
orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam
memberi nafkah.
2. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Aisyah R.A
عَنْ عَائِشَةَ قَالَت دَخَلَتْ
هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ
لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ
مِنْ مَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا
يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيك
“Dari Aisyah beliau
berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW
seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki
yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku
selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya
berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu
sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan
anak-anakmu.” (HR.Muslim)
Hadis tersebut jelas menyatakan
bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan
ukuran tertentu Rasulullah SAW. akan memerintahkan Hindun untuk mengambil
ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya
memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik
dan secukupnya. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid mengemukakan
pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini bahwa besarnya
nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan keadaan
masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan perbedaan
tempat, waktu dan keadaan.
3. Kesepakatan Imam Madzhab
Empat Imam Fiqih madzhab
sepekat menetapkan bahwa hukum memberikan nafkah keluarga adalah wajib bagi
suami. Ketetpan ini bisa kit baca dalam kitab fiqih, antara lain dalam kitab
Rahmatul Ummah Fikhtilafil A’immah Juz
II halaman 91
“Para Imam yang empat
sepakat menetapkan wajibnya suami memberikan nafkah bagi anggota keluarga yang
dikepalainya, seperti orang tua, istri dan anak yang masih kecil”
Kalimat yang sama juga disebutkan
dalam kitab Mizanul Kubra Juz II halaman 138. Keduamya sama-sama mencontohkan
bahwa anggota keluarga tidak sekedar istri, melainkan juga anak yang masih
kecil (belum mampu mencari nafkah sendiri) dan orang tua (yang sudah tidak
mampu mencari nafkah lagi). Hal ini lebih menegaskan bahwa semua orang yang ada
di dalam kekuasaan suami, termasuk pembantu ataupun buadk, adalah anggota yang
nafkahnya menjadi tanggungan suami.
Sebagai kewajiban, maka
setiap suami muslim harus mencukupi nafkah keluarga itu sesuai dengan
kemampuannya. Jika dia menjalankannya dengan baik, maka Allah akan memberikan
pahala. Dan jika dia meninggalkan atau melalaikannya maka dia berdosa dan akan
mendapat siksa dari Allah .
4. Undang-undang yang ada di Indonesia
Mengenai nafkah sudah
tercantum dalam Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 Bab VI mengenai Hak dan
Kewajiban Suami Istri Pasal 34 ayat 1 sampai 3 yang berbunyi:
1) Suami wajib melindungi istrinya dan
memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau istri melalaikan
kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
C. Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah
dibagi menjadi dua yaitu Pertama, nafkah lahir yang bersifat materi seperti
sandang,pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak.
Kedua nafkah batin yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian
dan lain-lain.
Menurut objeknya, Nafkah ada
dua macam yaitu:
ü Nafkah untuk diri sendiri. Agama Islam
mengajarkan agar nafkah untuk diri sendiri didahulukan daripada nafkah untuk
orang lain. Diri sendiri tidak dibenarkan menderita, karena mengutamakan orang
lain.
ü Nafkah untuk orang lain karena hubungan
perkawinan dan hubungan kekerabatan. Setelah akad nikah, maka suami wajib
memberi nafkah kepada istrinya paling tidak kebutuhan pokok sehari-hari seperti
sandang, pangan dan papan.
D. Kadar Nafkah
Kadar Nafkah yang paling
ideal diberikan oleh para suami kepada segenap keluarganya adalah cukup,
Tetapi, ketentuan cukup ini sangat bervariasi dan relatif apalagi jika dilihat
dari selera pihak yang diberi yang notabene manusia itu sendiri memilliki sifat
dasar tidak pernah merasa cukup.
Kaitannya dengan kadar
nafkah keluarga, Islam tidak mengajarkan untuk memberatkan para suami dan juga
tidak mengajarkan kepada anggota keluarga untuk gemar menuntut. Sehungga kadar
cukup itu bukan ditentukan dari pihak keluarga yang diberi, melainkan dari
pihak suami yang memberi. Kecukupan disesuikan dengan kemampuan suami, tidak
berlebihan dan tidak terlalu kikir.
E. Syarat-syarat Wajib Nafkah
Perkawinan yang telah
memenuhi rukun dan syarat menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Artinya
istri berhak mendapatkan nafkah sesuai dengan ketentuan ayat dan hadis
sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa
setelah terjadinya akad nikah istri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama
berbeda pendapat ketika membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi
akad atau ketika istri telah pindah ke tempat kediaman suami.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul
jadid, Malikiyah dan Hanabilah mengungkapkan bahwa istri belum mendapatkan hak
nafkahnya melainkan setelah tamkin, seperti istri telah menyerahkan diri kepada
suaminya. Sementara itu sebagian ulama muta’akhirin menyatakan bahwa istri baru
berhak mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Terjadinya perbedaan
pendapat ulama dalam hal kapankah seorang istri berhak atas nafkah dari
suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak menjelaskan secara khusus
syarat-syarat wajib nafkah istri. Oleh karena itu tidak ada ketentuan secara
khusus dari nabi SAW mengenai hal tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat
perbedaan pendapat dalam menetapkan syarat-syarat wajibnya seseorang istri
mendapatkan nafkah.
Menurut jumhur ulama suai
wajib memberikan nafkah istrinya apabila: Istri menyerahkan diri kepada
suaminya sekalipun belum melakukan senggama; Istri tersebut orang yang telah
dewasa dalam arti telah layak melakukan hubungan senggama, perkawinan suami
istri itu telah memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan; Tidak hilang hak
suami untuk menahan istri disebabkan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat
wajib nafkah istri setelah dan belum disenggamai. Syarat nafkah sebelum
disenggamai adalah :
Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai.
Apabila suami mengajak istrinya melakukan hubungan suami isteri namun istri
menolak, maka
a. istri tidak layak untuk menerima nafkah.
b. Istri layak untuk disenggamai. Apabila
istri belum layak disenggamai seperti masih kecil maka ia berhak menerima
nafkah.
c. Suami itu seorang laki-laki yang telah
baligh. Jika suami belum baligh sehinggga belum mampu melakukan hubungan suami
istri secara sempurna maka ia tidak wajib membayar nafkah.
d. Salah seorang suami atau istri tidak
dalam keadaan sakratul maut ketika akan diajak bersenggama.
Selanjutnya syarat wajib
nafkah bagi istri yang telah disenggamai adalah pertama : Suami itu mampu.
Apabila suami tidak mampu maka selama ia tidak mampu maka ia tidak wajib
membayar nafkah istrinya. Kedua : Istri tidak menghilangkan hak suami untuk
menahan istri dengan alasan kesibukan istri yang dibolehkan agama.
F. Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi akad perkawinan
yang sah suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah
isteri hanya didapat apabila syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti
diuraikan diatas telah terpenuhi, serta isteri terhindar dari hal-hal yang
menyebabkan gugurnya hak nafkah tersebut.
Berkaitan dengan gugurnya
hak nafkah berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya
hak nafkah isteri. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Nusyuz
Kata nusyuz merupakan bentuk
jamak ( plural ) dari nusyz yang secara etimologi berarti dataran tanah yang
lebih tinggi atau tanah bukit[17], sesuai dengan pengertian ini, maka wanita
yang nusyuz menurut pengertian bahasa berarti wanita yang merasa lebih tinggi
dari suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh terhadap
suami. Dari pengertian ini pula selanjutnya dipahami pengertian nusyuz secara
umum yaitu sikap angkuh, tidak patuh seseorang dengan tidak bersedia
menunjukkan loyalitas kepada pihak yang wajib dipatuhinya Kata nusyuz secara
resmi telah dipakai dalam tata bahasa Indonesia yang secara terminologi berarti
: perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suaminya (tanpa
alasan) yang dibenarkan hukum (Islam).[18]
b. Wafat salah seorang suami istri.
Nafkah isteri gugur sejak
terjadi kematian suami, kalau suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka
istri tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika istri yang
meninggal dunia terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil
nafkah dari harta suaminya.[19]
c. Murtad
Apabila seorang istri murtad
maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya istri dari Islam mengakibatkan
terhalangnya suami melakukan senggama dengan istri tersebut. Jika suami yang
murtad, maka hak nafkah istri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan
persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan
halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa
melakukannya.
d. Talak
Berkaitan dengan talak, para
ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri hanyalah selama isteri masih dalam
masa iddah. Adapun setelah habis masa iddah tidak satu pun dalil yang
mengungkapkan bahwa suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas
istrinya. Hal ini bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak
berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami.
1. Pengertian Harta
Harta merupakan tonggak
kehidupan rumah tangga, sebagaimana firman Allah swt :
Artinya :"Dan janganlah
kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik".(Q.S.An Nisa' : 5)
Dari ayat di atas kami dapat
memahami bahwa harta merupakan sesuatu yang sangat sakral demi berjalannya
sebuah kehidupan karena sesungguhnya bukan hanya untuk kepentingan duniawi saja
akan tetapi untuk kepentingan akhirat juga. Oleh karena itu harta tidak boleh
diserahkan kepada orang yang belum mampu mengatur harta, walaupun orang
tersebut telah dewasa. Atau secara ekonomika harta dapat didefinisikan dengan
sesuatu yang dapat disimpan (iddikhar).
2. Jenis Harta Dalam Perkawinan
A. Harta Bawaan
Yang dimaksud harta / barang
bawaan adalah segala perabot rumah tangga yang dipersiapkan oleh isteri dan
keluarga, sebagai peralatan rumah tangga nanti bersama suaminya.
Dalam hal barang / harta
bawaan antara suami dan istri, pada dasarnya tidak ada percampuran antara
keduanya karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian juga
dengan harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
untuk menyenangkan hati
perempuan memasuki hari-hari pernikahan.
عن علي ر. ع. قا ل : جهز رسو ل
الله ص.م:خميل و قر بة ووسا دة حشوها ادخر (رواه النسائى)
“Dari ‘Ali RA. berkata:
Rasulullah SAW member barangbawaan pada Fatimah berupa pakaian, kantong tempat
air yang terbuat ari klit dan bantal berenda.”
Berkaitan dengan mahar,
menurut kami mahar tetap sepenuhnya hak perempuan. Akan tetapi apabila si
perempuan dengan kerelaan hatinya memberikannya kepada si laki-laki maka boleh
bagi laki-laki tersebut menggunakan untuk dirinya.
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian .
Jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya". (Q.S. An- nisa' : 4 )
B. Harta Bersama Suami Istri
1. Pengertian
Pasal 85 KHI: "Adanya harta bersama dalam
perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami
atau isteri".
Dalam hal pertanggungjawaban
utang, baik terhadap utang suami maupun istri, bias dibebankan pada hartanya
masing-masing. Sedang terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga,
maka dibebankan pada harta bersama. Akan tetapi apabila harta bersama tidak
mencukupi, maka dibebankan pada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau
tidak mencukupi, maka dibebankan pada harta istri.
Disamping Allah telah
menjanjikan karunia-Nya yang banyak, tetapi tiap manusia mempunyai kewajiban
untuk bekerja mengusahakan adanya penghasilan untuk memenuhi semakin banyaknya
kebutuhan hidup, baik kebutuhan untuk masa kini dan persiapan untuk masa yang
akan datang. Semua orang harus mencari harta benda sebanyak mungkin agar
meperoleh kemulyaan yang banyak. Agar dapat memberi nafkah semua yang menjadi
tanggung jawabnya. Juga untuk membantu orang lain yang wajib dibantu menurut
jalan yang diridhai Allah.Tangan di atas ( orang yang memberi ) lebih mulya
daripada tangan yang dibawah ( orang yang menerima pemberian). Dalam hal
mengumpulakan harta benda sebagai sarana untuk keperluan dunia agar selamat di
akhirat kelak manusia harus selalu berusaha ( ikhtiar).
Harta bersama tidak boleh
terpisah atau dibagi-bagi selama dalam perkawinan masih berlangsung. Apabila
suami isteri itu berpisah akibat kematian atau akibat perceraiain barulah dapat
dibagi. Jika pasangan suami isteri itu waktu bercerai atau salah satunya
meninggal tidak memiliki anak, maka semua harta besama itu dibagi dua setelah
dikeluarkan biaya pemakamam dan pembayar hutang-hutang suami isteri. Jika
pasangan ini mempunyai anak maka yang menjadi ahli waris adalah suami atau
isteri yang hidup terlama dan bersama anak-anak mereka.
2. Penghasilan Isteri Dalam Perkawinan
Salah satu tujuan perkawinan
adalah mencari rezeki yang halal ( mengumpulkan harta benda). Mengenai harta
yang diperoleh selama dalam perkawinan ini tidak dipertimbangkan apakah yang
mempunyai penghasilan itu suami atau isteri. Menurut peraturan perkawinan
Indonesia nomor 136 tahun 1946 pasal 50 ayat 4 menetapkan bahwa: Apabila isteri
bekerja untuk keperluan rumah tangga, maka semua harta benda yang diperoleh
selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik bersama.
dijelaskan dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah yang mana seorang perempuan bernama Saudah
akan keluar rumah untuk memenuhi hajat hidupnya,kemudian mengadu kepada
Nabi,dan Nabi bersabda :
................... فقا ل ا نه
قد ا ذ ن لكن ان تخر جن لحختكن. متفق عليه
Artinya :
” …………kamu kaum wanita telah diizinkan keluar
untuk memenuhi keperluanmu.”(Muttafaq Alaih)[20]
Pada saat kebutuhan hidup
yang selalu meningkat dengan harga semua barang yang makin melambung tinggi,
kalau sifatnya darurat dapat saja para isteri bekerja di luar rumah bila diberi
izin oleh suaminya, bila pekerjaan itu layak, sesuai dengan ajaran agama Islam
dan sesuai pula dengan kodratnya sebagai wanita dalam rangka menunaikan
kewajibannya sesuai dengan pasal 30 UU No. 1 tahun 1974 yang mengatakan bahwa
sang isteri mempunyai kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
3. Harta Gonogini
a. Pengertian Harta Gonogini
Dalam situs Asiamaya gono
-gini didefinisikan sebagai harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah
tangga sehingga menjadi hak berdua suami istri. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, gonogini diartikan sebagai harta perolehan bersama selama bersuami
isteri. Dalam Kompilasi Hukum Islam yang
berlaku dalam lingkungan Pengadilan Agama, harta gono gini disebut dengan
istilah “harta kekayaan dalam perkawinan”. Definisinya (dalam pasal 1 ayat f)
adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri
selama dalam ikatan perkawin berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapa.
Dikatakan juga harta
gonogini adalah harta milik bersama suami
istri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan,
seperti halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang
lain kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami isteri dari
uang mereka berdua, atau tabungan dari gaji suami dan gaji istri yang dijadikan
satu, itu semuanya bisa dikatagorikan harta gono gini atau harta bersama.[23]
Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian harta gono-gini yang disebutkan di
dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan, yaitu sebagai berikut :
“ Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama. "
Dari beberapa definisi
tersebut, dapat disimpulkan harta gono gini adalah harta benda yang diperoleh
oleh suami isteri selama perkawinan dan menjadi hak kepemilikan berdua di
antara suami isteri.
b. Hak Istri atas Harta Gonogini
KUH Per pasal 125 :
"Jika si suami tidak ada atau berada dalam keadaan tidak mungkin untuk
menyatakan kehendaknya, sedangkan hal itu dibutuhkan segera, maka si isteri
boleh mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dari harta bersama itu,
setelah dikuasakan untuk itu oleh pengadilan negeri."
c. Penggunaan Harta Gonogini
Ada dua macam hak dalam
harta gonogini, yaitu hak milik dan hak guna. Harta gonogini suami dan isteri
memang telah menjadi hak milik bersama, namun jangan dilupakan bahwa di sana
juga terdapat hak gunanya. Artinya, mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapat
persetujuan dari pasangannya. Jika suami yang akan menggunakan harta gonogini,
dia harus mendapat izin dari isterinya. Demikian sebaliknya.
d. Harta Gonogini Dalam Poligami
KUH Per 180: "Juga
dalam perkawinan kedua dan berikutnya, menurut hukum ada harta benda menyeluruh
antara suami isteri, jika dalam perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan
lain." Artinya, ketentuan tentang harta gonogini juga berlaku untuk
perkawinan secara poligami, asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan yang dibuat pasangan suami isteri tersebut.
e. Pembagian Harta Gonogini
Pembagian harta gonogini
sebaiknya secara adil, agar tidak menimbulkan ketidakadilan antara harta suami
dan isteri.
KHI Pasal 88 :"Apabila
terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama."
Jika pasangan tersebut lebih
memilih cara yang lebih elegan, yaitu dengan cara damai (musyawarah). Namun,
jika memang ternyata keadilan itu hanya bisa diperoleh melalui pengadilan maka
jalan itulah yang lebih baik.
Di dalam Islam tidak ada
aturan secara khusus bagaimana membagi harta gonogini. Islam hanya memberikan
rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya
adalah :
Pembagian harta
gonogini tergantung kepada kesepakatan
suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “
Ash Shulhu “ yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah
pihak ( suami istri ) setelah mereka berselisih Allah swt berfirman :
ÈbÎ)ur îor&z�öD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·—qà±çR
÷rr& $ZÊ#{�ôãÎ) Ÿxsù
yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷�t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=�Á9$#ur ׎ö�yz 3
[32]
Artinya :“ Dan jika seorang
wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak
mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). “ ( Q.S.An Nisa':128 )
Ayat di atas diperkuat
dengan sabda Rasulullah saw :”Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin,
kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang
menghalalkan yang haram. (HR Abu Dawud,
Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)
Begitu juga dalam pembagian
harta gonogini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang
harus merelakan sebagian haknya demi untuk mencapai suatu kesepakatan.
Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah
tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan
perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada,
sedang suami mendapatkan 60 %, atau
istri 55 % dan suami 45 %, atau dengan
pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.
Memang kita temukan di dalam
KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yaitu : “ Janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan."
Keharusan untuk membagi sama
rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata
tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang
benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan
antara suami istri. Kesepakatan tersebut berlaku jika masing-masing dari suami
istri memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik
bersama, biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun
masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini
tidak terdapat harta gono gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami
adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri,
maka menjadi milik istri.
Secara umum pembagian harta gonogini baru bisa dilakukan
setelah adanya gugatan cerai. Keadilan tidak mendeskriminasikan salah satu
pihak. Istri yang tidak bekerja tetap mendapat pembagian harta gono gini,
karena pekerjaan istri bersifat domestic. Begitu juga suami, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lain.
Menurut kami pembagian harta
gonogini atau harta bersama tetap dengan cara musyawarah dengan memperhatikan
factor-faktor lain seperti; masing-masing penghasilan suami dan istri ataupun
ta'lik nikah sebelumnya, dll. Jadi aturan dalam KHI tidak wajib dilaksanakan. Hanya saja bersifat mengikat
bagi penduduk Indonesia karena telah di undangkan. Akan tetapi menurut kami
kita mengikuti aturan tersebut hukumnya mubah.
f. Harta Gonogini Dalam Islam
Ada yang memandang
diperbolehkan dan ada yang memandang sebaliknya. Konsep harta gonogini beserta
segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fikih (Hukum Islam)
klasik. Fikih Islam klasik adalah produk hokum yang dihasilkan oleh Ulama-ulama
terdahulu. Masalah harta gonogini sesungguhnya merupakan wilayah hukum yang
belum disentuh (Ghoir al Mufakkar Fih), sebab lebih banyak berkembang dan
urgent untuk dibicarakan pada masa modern ini.
Secara umum, hukum Islam
tidak melihat adanya harta gonogini. Dengan kata lain, Hukum Islam pada umumnya
lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Apa
yang dihasilkan istri merupakan harta miliknya, demikian juga apa yang
dihasilkan suami adalah harta milikny
Pasal 86 KHI
1) Pada dasaranya tidak ada percampuran
antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan
dikuasai penuh olehnya,demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuaai penuh olehnya.
Zahri Hamid memandang bahwa
Hukum Islam mengatur system terpisahnya antara harta suami dan harta istri
sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam
perjanjian perkawinan). Hukum Islam juga memeberikan kelonggaran kepada mereka
berdua untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan mereka berdua,
dan perjanjian tersebut akhirnya mengikat mereka secara hukum.
Hal senada dikemukakan oleh
Ahmad Azhar Basyir bahwa Hukum Islam memberi hak kepada masing-masing pasangan,
baik suami atau istri, untuk memiliki harta benda secara perorangan, yang tidak
bisa diganggu oleh masing-masing pihak. Pandangan Hukum Islam yang memisah
harta kekayaan suami istri sebenarnya memudahkan pemisahan mana yang termasuk
harta suami atau harta istri yang diperoleh secara sendiri selama perkawinan,
mana yang harta gonogini. Pemisahan antara harta suami atau istri jika terjadi
perceraian dalam perkawinan mereka. Masalah harta gonogini merupakan masalah
keduniawian yang belum pernah tersentuh oleh Hukum Islam kontemporer tentang
masalah ini diteropong melalui pendekatan ijtihad, yaitu bahwa harta benda yang
diperoleh suami istri bersama-sama selama masa perkawinan merupakan harta
gonogini.[43] Oleh karena itu, hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan mereka.
Termasuk masih harta benda, menjadi milik bersama.
Menurut kami pada dasarnya
mengenai gonogini tidak terdapat pada hukum Islam klasik. Akan tetapi,
modernisasi dan globalisasi yang membawa Islam harus menjawab tentang hukum
gonogini. Islam sesungguhnya hanya membagi
harta suami dan harta istri secara terpisah. Akan tetapi menurut kami
Islam memperbolehkan adanya harta bersama (syirkatul maal) atau yang dikenal
dengan harta gonogini.
g. Pewarisan Harta Benda Milik Bersama.
Apabila meninggal salah
seorang suami atau isteri , maka yang menjadi ahli warisnya adalah yang hidup
terlama atau suami / isteri yang masih hidup dan kedua orang tuanya. Jika
keduanya meninggal dunia dengan meninggalkan anak, maka yang menjadi ahli waris
keduanya adalah anak-anak mereka dan kedua orang orang tua mereka dan kerabat
lainnya dengan porsi pembagian masing-masing yang telah ditentukan besarnya
porsi masing-masing ahli waris.
NUSYUZ SYIQAQ Dan ILA’
A. NUSYUZ
1. Pengertian Nusyuz
Menurut Hamid ( 1977 : 250 )
nusyuz adalah tindakan istri yang dapat ditafsirkan menentang atau membandel
atas kehendak suami. Tentu saja kehendak suami yang tidak bertentangan dengan
hukum agama. Apabila kehendak suami bertentangan atau tidak dapat dibenarkan
oleh agama, maka istri berhak menolaknya. Dan penolakan tersebut bukanlah sifat
nusyuz ( durhaka ).
Sementara menurut Rasyid (
1994: 398 ) nusyuz adalah apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak
ada alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’, tindakan itu dipandang
durhaka.seperti hal-hal dibawah ini :
a. Suami telah menyediakan
rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak mau pindah kerumah
itu, atau istri meninggalkan rumah tangga tanpa izin suami.
b. Apabila suami istri
tinggal dirumah kepunyaan istri dengan izin istri, kemudian pada suatu waktu
istri mengusir (melarang) suami masuk rumah itu, dan bukan karena minta pindah
kerumah yang disediakan oleh suami.
c. Umpamanya istri menetap
ditempat yang disediakan oleh perusahaanya, sedangkan suami minta supaya istri
menetap dirumah yang disediakannya, tetapi istri berkeberatan dengan tidak ada
alasan yang pantas.
d. Apabila istri bepergian
dengan tidak beserta suami atau mahramnya, walaupun perjalanan itu wajib,
seperti pergi haji, karena perjalanan perempuan yang tidak beserta suami atau
mahram terhitung maksiat.
2. Cara Mengatasi Nusyuz
Firman allah Swt dalam Q.s
An-Nissa : 34
وَالاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ
فَلاَتَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya:
“wanita-wanita yang
khawatirkan kedurhakaanya (nusyuz), maka nasihatilah mereka, dan pisahkan diri
dari tempat tidur mereka danpukullah mereka (dengan pukulan yang tidak
membahayakan). Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari
jalan untuk memisahkan mereka. Sesungguhnya Allah Swt Maha Tinggi lagi Maha
Besar.”
Tindakan yang harus
dilakukan suami terhadap istri yang durhaka yaitu :
a. Suami berhak memberi
nasihat kepada istrinya bila tanda-tanda kedurhakaan istri sudah tampak.
b. Sesudah nyata durhakanya,suami
berhak berpisah tidur dari istrinya.
c. Sesudah dua pelajaran
tersebut ( nasihat dan berpisah tidur ), kalau istri masih terus juga durhaka,
suami berhak memukulnya.
Akibat kedurhakaan itu maka
hilanglah hak istri yaitu menerima uang belanja, pakaian dan pembagian
waktu.berarti dengan adanya durhaka istri., maka ketiga perkara tersebut
menjadi tidak wajib atas suami dan istri tidak berhak menuntut.
Firman allah Swt dalam Q.s
Al-Baqarah : 228
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
Artinya :
“Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajiban (terhadap suaminya) menurut cara yang
ma’ruf.”
Menurut Hakim dalam bukunya
Hukum Perkawinan Islam (2000 : 108) cara untuk mengatasi nusyuz adalah dengan
mengadakan perundingan antara suami istri untuk membereskan serta menghilangkan
kesalahpahaman dan memecahkan masalah tersebut bersama. Usaha ini menurut islam
disebut dengan istilah ishlah, yaitu upaya perdamaian yang diusahakan oleh
kedua belah pihak. Upaya ishlah ini divisualkan dalam bentuk musyawarah. Dengan
musyawarah serta keinginan yang baik, maka tidak ada masalah yang sulit yang
tidak dapat dipecahkan.
Al-quran memperingatkan
wanita untuk berbuat sesuatu manakala terjadi ketidakberesan, ketidakserasian,
atau miskomunikasi antara istri dan suaminya. Jadi, wanita dituntut untuk
berperan aktif dalam mengatasi kemelut dalam keluarga, mengajak suaminya untuk
merundingkan problema yang menjadi ganjalan diantara mereka, dalam upaya
memperbaiki hubungan mereka, seperti dijelaskan dalam al-quran surat An-nisa :
128
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا
صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُ
Artinya :
“Apabila wanita (
istri-istri ) terjadi pembangkangan ( nusyuz ) dan pertentangan ( sikap acuh
tak acuh ) dengan suaminya. Maka tidaklah mengapa bagi keduanya untuk
mengadakan perdamaian, dan perdamaian adalah sesuatu yang baik”.
Apabila salah satu pihak
benci terhadap yang lain, hendaklah jangan mengharapkan atau melihat kesalahan
sedikit pun diantara mereka. Padahal bisa saja satu atau dua hari saja sudah
hilang kesalahannya bahkan mungkin hanya beberapa saat saja. Selanjutnya, yang
timbul justru suatu sebaliknya, yaitu kerinduan. Oleh karena itu, masalah
didalam rumah tangga janganlah terlalu dianggap serius, anggap saja sebagai
bumbu perkawinan. Dalam hal ini Al-quran Q.s An-nisa 19, memberi peringatan
yaitu.
فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى
أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya :
“Apabila kamu tidak senang
kepada istri, maka boleh jadi apa yang kamu tidak senang tadi justru Allah SWT
membuat kebaikan yang banyak”.
Perkawinan sebagai sesuatu
yang suci hendaklah dipertahankan keutuhan serta keharmonisan. Ini merupakan
tugas mereka yang terlibat didalamnya. Terciptanya kebahagiaan dan ketenteraman
rumahtangga sangat bergantung pada apakah suami istri telah melaksanakan peran
dan kewajibannya masing-masing. Disamping itu apakah mereka telah berusaha
menyelami tabiat, kebiasaan, temperamen, watak, dari pasangan hidupnya. Apabila
semua itu telah mereka lakukan, dapat dipastikan bahwa kehidupan perkawinan
berjalan sesuai dengan yang diinginkan.
Apabila kemelut keluarga
diakibatkan oleh suami, maka istri harus mempunyai strategi yang handal dalam
meluluhkan nusyuz suami. Menurut Ghanim ( 1993 : 63 ) cara untuk mengatasi
nusyuz suami yaitu dengan cara membaikinya. Misalnya, dilakukan dengan
mengurangi tuntutan - tuntutan material atau hal - hal lain yang menjadi hak
dari suaminya. Sebab, kebanyakan yang menjadi penyebab kejengkelan dan
kesulitan seorang suami adalah tingginya tuntutan istri terhadap hal - hal yang
tidak mungkin diupayakan ( diluar jangkauan ) oleh sang suami.
Dalam menghadapi hal semacam
ini, diharapkan istri dapat mengurangi atau menyederhanakan tuntutan - tuntutan
tersebut demi menjaga keutuhan keluarga dan keselamatan anak - anak ( jika
memang ada ). Hal ini adalah salah satu bentuk pengorbanan sang istri untuk
menjaga keutuhan keluarganya. Jika dia telah berusaha kearah sana, maka tidak
ada dosa baginya. Akan tetapi jika dia memilih pisah dari suami tanpa ada upaya
untuk berkorban, berarti dia telah melakukan suatu kesalahan. Padahal damai (
istilah ) adalah jalan yang paling baik. Demikian juga, sang suami pun dituntut
untuk bisa menjembatani jurang kesenjangan antara keduanya.
Disisi lain, Al-quran juga
menyinggung bahwa manusia itu mempunyai tabiat kikir, baik kikir harta maupun
kikir perangai. Dan sebagai jalan keluarnya Al-quran menawarkan pendekatan
keimanan kepada para suami agar mereka mampu mengalahkan tabiat kikir dalam hal
beri - memberi terhadap sang istri. Firman Allah SWT dalam Q.S An-nisa : 128.
وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا
فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya :
“Dan jika kamu menggauli
istrimu dengan baik dan memerihara dirimu ( dari nusyuz dan sikap tak acuh ),
maka sesungguhnya allah SWT maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Jika usaha-usaha tersebut
tidak mampu untuk bisa mengokohkan hubungan keduanya, maka jalan ( talaq )
adalah jalan baik. Islam tidak ingin membelenggu perkawinan dengan rantai dan
tali - tali yang menyulitkan. Akan tetapi islam juga mengikatnya dengan cinta
kasih dan pertolongan. Firman allah SWT dalam Q.S An-nisa. : 130,
وَإن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ
كُلاًّ مِّن سَعَتِهِ وَكَانَ اللهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
Artinya :
“jika keduanya bercerai,
maka allah SWT akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan
karunianya. Dan adalah maha luas ( karunianya ) lagi maha bijaksana.
B. SYIQAQ
1. Pengertian Syiqaq
Menurut Rahman dalam bukunya
perkawinan dalam syariat islam ( 1996 : 85 ). Syiqaq adalah putusnya ikatan
perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh perilaku dari salah
satu pihak. Bila salah satu pihak dari pasangan suami istri itu bersifat butuk,
atau salah satunya bersikap kejam kepada yang lainnya, atau seperti yang kadang
kala terjadi, mereka tak dapat hidup rukun dalam satu keluarga. Maka dalam
kasus ini syiqaq lebih mungkin terjadi, namun ia tetap akan tergantung pada
kedua belah piha, apakah mereka akan memutuskannya ataukah tidak. Perceraian
akan selalu terjadi bila salah satu pihak merasa mustahil untuk mempertahankan
ikatan perkawinan itu dan terpaksa memutuskannya.
2. Sebab-sebab timbulnya
syiqaq
Adapula kemungkinan
timbulnya kasus dimana suami dipenjarakan seumur hidup dalam jangka waktu yang
lama, atau dia hilang dan tidak diperoleh kabar apapun tentangnya, atau dia
dipasung sepanjang hayatnya, sehingga tak mampu memberi napkah pada istrinya,
maka dalam keadaan demikian dapat terjadi syiqaq kalau istri menginginkan
perceraian, tetapi kalau tidak maka ikatan perkawinan itu tetap berlangsung.
Sebaliknya, kalau dengan cara yang serupa itu, suami merasa tersinggung dan
sakit hati, maka dia berhak untuk mengawini istri yang lain.
Bila salah seorang dari
pasangan itu murtad, keluar dari islam maka secara hukum perkawinan itu dapat
dipisahkan dengan perceraian. Tetapi berdasarkan pendapat para ulama lain,
perkawinan itu secara otomatis ada perceraian. Sedangkan jika suatu pasangan
bukan muslim, lalu memeluk islam maka perkawinanan mereka dapat diteruskan.
Namun hanya seorang dari mereka yang menerima islam, maka perkawinannya dapat
dipisahkan walau tanpa perceraian.
Bila istri yang memeluk
islam lalu perkawinannya batal dan dia mulai melakukan masa iddah, kemudian
andaikan bekas suaminya itu ikut memeluk islam selama masa iddahnya itu, maka
suaminya lah yang berhak menikahinya. Jika suaminya memeluk islam, sedangkan
istrinya seorang yahudi atau nasrani, maka suaminya boleh mengizinkan istrinya
untuk tetap menganut agamanya. Tetapi bila suami menerima islam sedangkan
istrinya seorang tukang sihir, lalu dia juga segara memeluk islam mengikuti
suaminya, maka mereka dapat terus berdampingan sebagai suami istri, namun
wanitanya tidak menerima islam, maka segera saja pernikahan mereka bubar.
C. Ila.
1. Pengertian Ila.
Ila’ menurut bahasa artinya
bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’
ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.
Menurut Rijal ( 1997 : 250 )
ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama
empat bulan atau tanpa ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya
hukum perkawinan islam ( 2000 : 180 ) ila adalah sumpah suami untuk tidak
melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan
jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun.
Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi
tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya
fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri
istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka
waktunya.
Apabila seorang suami
bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu selama empat bulan.
Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat bulan, dia
diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan
dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua
perkara, yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau
menalak istrinya. Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua
perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat,
apabila sampai empat bulan suami tidak kembali ( tidak campur ), maka dengan
sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada
hakim.
Firman allah SWT dalam Q.S
Al-baqarah ayat 226-227
.لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ
تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُوَإِنْ
عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Artinya :
“ Kepada orang-orang yang
mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan ( lamanya ) kemudian jika mereka
kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi
maha penyayang. Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk ) talak, maka
sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.
2. Cara kembali dari sumpah
Ila’
Mengenai cara kembali dari
sumpah ila’ yang tersebut dalam ayat di atas ada tiga pendapat :
· Kembali dengan mencampuri
istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan melanggar ( berbuat ) sesuatu yang
menurut sumpahnya tidak akan diperbuatnya. Apabila habis masa empat bulan ia
tidak mencampuri istrinya itu, maka dengan sendirinya kepada istrinya itu jatuh
talaq bain.
· Kembali dengan campur jika
tidak ada halangan. Tetapi jika ada halangan boleh dengan lisan atau dengan
niat saja.
· Cukup kembali dengan
lisan, baik ketika berhalangan atau tidak.
Ila’ ini pada jaman jahiliyah
berlaku menjadi talak, kemudian diharamkan oleh agama islam.
Menurut sebuah riwayat dari
asy-sya’bi yang dia terima dari masruq dari aisyah, kata beliau :
“Rasulullah SAW pernah juga
mengila’ dan mengharamkan ( diri ) terhadap istri-istrinya, lalu yang haram
beliau jadikan halal, sedang untuk ( menembus ) sumpahnya beliau membayar
kiparat.
Dijaman jahiliyah laki-laki
sudah terbiasa bersumpah untuk tidak menyentuh istrinya setahun atau bahkan dua
tahun. Dan kebanyakan dengan tujuan menyiksa Istri mereka dibiarkan begitu saja
tidak diurusi. Jadi bersuami tidak, diceraikan juga tidak. Maka dengan
rahmat-Nya, Allah SWT hendak membatasi perbuatan ini yang tidak peri
kemanusiaan, lalu diberikan tempo selama empat bulan. Biarlah selama empat
bulan itu laki-laki melampiaskan kejengkelannya sepuas-puasnya, barang kali dia
kemudian malah menjadi sadar kembali. Kalau ditengah itu atau diakhir masa
penangguhan itu dia sadar, maka boleh dia melanggar sumpahnya dengan menggauli
istrinya, lalu bayarlah kiparat buat penembus sumpahnya. Kalau tidak, maka ia
wajib menceraikan istrinya.
Apabila seorang suami telah
bersumpah takkan mendekati istrinya. Akan tetapi selagi belum habis masa empat
bulan, dia telah menyetubuhinya, maka dengan sendirinya ila’ pun selesailah urusanya.
Laki-laki itu tinggal membayar kiparat sumpah.
Beberapa pendapat jikalau
masa empat bulan itu telah lewat, dan laki-laki itu tetap tidak menggauli
istrinya, maka menurut
· Jumhur ulama, istrinya
menuntut untuk bersetubuh atau diceraikan. Akan tetapi suaminya menolak maka
jumhur ulama berpendapat bahwa hakim diperkenankan menceraikan laki-laki itu
dari istrinya, demi menjaga wanita itu dari bahaya.
· Ulama ahmad, asy-syafi’I
dan para ulama ahlu zhahir, hakim itu tetap belum boleh menceraikan mereka,
tapi suami itu boleh didesak dan ditahan sampai dia menceraikan sendiri
istrinya.
· Ulama hanafi, apabila masa
empat bulan itu lewat, sedangkan suami belum juga mengumpuli istrinya, maka
dengan sendirinya istri itu telah dicerai secara bain, begitu masa penangguhan
habis. Dan suami itu tidak berhak lagi rujuk kepadanya, karena dia telah
menyia-nyiakan haknya sendiri kenapa tidak mau menggauli istrinya tanpa udzur
yang berarti dia tidak menghargai haknya sendiri sebagai suami, disamping
dzalim terhadap istrinya.
THALAK
1. Pengertian dan Hukum Thalak
Thalak adalah melepaskan
ikatan nikah dari suami dengan mengucapkan lafaz tertentu, misalnya suami
mengatakan kepada isterinya; “saya thalak engkau”, dengan ucapan tersebut
lepaslah ikatan pernikahan dan terjadilah perceraian.
Thalak menurut hukum asalnya adalah
makruh, karena talak merupakan perbuatan yang halal tetapi paling tidak disukai
oleh Allah SWT.
Sabda Nabi SAW:
Yang Artinya: Perbuatan yang
halal, tetapi dibenci Allah adalah talak” (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah).
2. Lafaz dan Bilangan Talak
Lafas talak itu dapat
diucapkan atau dituliskan dengan kata-kata yang jelas dan kata-kata sindiran.
Talak dengan kata yang jelas misalnya : “saya ceraikan engkau”. Talak dengan
kata-kata yang jelas seperti itu tidak memerlukan niat. Sedangkan talak dengan
kata-kata sindiran, misalnya: “pulanglah engkau ke rumah orang tuamu”. Talak
dengan menggunakan kata-kata sindiran tersebut memerlukan niat. Jika suami
berniat mentalak, maka jatuh talak, tetapi jika ia tidak berniat, maka tidak
jatuh talaknya.
Adapun bilangan talak
maksimal tiga kali, artinya suami berhak menjatuhkan talak kepada istrinya
sampai tiga kali. Pada talak satu dan talak dua, suami berhak rujuk (kembali)
kepada istrinya sebelum habis masa iddahnyaatau nikah lagi apabila iddahnya
sudah habis. Pada talak tiga, suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah
kembali, sebelum istrinya itu nikah dengan laki-laki lain dan sudah digauli
serta sudah ditalak olehsuami keduanya itu.
Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
“perkawinan”, perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak. Oleh karena itu talak merupakan ikrar suami dihadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Selanjutnya
dinyatakan, “seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan
prmohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggal istri disertai dengan alas an serta memeinta diadakan siding
untuk keperluan. Dan prceaian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan siding “pengadilan”.
3. Macam-Macam Talak
a. Talak menurut bentuknya
Talak yang dijatuhkan suami
kepada istri ada beberapa macam bentuknya, yaitu: ila’, lian, dzihar, dan
fasakh.
· Ila’
Ila’ ialah sumpah suami
bahwa tidak akan mencapuri istrinya. Ila’ merupakan adat Arab jahiliyah. Mereka
bersumpahtidak akan menggauli istrinya dengan maksud menyakitinya dan
membiarkan ia menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian dicerai atau tidak.
Jika seorang laki-laki tidak
senang lagi kepada istrinya, dan iapun tidak suka pula kalau nanti istrinya
dikawini orang lain, maka ia melakukan ila’ yaitu bersumpah tidak akan
menggauli istrinya itu.
Setelah Islam dating, adat
tersebut dihapus, dengan cara membatasi waktu sumapah tersebut, selama-lamanya
4 bulan. Dalam masa 4 bulan tersebut suami harus mencabut sumpahnya dan kembali
kepada istrinya dengan membayar kifarat sumpah. Jika masa 4 bulan itu sudahh
lewat, maka ia wajib memilih antara kembali kepada istrinya atau
menceraikannya. Jika kembali, maka ia hharus membayar kifarat sumpah, dan jika
memilih menceraikan, maka jatuh talak ba’in sughra yang tidak boleh rujuk lagi.
Perhatikan surat Al Baqarah 226 dan 227.
Artinya:
226. kepada orang-orang yang
meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka
kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
227. dan jika mereka
ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui. .
· Lian
Lian ialah saling melaknat
antara suami dan istri. Lian terjadi karena salah satu (suami/isteri) menuduh
yang telah berbuat zina, sementara yang dituduh bersikeras menolak tuduhan.
Apabila tidak dapat diselesaikan secara baik-baik, keduanya datang ke
Pengadilann Agama untuk diadakan sumpah dihadapan hakim. Di hadapan hakim
penuduh disuruh bersumpah sebanyak lima kali, empat kali sumpah bahwa “Demi
Allah, engkau (suami/isteri) telah berbuat zina”. Yang kelima bersumpah bahwa
“Aku (suami/isteri) bersedia menerima laknat Allah jika berdusta”. Apabila
penuduh tidak mau bersumpah, ia ditahan sampai mau bersumpah atau mencabut
tuduhannya.
Untuk itu perhatikan surat
An Nur ayat 6 – 9 :Artinya:
6. dan orang-orang yang
menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang
benar.
7. dan (sumpah) yang kelima:
bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta[1030].
8. Istrinya itu dihindarkan
dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya
itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.
9. dan (sumpah) yang kelima:
bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.
· Dzihar
Dzihar, yaitu ucapan suami
kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan ibunya seperti kata
suami; Engkau seperti punggung ibuku. Pada zaman jahiliah, Dzihar dianggap
sebagai salah satu cara menceraikan istri. Kemudian islam melarangnya, dan
menyatakan haram hukumnya. Suami yang terlanjur mendzihar istrinya sebelum
mencampuri membayar kifaratnya adapun kifarat dzihar adalah memerdekakan budak,
jika tidak mampu, harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak kuat
puasa, wajib memberi makan 60 orang miskin.untuk dzihar ini perhatikan surat Al
Mujadalah ayat 2 – 4
Artinya:
2. orang-orang yang
menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya,
padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.
3. orang-orang yang
menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
4. Barangsiapa yang tidak
mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya)
memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih.
· Fasakh
Fasakh adalah pembatalan
nikah yang dilakukan oleh pengadilan karena salah satu pihak (suami atau
isteri) tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Pada dasarnya, fasakh adalah hak
suami dan isteri. Tetapi karena suami sudah mempunyai hak talak, maka fasakh
biasanya diusulkan oleh pihak isteri.
Alas an yang dapat
digunakanuntuk mengajukan fasakh, antara lain:
a) suami cacat tubuh yang serius;
b) suami tidak memberi nafkah kepada isteri;
c) suami berselingkuh dengan
wanita lain;
d) suami murtad atau pindah
agama.
b. Thalak menurut hukumnya
Ditinjau dari segi keadaan
isteri, thalakitu dibagi dua macam, yaitu talak sunni dan talak bid’i.
· Talak sunni adalah talak yang
dijatuhkan seorang suami kepada isterinya, ketika isterinya sedang suci sedang
suci, yaitu tidak sedang haid; atau isteri dalam keadaan suci dan tidak
dicampuri; atau sama sekali belum dikumpuli; atau dalam keadaan hamil.
Hhukumnya bolehh dilakukan.
· Talak bid’i adalah talak yang
dijatuhkan suami, ketika isterinya sedang haid, atau sedang suci tetapi telah
dicampuri, atau thalak dua/tiga sekaligus.thalak bid’I hukumnya haram.
c. Thalak menurut sifatnya
Ditinjau dari segi sifatnya
atau cara menjatuhkannya talak itu terbagi dua, yaitu talak sarih dan talak
kinayah
· Talak sarih adalah talak yang
diucapkan suami dengan ucapan yang jelas, yaitu ucapan talak (cerai), firak
(pisah), atau sarah (lepas).talak yang diucapkan dengan menggunakan kata-kata
tersebut dinyatakan sah dengan tidak
diragukan lagi keabsahannya.
· Talak kinayah adalah ucapan yang tidak
jelas maksudnya, tetapi mengarah kepada perceraian. Misalnya dengan ucapan yang
bernada mengusir, menyuruh pulang atau
ucapan yang bernada tidak memerlukan lagi
dan sejenisnya. Jika ucapan itu diniatkan thalak, maka talaknya jatuh.karena
itu untuk menghindari terjadinya talak kinayah, sebaliknya suami
berhati-hati dalam menggunakan kata-kata
kepada isterinya, nabi bersabda yang artinya:
“Dari Abu Hurairah ra. Ia
berkata: Rasulllah bersabda: Ada tiga perkara yang apabila disungguhkan jadi
dan bila main-mainpun tetap jadi, yaitu nikah, talak, dan rujuk”.
d. Talak menuruk hak rujuk suami isteri
Ditinjau dari segi dapat
rujuk atau tidaknya, maka talak terbagi dua, yaitu talak raj’I dan talak bain.
· Talak raj’i adalah talak dimana suami
bisa kembali kepada bekas isterinyadengan tidak memerlukan nikah kembali, yaitu
talak satu dan talak duayang dijatuhkan
oleh suami kepada isterinya.
· Talak bain adalah talak dimana suami
tidak boleh merujuk kembalibekas isterinya, kecuali dengan persyaratan
tertentu, talak bain ada dua macam, yaitu talak bain sugra dan talak bain
kubra.
Ø Talak bain sugra adalah talak yang dijatuhkan
kepada isteri yang belum dicampuri dan talak khuluk atau tebus. pada talak ini
suami tidak boleh merujuk kembali kepada bekas isterinya, kecuali menikahinya
dengan pernikahan baru. Sedangkan talak khuluk adalah talak yang dijatuhkan
suami atas permintaan isteri dengan alasan tertentu. Dalam hal ini suami tidak
perlu memperhatikan keadaan isterinya, apakah sedang haid atau suci, semuanya
itu ditanggung isteri karena permintaannya sendiri. Talak khuluk disebut juga
talak tebus karena isteri wajib membayar ‘iwad atau tebusan ke pengadilan.
Ø Talak bain kubra adalah talak tiga di mana
bekas suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali bekas ieterinya, kecuali
bekas isterinya itu telah dinikahi oleh laki-laki laindan telah dicampuri. Jika
suaminya itu menceraikannya, maka bekas suami pertama boleh mengawininya
kembali.
Pernikahan dan perceraian
kedua dengan suami barunya tidak boleh direkayasa. Semuanya harus terjadi
secara kebetulan.
B. IDDAH
1. Pengertian Iddah
Secara bahasa, kata “Iddah”
dalam bahasa arab diambil dari kata “al-‘Adad” dan “al-Ihsha’” yang berarti
“Bilangan”, yakni sesuatu yang dihitung oleh perempuan (istri) dari hari-hari
dan haid atau hitungan dari haid atau suci, atau hitungan bulan.
Secara istilah , “Iddah” berarti sejumlah
waktu ( hari ) untuk menunggu bagi perempuan dan tidak boleh untuk menikah
setelah wafat suaminya atau berpisah denganya. Dikalangan para ulama fiqh
terdapat banyak pendapat dalam memberikan pengertian iddah. Menurut ulama
Hanafiah, iddah berarti saat-saat tertentu menurut syara’ untuk menyelesaikan
hal-hal yang terkait dengan perkawinan. dengan kata lain saat menunggu bagi
wanita ketika berpalingnya perkawinan atau yang serupa. Sedangkan menurut ulama
jumhur, Iddah berarti saat menunggu bagi perempuan (istri) untuk mengetahui kekosongan
rahimnya, atau untuk beribadah, atau keadaan bersedih-berduka cita terhadap
perkawinanya, yang berakhir.
2. Masa Iddah
Lamanya masa iddah bagi
seorang perempuan sebagai berikut:
Ø Wanita yang dicerai suaminya, kalau ia sedang
mengandung maka masa iddahnya sampai dengan lahirnya anak yang dikandungnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS At-Thalaq ayat 4:
Artinya:
4. dan perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.
Ø Wanita yang ditinggal mati suaminya,
sedangkan ia tidak mengandung (hamil),
maka iddahnya empat bulan sepuluh hari. Hal ini berdasarkan Firman Allah
SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 234:
Artinya:
234. orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian
apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat.
Ø Wanita yang dicerai oleh suaminya. Sedangkan
ia masih dalam keadaan haid, maka iddahnya tiga quru’ (3 kali suci). Hal ini berdasarkan
Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 228:
Artinya:
228. wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan
tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ø Wanita yang tidak pernah datang haid lagi,
misalnya karena ia masih kecil atau sudah manupause ( usia yang sudah lanjut),
maka iddahnya tiga bulan. Hal ini
berdasarkan Firman Allah SWT dalam QS At-Thalaq ayat 4:
Artinya:
4. dan perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.
Ø Wanita yang dicerai suaminya sebelum
dicampuri maka baginya tidak ada iddah, dalam arti begitu heri itu cerai, maka
hari itu pula ia boleh menikah dengan laki-laki lain. Hal ini berdasarkan
Firman Allah SWT Al-Ahzab ayat 49:
Artinya:
49. Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas
mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
3. Hak isteri selama masa iddah
Wanita yang dalam masa iddah
raj’iah (iddah talak satu atau talak dua berhak menerima tempat tinggal,
pakaian dan belanja dari suaminya. Karena pada hakekatnya mereka masih belum
putus tali perkawinannya, dan masih berstatus suami isteri. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah SAW yang artinya: “perempuan berhak mengambil nafkah dan rumah
kediaman dari bekas suaminya yang masih boleh rujuk kepadanya (H.R. Ahmad dan
An Nasa’i)”
Ø Wanita dalam iddah ba’in (talak tiga atau
khuluk) tetapi tidak hamil hanya berhak mengambil tempat tinggal saja.
Berdasarkan Firman Allah SWT dalam QS At-Thalaq ayat 6:
Artinya:
6. tempatkanlah mereka (para
isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Ø Wanita dalam iddah wafat tidak mendapat hak
seperti wanita dalam iddah li”an tetapi ia dan anak kandungnya mendapat hak
pusaka dari suaminya yang meninggal dunia. Rasusullah SAW Bersabda yang
artinya: “ wanita hamil yang kematian suaminya tidak berhak mengambil nafkah”
(H.R. Muslim).
C. RUJUK
1. Pengertian Rujuk
Rujuk dan segi bahasa
kembali atau pulang. Dari segi istilah hukum syarak rujuk bermaksud
mengembalikan perempuan kepada nikah selepas perceraian kurang daripada tiga
kali dalam masa idah dengan syarat-syarat tertentu.
Ø Seorang suami yang hendak merujuk isterinya
tidak perlu mendapatkan persetujuan kepada bekas isteri terlebih dahulu.
Ø Seorang suami yang telah menceraikan
isterinya dengan talak satu atau dua, harus baginya untuk rujuk kembali kepada
isterinya selama isteri itu masih dalam iddah kerana rujuk adalah hak suami,
bukan hak isteri.
Rujuk digalakkan oleh Islam. Firman Allah
228. wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan
tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
2. Hukum rujuk
a. Wajib — Suami yang menceraikan salah
seorang daripada isteri-isterinya dan dia belum menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang
diceraikan itu.
b. Haram — Apabila rujuk itu menjadi sebab
mendatangkan kemudaratan kepada isteri tersebut.
c. Makruh — Apabila perceraian itu lebih
baik diteruskan daripada rujuk.
d. Harus — Jika membawa kebahagiaan kepada
ahli keluanga kedua-dua belahpihak.
e. Sunat — Sekiranya mendatangkan kebaikan.
Suami boleh merujuk isteri
yang ditalakkannya dengan syarat-syarat berikut:
Ø Belum habis iddah.
Ø Isteri tidak diceraikan dengan talak tiga.
Ø Talak itu setelah persetubuhan.
3. Rukun Rujuk
a. Suami yang merujuk
Syarat-syarat suami sah
merujuk:
Ø Berakal.
Ø Baligh.
Ø Dengan kemahuan sendiri.
Ø Tidak dipaksa — tidak sah rujuk suami yang
murtad.
b. Isteri yang dirujuk.
Syarat isteri yang sah
dirujuk:
Ø Telah disetubuhi.
Ø Bercerai dengan talak, bukan dengan fasakh.
Ø Tidak bercerai dengan khuluk — tidak sah
dirujuk isteri yang bercerai dengan khuluk.
Ø belum dijatuhkan talak tiga
c. Ucapan yang menyatakan rujuk.
Syarat-syarat lafaz:
Ø Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya
kata suami “aku rujuk engkau” atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”.
Ø Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan
lafaz yang bertaklik, misalnya kata suami “aku rujuk engkau jika engkau mau”.
Rujuk itu tidak sah walaupun isteri mengatakan mau.
Ø Tidak terbatas waktu - seperti kata suami
“aku rujuk engkau selama sebulan”.
Isteri yang telah habis tempoh iddahnya atau
diceraikan dengan Talak Bain termasuklah Talak Tiga tidak boleh dirujuk semula.
Sekiranya ingin bersatu semula hendaklah dengan akad yang baru.
4. Syarat-syarat sah kawin semula selepas
talak tiga ialah:
a. selesai iddah dari suami pertama.
b. bekas isteri berkawin dengan lelaki
lain.
c. suami kedua sudah melakukan persetubuhan
dengannya.
d. bercerai dengan suami kedua, fasakh,
atau mati (habis iddah)
e. Setelah tamat iddahnya, suami pertama
boleh kembali bekas isterinya itu dengan akad nikah yang baru mengikut
syarat-syarat dan rukun-rukun nikah yang ditetapkan
f. Rujuk secara bengurau dianggap sah
walaupun dilakukan secara main-main dan tanpa saksi.
5. Hikmat rujuk
a. Dapat menyambung semula hubungan suami
isteri untuk kepentingan kerukunan
numah tangga.
b. Membolehkan seseorang berusaha untuk
rujuk meskipun telah berlaku perceraian.
c. Dapat menimbulkan kesadaran untuk lebih
bertanggungjawab dalam soal rumahtangga.
RUKUN, SYARAT DAN SEBAB WARISAN
Rukun, Syarat dan Sebab
Warisan
1. Rukun Waris
Untuk terjadinya sebuah
pewarisan harta, maka harus terpenuhi tiga rukun waris. Bila salah satu dari
tiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Ketiga rukun itu adalah
al-muwarrits, al-waarist dan al-mauruts. Lebih rincinya :
1.1. Al-Muwarits
Al-Muwarrits (المُوَرِّث)
sering diterjemahkan sebagai pewaris, yaitu orang yang memberikan harta
warisan. Dalam ilmu waris, al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia, lalu
hartanya dibagi-bagi kepada para ahli waris.
Harta yang dibagi waris
haruslah milik seseorang, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau
negara bukanlah termasuk pewaris.
1.2. Al-Warits
Al-Warits (الوَارِث) sering
diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima harta
peninggalan, karena adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan,
atau lainnya.
1.3. Harta Warisan
Harta warits (المَوْرُوث)
adalah benda atau hak kepemilikan yang ditinggalkan, baik berupa uang, tanah,
dan sebagainya. Sedangkan harta yang bukan milik pewaris, tentu saja tidak
boleh diwariskan.
Misalnya, harta bersama
milik suami istri. Bila suami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua
terlebih dahulu untuk memisahkan mana yang milik suami dan mana yang milik
istri. Barulah harta yang milik suami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang
milik istri, tidak dibagi waris karena bukan termasuk harta warisan.
2. Syarat Waris
Selain rukun, juga ada
syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk sebuah pewarisan. Bilamana salah satu
dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Syarat pewarisan ada tiga:
2.1. Meninggalnya Muwarrits
Ada dua macam meninggal yang
dikenal oleh para ulama ahli fiqih, yaitu meninggal secara hakiki dan meninggal
secara hukum.
a. Meninggal secara hakiki
Meninggal secara hakiki
adalah ketika ahli medis menyatakan bahwa seseorang sudah tidak lagi bernyawa,
dimana unsur kehidupan telah lepas dari jasad seseorang.
b. Meninggal secara hukum
Meninggal secara hukum
adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia, meski
jasadnya tidak ditemukan.
Misalnya, seorang yang
hilang di dalam medan perang, atau hilang saat bencana alam, lalu secara hukum
formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapkan
bahwa yang bersangkutan telah telah meninggal dunia.
Bagi Waris Sebelum Meninggal
Ada fenomena lucu yang terjadi
di tengah masyarakat, yaitu membagi-bagi harta waris sebelum muwarritsnya
meninggal dunia. Malah, justru si muwarrits itulah yang membagi-bagi.
Padahal dalam hukum waris
Islam, tidak terjadi ahli waris mendapat harta warisan, manakala seorang
muwarrits belum lagi meninggal dunia.
Seorang tidak mungkin
membagi-bagi warisan dari harta yang dimilikinya sendiri kepada anak-anaknya,
pada saat dia masih hidup segar bugar.
Sebab syarat utama dari
masalah warisan adalah bahwa pemilik harta itu, yaitu al-muwarrist, sudah
meninggal dunia terlebih dahulu. Jadi memang tidak mungkin seseorang
membagi-bagikan sendiri harta warisan miliknya kepada keturunannya.
Bila hal tersebut
dilakukannya, maka sebenarnya yang terjadi adalah hibah (pemberian), bukan
warisan. Dan hibah itu sendiri memang tidak ada aturan mainnya. Dan siapapun
pada hakikatnya boleh menghibahkan harta miliknya kepada siapa saja dengan
nilai berapa saja.
Tapi konsekuensinya, harta
yang sudah dihibahkan itu sudah pindah kepemilikan. Bila seseorang telah
menghibahkan harta kepada anaknya, maka pada hakikatnya dia sudah bukan lagi
pemiliknya, sebab harta itu sudah menjadi milik anaknya sepenuhnya. Bahkan bila
kepemilikan itu ditetapkan dengan surat resmi, si anak berhak melalukan
perubahan surat kepemilikannya.
Misalnya seorang ayah
menghibahkan sebidang tanah berikut rumah kepada anaknya, maka si anak berhak
untuk mengubah surat kepemilikan tanah dan rumah itu begitu dia menerimanya.
Dan konsekuensi lainnya, berhubung si anak telah menjadi pemilik sepenuhnya
tanah dan rumah itu, dia pun berhak untuk menjualnya kepada pihak lain. Meski
si ayah masih hidup.
Sedangkan bila si ayah masih
ingin memiliki sebidang tanah dan rumah itu selama hidupnya, tapi berpikir
untuk memberikannya dengan jumlah yang dikehendakinya kepada anaknya setelah
kematiannya, maka hal itu namanya washiyat.
Dalam hukum Islam, seorang
ahli waris seperti anak tidak boleh menerima washiat berupa harta dari ayahnya
(pewaris), sebab Rasulullah SAw bersabda bahwa tidak ada washiyat bukan ahli
waris. Maka bila hal itu dilakukan juga, hukumnya haram.
Jadi yang dibenarkan hanya
dua kemungkinan, yaitu harta diberikan ketika ayah masih hidup dan namanya
hibah. Atau diberikan setelah dia meninggal dan namanya warisan. Dan ketika
dibagi secara warisan, aturan pembagiannya telah baku sesuai dengan nash
Al-Quran dan As-Sunnah. Maskudnya, si ayah yang dalam hal ini sebagai pemilik
harta, tidak lagi berhak membagi-bagi sendiri harta warisan untuk para ahli
warisnya. Semua harus diserahkan kepada hukum warisan, setelah dia meninggal
dunia.
2.2. Hidupnya Ahli Waris
Hidup yang dimaksud adalah
hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
Ini adalah syarat yang
kedua, yaitu orang yang akan menerima warisan haruslah masih hidup secara
hakiki ketika pewaris meninggal dunia.
Seorang anak yang telah
meninggal lebih dulu dari ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak
itu telah punya istri dan anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan
dari mertua atau kakek mereka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih
dulu dari kakek.
Jalan keluar dari masalah
ini ada tiga kemungkinan. Pertama, dengan washiyah wajibah, yaitu si kakek
berwashiyat semenjak masih hidup agar cucu dan menantunya diberikan bagian
harta. Bukan dengan jalan warisan melainkan dengan cara washiat.
Kedua, bisa juga dengan cara
kesepakatan di antara para ahli waris untuk mengumpulkan harta dan diberikan
kepada saudara ipar atau kemenakan mereka.
Ketiga, dengan cara hibah,
yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghibahkan sebagian hartanya kepada
cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan nanti pada saat membagi warisan,
cucu dan menantunya akan tidak mendapat apa-apa.
Dan jika ada dua orang atau
lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa
--atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih
dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang
mereka miliki ketika masih hidup.
Hal seperti ini oleh
kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu
kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan,
mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
2.3. Ahli Waris Diketahui
Seluruh ahli waris diketahui
secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing, misalnya suami, istri,
kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian
yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris
perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup
hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus
dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara
seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima
warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang
terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak
terhalang.
3. Sebab-sebab Adanya Hak
Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan
seseorang mendapatkan hak waris:
3.1. Kerabat hakiki
Yaitu hubungan yang ada
ikatan nasab, seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
Seorang anak yang tidak
pernah tinggal dengan ayahnya seumur hidup tetap berhak atas warisan dari
ayahnya bila sang ayah meninggal dunia.
Demikian juga dengan kasus
dimana seorang kakek yang telah punya anak yang semuanya sudah berkeluarga
semua, lalu menjelang ajal, si kakek menikah lagi dengan seorang wanita dan
mendapatkan anak, maka anak tersebut berhak mendapat warisan sama besar dengan
anak-anak si kakek lainnya.
3.2. Pernikahan
Yaitu terjadinya akad nikah
secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum
atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya.
Tapi berbeda dengan urusan
mahram, yang berhak mewarisi disini hanyalah suami atau istri saja, sedangkan
mertua, menantu, ipar dan hubungan lain akibat adanya pernikahan, tidak menjadi
penyebab adanya pewarisan, meski mertua dan menantu tinggal serumah. Maka
seorang menantu tidak mendapat warisan apa-apa bila mertuanya meninggal dunia.
Demikian juga sebaliknya,
kakak ipar yang meninggal dunia tidak memberikan wairsan kepada adik iparnya,
meski mereka tinggap serumah. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak
bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Misalnya pernikahan tanpa wali
dan saksi, maka pernikahan itu batil dan tidak bisa saling mewarisi antara
suami dan istri.
3.3. Al-Wala
Yaitu kekerabatan karena
sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi
penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka
dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan
(ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak
berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia.
Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya
kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
GOLONGAN AHLI WARIS DAN HALANGANNYA
Ahli Waris dari Golongan
Laki-laki
Ahli waris (yaitu orang yang
berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas:
(1) anak laki-laki, (2) cucu
laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5)
saudara kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki
seibu, (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-laki
dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11) paman
(saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah),
(13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan
budak.
Catatan
Bagi cucu laki-laki yang
disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan
seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu
pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.
I. Ahli Waris dari Golongan
Wanita
Adapun ahli waris dari kaum
wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari
keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari
bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8)
saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.
Catatan
Cucu perempuan yang dimaksud
di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari
keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu
dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.
. PEMBAGIAN WARIS MENURUT
AL-QUR'AN
JUMLAH bagian yang telah
ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4),
seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang
termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
A. Ashhabul furudh yang
Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak
mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari
golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut
ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara
kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut:
1. Seorang suami berhak
untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak
mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan
itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan bagi kalian
(para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian,
bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
2. Anak perempuan (kandung)
mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
Pewaris tidak mempunyai anak
laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki,
penj.).
Apabila anak perempuan itu
adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah: "dan apabila ia (anak
perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada".
Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak
mendapat bagian setengah.
3. Cucu perempuan keturunan
anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat:
Apabila ia tidak mempunyai
saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki).
Apabila hanya seorang (yakni
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
Apabila pewaris tidak
mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
Dalilnya sama saja dengan
dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila
anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi
auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak, dan hal
ini telah menjadi kesepakatan para ulama.
4. Saudara kandung perempuan
akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat:
Ia tidak mempunyai saudara
kandung laki-laki.
Ia hanya seorang diri (tidak
mempunyai saudara perempuan).
Pewaris tidak mempunyai ayah
atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki
ataupun keturunan perempuan.
Dalilnya adalah firman Allah
berikut:
"Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)
5. Saudara perempuan seayah
akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan
empat syarat:
Apabila ia tidak mempunyai
saudara laki-laki.
Apabila ia hanya seorang
diri.
Pewaris tidak mempunyai
saudara kandung perempuan.
Pewaris tidak mempunyai ayah
atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan.
Dalilnya sama dengan Butir 4
(an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.
B. Ashhabul furudh yang
Berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang
berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu
suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:
1. Seorang suami berhak
mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu
syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun
dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Jika istri-istrimu
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12)
2. Seorang istri akan
mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu
syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir
dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan
firman Allah berikut:
"... Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak
..." (an-Nisa': 12)
Ada satu hal yang patut
diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang bagian istri. Yang
dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi seluruh istri
yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain,
sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap
mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman
Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang
bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri
ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta
peninggalan.
C. Ashhabul furudh yang
Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan ashhabul
furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri,
baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan
suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari
rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
"... Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)
D. Ashhabul furudh yang
Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak
mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat,
dan semuanya terdiri dari wanita:
Dua anak perempuan (kandung)
atau lebih.
Dua orang cucu perempuan
keturunan anak laki-laki atau lebih.
Dua orang saudara kandung
perempuan atau lebih.
Dua orang saudara perempuan
seayah atau lebih.
Ketentuan ini terikat oleh
syarat-syarat seperti berikut:
1. Dua anak perempuan
(kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni anak
laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta
yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang
mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang ada dalam
Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih
dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan
kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis
Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana
diungkapkan dalam bab sebelum ini.
Hadits tersebut sangat jelas
dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak perempuan
atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah
"anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma'
para ulama. Wallahu a'lam.
2. Dua orang cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3),
dengan persyaratan sebagai berikut:
Pewaris tidak mempunyai anak
kandung, baik laki-laki atau perempuan.
Pewaris tidak mempunyai dua
orang anak kandung perempuan.
Dua cucu putri tersebut
tidak mempunyai saudara laki-laki.
3. Dua saudara kandung
perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan
sebagai berikut:
Bila pewaris tidak mempunyai
anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
Dua saudara kandung
perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
Pewaris tidak mempunyai anak
perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah
firman Allah:
"... tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta
yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4. Dua saudara perempuan
seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai
berikut:
Bila pewaris tidak mempunyai
anak, ayah, atau kakek.
Kedua saudara perempuan
seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.
Pewaris tidak mempunyai anak
perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara
kandung (baik laki-laki maupun perempuan).
Persyaratan yang harus
dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua per
tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di
sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik
laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa
ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya
dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..."
(an-Nisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan
seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian
ayat tersebut. Wallahu a'lam.
E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat
Bagian Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang
berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua
saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak
mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
Pewaris tidak mempunyai anak
atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
Pewaris tidak mempunyai dua
orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu
sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga firman-Nya:
"... jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam..." (an-Nisa': 11)
Catatan:
Lafazh ikhwatun bila
digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus bermakna 'tiga
atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk
jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk
jamak terkadang digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah
shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai
imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal
ini adalah firman Allah berikut:
"Jika kamu berdua
bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk
menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)
Kemudian saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian
sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
Bila pewaris tidak mempunyai
anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.
Jumlah saudara yang seibu
itu dua orang atau lebih.
Adapun dalilnya adalah
firman Allah:
"... Jika seseorang
mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..."
(an-Nisa': 12)
Catatan
Yang dimaksud dengan kalimat
"walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah 'saudara seibu'.
Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki
dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan
hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam
ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan
"akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu.
Selain itu, ada hal lain
yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum syurakaa 'u
fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu
menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara
laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh
bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara
laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah
sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan.
Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung
dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara
perempuan.
Masalah 'Umariyyatan
Pada asalnya, seorang ibu
akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta peninggalan pewaris bila ia
mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telah saya jelaskan---
berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga".
Akan tetapi, berkaitan
dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan fuqaha, yakni
'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal ini
dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat ridhwanullah
'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang cemerlang', karena
kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya diberi sepertiga
bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian
suami atau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.
Contoh Pertama
Seorang istri wafat dan
meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat bagian setengah (1/2) dari
seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat sepertiga (1/3) dari sisa setelah
diambil bagian suami. Kemudian ayah mendapat seluruh sisa yang ada. Untuk lebih
jelas lagi saya berikan tabelnya:
Dalam contoh kasus ini ibu
mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah diambil bagian suami pewaris,
sebab bila ia memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang ada maka ia akan
mendapat bagian dua kali lipat bagian ayah. Hal ini tentunya bertentangan
dengan kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an dalam bagian
ayat "lidzdzakari mitslu hazhzhil untsayain". Karenanya untuk tetap
menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat bagian sepertiga dari harta
warisan setelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi
dua kali lipat dari bagian yang diterima ibu.
Contoh Kedua
Seorang suami meninggal
dunia dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri mendapat bagian
seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya, sedangkan ibu
mendapat bagian tiga per empat dari sisa setelah diambil hak istri. Sedangkan
bagian ayah adalah sisa harta yang ada sebagai 'ashabah.
Dari kedua contoh tersebut
tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya bagian ibu pada tabel pertama adalah
seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua adalah seperempat (1/4). Adapun
penyebutannya dengan istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau
istri adalah karena menyesuaikan adab qur'ani.
Masalah 'umariyyatan ini
pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin Khathab r.a.. Dalam masalah
ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid
bin Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh
Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga dari sisa
setelah diambil hak suami atau istri.
Sedangkan pendapat yang
kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap mendapat bagian
sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri
(anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah
memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak
suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam
Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan
yang ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri.
Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu".
Jadi, menurut hemat saya,
apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama serta ditetapkan oleh Umar
bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.
F. Asbhabul Furudh yang
Mendapat Bagian Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang
berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah,
(2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki
dan perempuan seibu.
1. Seorang ayah akan
mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik anak
laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "... Dan
untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)
2. Seorang kakek (bapak dari
ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak
laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan
syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek
akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan
saya rinci dalam bab tersendiri.
3. Ibu akan memperoleh
seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:
Bila pewaris mempunyai anak
laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki.
Bila pewaris mempunyai dua
orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik
sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):
"... jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam
..." (an-Nisa': 11).
4. Cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian seperenam
(1/6), apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam
keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapat seperenam (1/6),
sebagai pelengkap dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan
Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang
masalah warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu
perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa
kemudian menjawab: "Bagi anak perempuan mendapat bagian separo (1/2), dan
yang setengah sisanya menjadi bagian saudara perempuan."
Merasa kurang puas dengan
jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud
berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah diputuskan
Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris,
dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian seperenam
(1/6) sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara perempuan
pewaris."
Mendengar jawaban Ibnu
Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan memberi tahu permasalahannya.
Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama
sang alim ada di tengah-tengah kalian."
Catatan
Cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam (1/6) dengan syarat
bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki,
maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris juga
tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih dari
satu orang, anak-anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3),
dan sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki pewaris.
5. Saudara perempuan seayah
satu orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila pewaris
mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama denga
keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan dengan adanya
anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara
perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara
perempuan seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua
per tiga (2/3). Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh setengah
(1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan
hak saudara perempuan seayah.
6. Saudara laki-laki atau
perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing seperenam (1/6) bila
mewarisi sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya) "jika seseorang
mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta". Dan persyaratannya adalah bila pewaris
tidak mempunyai pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik
laki-laki atau perempuan).
7. Nenek asli mendapatkan
bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi mempunyai ibu. Ketentuan
demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun ibu),
yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini
berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma'
seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan meriwayatkan
bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak
warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur'an
maka pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku menanyakannya kepada para sahabat
Rasulullah saw." Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah mengatakan kepada Abu
Bakar: "Suatu ketika aku pernah menjumpai Rasulullah saw. memberikan hak
seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan al-Mughirah itu Abu
Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6).
PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)
A. Definisi al-Hujub
Al-hujub dalam bahasa Arab
bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
"Sekali-kali tidak
sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan
mereka" (al-Muthaffifin: 15)
Yang dimaksud oleh ayat ini
adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat Tuhan
mereka di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa
Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu',
disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa izin guna
menemui para penguasa atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il
(subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah
mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang
lain untuk mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang
mendapatkan warisan.
Adapun pengertian al-hujub
menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima
waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang
yang lebih berhak untuk menerimanya.
B. Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni
al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang
lain).
Al-hujub bil washfi berarti
orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara
keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris
mereka menjadi gugur atau terhalang.
Sedangkan al-hujub bi
asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain
yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua:
hujub hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan
seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek
karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak,
terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung,
terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan
(pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk
mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris
ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris
mempunyai keturunan (anak). Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang
suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari
seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.
Satu hal yang perlu
diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa
diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal
mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.
Ahli Waris yang Tidak
Terkena Hujub Hirman
Ada sederetan ahli waris
yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang
akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah anak kandung
laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang
mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka semuanya harus
mendapatkan warisan.
Ahli Waris yang Dapat
Terkena Hujub Hirman
Sederetan ahli waris yang
dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan
lima dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:
Kakek (bapak dari ayah) akan
terhalang oleh adanya ayah, dan juga oleh kakek yang lebih dekat dengan
pewaris.
Saudara kandung laki-laki
akan terhalang oleh adanya ayah, dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit,
dan seterusnya).
Saudara laki-laki seayah
akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-laki, juga terhalang oleh
saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al Ghair, dan terhalang
dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya).
Saudara laki-laki dan
perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan seterusnya)
dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik anak laki-laki
maupun anak perempuan.
Cucu laki-laki keturunan
anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki. Demikian juga para
cucu akan terhalangi oleh cucu yang paling dekat (lebih dekat).
Keponakan laki-laki (anak
saudara kandung laki-laki) akan terhalangi dengan adanya ayah dan kakek, anak
laki-laki, cucu kandung laki-laki, serta oleh saudara laki-laki seayah.
Keponakan laki-laki (anak
dari saudara laki-laki seayah) akan terhalangi dengan adanya orang-orang yang
menghalangi keponakan (dari anak saudara kandung laki-laki), ditambah dengan
adanya keponakan (anak laki-laki dari keturunan saudara kandung laki-laki).
Paman kandung (saudara
laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki dari saudara
laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yang menghalangi keponakan
laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
Paman seayah akan terhalangi
dengan adanya sosok yang menghalangi paman kandung, dan juga dengan adanya
paman kandung.
Sepupu kandung laki-laki
(anak paman kandung) akan terhalangi oleh adanya paman seayah, dan juga oleh
sosok yang menghalangi paman seayah.
Sepupu laki-laki (anak paman
seayah) akan terhalangi dengan adanya sepupu laki-laki (anak paman kandung) dan
dengan adanya sosok yang menghalangi sepupu laki-laki (anak paman kandung).
Sedangkan lima ahli waris
dari kelompok wanita adalah:
Nenek (baik ibu dari ibu
ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan adanya sang ibu.
Cucu perempuan (keturunan
anak laki-laki) akan terhalang oleh adanya anak laki-laki, baik cucu itu hanya
seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akan terhalangi oleh adanya dua orang
anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada 'ashabah.
Saudara kandung perempuan
akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu, cicit, dan seterusnya (semuanya
laki-laki).
Saudara perempuan seayah
akan terhalangi dengan adanya saudara kandung perempuan jika ia menjadi 'ashabah
ma'al ghair. Selain itu, juga terhalang oleh adanya ayah dan keturunan (anak,
cucu, cicit, dan seterusnya, khusus kalangan laki-laki) serta terhalang oleh
adanya dua orang saudara kandung perempuan bila keduanya menyempurnakan bagian
dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya 'ashabah.
Saudara perempuan seibu akan
terhalangi oleh adanya sosok laki-laki (ayah, kakek, dan seterusnya) juga oleh
adanya cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik laki-laki ataupun
perempuan.
Saudara Laki-laki yang
Berkah
Apabila anak perempuan telah
sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia mempunyai saudara laki-laki
(yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki) yang sederajat ataupun yang
lebih rendah dari derajat cucu perempuan, maka cucu laki-laki dapat menyeret
cucu perempuan itu sebagai 'ashabah, yang sebelumnya tidak mendapat fardh.
Keadaan seperti ini dalam faraid disebut sebagai kerabat yang berkah atau
saudara laki-laki yang berkah. Disebut demikian karena tanpa cucu laki-laki,
cucu perempuan tidak akan mendapat warisan.
Kemudian, apabila saudara
kandung perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah
hak waris para saudara perempuan seayah, kecuali bila ada saudara laki-laki
seayah. Sebab saudara laki-laki seayah itu akan menggandengnya menjadi
'ashabah. Keadaan seperti ini dinamakan sebagai saudara yang berkah, sebab
tanpa keberadaannya para saudara kandung perempuan itu tidak akan menerima hak
waris mereka.
Saudara Laki-laki yang
Merugikan
Kalau sebelumnya saya
jelaskan tentang saudara laki-laki yang membawa berkah, maka kini saya akan
menjelaskan kebalikannya, yakni saudara laki-laki yang merugikan. Disebut
saudara laki-laki yang merugikan karena keberadaannya menyebabkan ahli waris
dari kalangan wanita tidak mendapatkan warisan. Padahal, apabila saudara
laki-laki itu tidak ada, ahli waris wanita itu akan mendapatkan waris. Agar
lebih jelas saya berikan beberapa contoh kasus.
Pertama:
Seorang wanita meninggal
dunia dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anak perempuan, dan cucu perempuan
dari anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami seperempat (1/4)
bagian, ibu seperenam (1/6) bagian, ayah juga seperenam (1/6) bagian, anak
perempuan setengah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian
seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3) karena merupakan
bagian wanita.
Seandainya dalam kasus ini
terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, maka gugurlah hak cucu perempuan
tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan saudara laki-laki dari cucu perempuan
keturunan anak laki-laki itu merugikannya. Inilah rahasia mengapa ulama faraid
mengistilahkannya sebagai "saudara laki-laki yang merugikan".
Kedua:
Untuk lebih memperjelas, dalam
contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki yang merugikan. Seorang wanita
meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, ayah, anak perempuan, serta cucu
laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya
seperti berikut: suami memperoleh seperempat (1/4) bagian karena istri
mempunyai anak (keturunan), ibu seperenam (1/6) bagian, ayah seperenam (1/6)
bagian, sedangkan anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian karena tidak
ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan perempuan tidak mendapat bagian.
Itulah contoh tentang
saudara laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidak merugikan karena memang
tidak ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, sehingga cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna
saham dua per tiga (2/3). Sedangkan dalam contoh kedua, cucu perempuan
dirugikan --tidak mendapat waris-- karena ia mempunyai saudara laki-laki yang
sederajat, yakni adanya cucu laki-laki keturunan dari anak laki-laki.
Ilustrasi seperti itu dapat
kita ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucu perempuan keturunan anak
laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah dan posisi cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara laki-laki seayah. Maka, saudara
perempuan seayah akan mendapat waris bila tidak mempunyai saudara laki-laki
seayah yang masih hidup. Namun, bila mempunyai saudara laki-laki seayah, maka
saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apa-apa.
MASALAH AL 'AUL
DANAR-RADD
A. Definisi al-'Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab
mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil,
seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)
Al-'aul juga bermakna 'naik'
atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air yang
naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampak dalam
kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul
menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya
nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin
banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di
antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita
harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris
dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi
berkurang.
Misalnya bagian seorang
suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga
(1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari
semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang
semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu
pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang
manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
B. Latar Belakang Terjadinya
'Aul
Pada masa Rasulullah saw.
sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus 'aul atau penambahan
--sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris-- tidak pernah
terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab
r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali menambahkan pokok
masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika
fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Secara lebih lengkap,
riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan meninggalkan
suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faraid,
bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan bagian dua
saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian, berarti
fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami tersebut
tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang
ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetap
menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi kenyataan
demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku tidak mengerti,
siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan.
Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris
akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku
berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan
berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan persoalan
ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan
menganjurkan kepada Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid dan
berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para
sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul
(penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi
saw.
C. Pokok Masalah yang Dapat
dan Tidak Dapat Di-'aul- kan
Pokok masalah yang ada di
dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan
yang empat tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat
di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24).
Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2),
tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai contoh pokok yang
dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara
kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua
(2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung
perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini
tidak menggunakan 'aul.
Contoh lain, seseorang wafat
dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat sepertiga (1/3)
bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga
(3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.
Contoh lain: seseorang wafat
dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari empat (4),
bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni
3/4) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung
perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Contoh kasus yang lain,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara
kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian, anak setengah
(1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima sisanya,
yakni tiga per delapan (3/8).
Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya kemukakan semuanya
tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian
para ashhabul furudh.
Pokok Masalah yang Dapat
Di-'aul-kan
Sebagaimana telah saya
sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat di-'aul-kan ialah
angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok
masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai
misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni
dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu
tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali
saja.
Kemudian pokok masalah dua
belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk
angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya dapat
dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih
dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga
kali saja.
Sedangkan pokok masalah dua
puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua puluh tujuh (27) saja, dan
itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama
faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Untuk lebih menjelaskan dan
memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok masalah yang di-'aul-kan, perlu
kita simak contoh-contohnya.
Beberapa Contoh Masalah 'Aul
Seseorang wafat dan
meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan keturunan anak
laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6).
Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6)
berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga
bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seperenam
(1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga-- berarti satu bagian. Dalam contoh
ini tidak ada 'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
Seseorang wafat dan
meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami
setengah (1/2) berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti
tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah,
karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan
demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
Seseorang wafat dan
meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan, dan seorang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam
(6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian, saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan
saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bila demikian,
jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah, yaitu delapan per enam
(8/6). Oleh karena itu, asal pokok masalah enam dinaikkan menjadi delapan.
Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah al-mubahalah.
Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung perempuan, dan dua orang
saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pokok masalahnya
enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua
saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat bagian, dan bagian
dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh ini jumlah
bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu pokok masalahnya
di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian sesuai dengan pokok
masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah.
Seseorang wafat dan
meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya
enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti
satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga (2/3) berarti empat,
sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua
bagian.
Dalam contoh tersebut jumlah
bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu enam banding sepuluh (6:10).
Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula enam menjadi
sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah
syuraihiyah.
Contoh 'Aul Pokok Masalah
Dua Belas (12)
Seperti telah saya kemukakan
bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja, yaitu
menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Berikut ini
saya berikan contoh-contohnya:
Seseorang wafat dan
meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung perempuan. Maka
pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian
istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua
bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3)
berarti delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak
jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu
harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah
bagian yang ada.
Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung perempuan, seorang
saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian istri
seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian,
saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian,
sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua
pertiga-- berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam
(1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian dalam contoh
ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok
masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas (15).
Seseorang wafat dan
meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan
seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian ketiga orang istri adalah
seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah
seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan
seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat
saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam contoh ini tampak
dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah melampaui pokok
masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu pokok masalahnya
harus di-'aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.
Contoh 'Aul Dua Puluh Empat
(24)
Pokok masalah dua puluh
empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat di-'aul-kan menjadi
angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus
yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Mereka menyebutnya
demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di
atas mimbar (podium).
Contoh masalah ini seperti
berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak
perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya
seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam
(1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat
bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan
mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan
keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai penyempurna
dua per tiga (2/3)-- berarti empat bagian.
Dalam contoh tersebut tampak
sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak ashhabul
furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-'aul-kan
pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada
para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini
pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan menjadi angka dua puluh
tujuh.
Catatan
Setiap masalah atau keadaan
yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah
(1/2) dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua
orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2),
maka pokok masalahnya dari dua (2), dan tidak dapat di-'aul-kan.
Setiap masalah atau keadaan
yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian sepertiga
(1/3) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak
mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua per tiga (2/3), maka pokok
masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada 'aul.
Setiap masalah atau keadaan
yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperempat
(1/4) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak
mendapat seperempat (1/4) dan yang lain berhak mendapat setengah (1/2), maka
pokok masalahuya dari empat (4), dan dalam hal ini tidak ada 'aul.
Setiap masalah atau keadaan
yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperdelapan
(1/8) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak
mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pokok masalahnya dari
delapan, dan tidak ada 'aul.
Contoh kasus lain :
Seseorang meninggal dunia, harta warisannya
sebesar Rp. 60.000,- ahli warisnya terdiri dari : istri, ibu, 2 saudara
perempuan sekandung dan saudara seibu. Bagian masing-masing adalah :
>> jika diselesaikan dengan apa adanya :
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (12)
|
HW Rp. 60.000.000,-
|
Penerimaan
|
Istri
|
1/4
|
3
|
3/12 x 60.000.000
|
Rp. 15.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
2/12 x 60.000.000
|
Rp. 10.000.000
|
2sdr pr skd
|
2/3
|
8
|
8/12 x 60.000.000
|
RP. 40.000.000
|
saudara seibu
|
1/6
|
2
|
2/12 x 60.000.000
|
Rp. 10.000.000
|
15
|
Jumlah
|
Rp. 75.000.000
|
Hasilnya terjadi kekurangan harta sebesar Rp.
15.000.000,-
>>jika diselesaikan dengan cara ‘aul, maka
akan diperoleh hasil sebagai berikut :
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (12)
|
HW Rp. 60.000.000,-
|
Penerimaan
|
Istri
|
1/4
|
3
|
3/15 x 60.000.000
|
Rp. 12.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
2/15 x 60.000.000
|
Rp. 8.000.000
|
2sdr pr skd
|
2/3
|
8
|
8/15 x 60.000.000
|
RP. 32.000.000
|
saudara seibu
|
1/6
|
2
|
2/15 x 60.000.000
|
Rp. 8.000.000
|
15
|
Jumlah
|
Rp. 60.000.000
|
Asal masalah di’aulkan dari 12 menjadi 15,
karena jika tidak di’aulkan akan terjadi kekurangan harta sebesar Rp.
15.000.000,-
D. Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab
berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna 'berpaling/palingkan'. Seperti
terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa berkata: 'Itulah
(tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
" (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau
orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan ..."
(al-Ahzab: 25)
Dalam sebuah doa disebutkan
"Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah
tipu daya mereka terhadapku).
Adapun ar-radd menurut
istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan
dari al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu
keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima haknya
masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu
tidak ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu
diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan
bagian mereka masing-masing.
E. Syarat-syarat ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi
dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
adanya ashhabul furudh
tidak adanya 'ashabah
ada sisa harta waris.
Bila dalam pembagian waris
tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.
F. Ahli Waris yang Berhak
Mendapat ar-Radd
Ar-radd dapat terjadi dan
melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya, suami atau
istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari sisa harta
waris yang ada.
Adapun ashhabul furudh yang
dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:
anak perempuan
cucu perempuan keturunan
anak laki-laki
saudara kandung perempuan
saudara perempuan seayah
ibu kandung
nenek sahih (ibu dari bapak)
saudara perempuan seibu
saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah dan
kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan
tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan
bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya --ayah atau
kakek-- -maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris
sebagai 'ashabah.
G. Ahli Waris yang Tidak
Mendapat ar-Radd
Adapun ahli waris dari
ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri.
Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi
karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali
pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu
mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya
mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam
suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris,
suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
H. Macam-macam ar-Radd
Ada empat macam Ar-radd, dan
masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam itu:
adanya ahli waris pemilik
bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
adanya pemilik bagian yang
berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
adanya pemilik bagian yang
sama, dan dengan adanya suami atau istri
adanya pemilik bagian yang
berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri
Hukum Keadaan Pertama
Apabila dalam suatu keadaan
ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh dengan bagian yang sama --yakni
dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat bagian setengah, atau
seperempat, dan seterusnya)-- dan dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau
istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Hal ini
bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar lebih cepat sampai pada
tujuan dengan cara yang paling mudah.
Sebagai misal, seseorang
wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya dari
tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua
per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian
hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris
dari bagian yang sama.
Contoh lain, bila seseorang
wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan, maka pokok
masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secara fardh dan ar-radd.
Misal lain, seseorang wafat
dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka pokok
masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama.
Hukum Keadaan Kedua
Apabila dalam suatu keadaan
terdapat bagian ahli waris yang beragam --dan tidak ada salah satu dari suami
atau istri-- maka cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya, bukan dari
jumlah ahli waris (per kepala). Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan
seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu
seperenam (1/6), untuk kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3). Di sini
tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka yang dijadikan pokok masalah,
yakni tiga.
Contoh-contoh keadaan kedua
Seseorang wafat meninggalkan
seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak lak-laki.
Maka pokok masalahnya dari empat, karena jumlah bagiannya ada empat.
Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan, serta saudara laki-laki
seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta seorang cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok
masalahnya.
Seseorang wafat dan
meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudara perempuan seayah. Maka
pokok masalahnya empat, karena jumlah bagiannya empat.
Seseorang wafat dan
meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan saudara
perempuan seibu. Maka pokok masalahnya lima, karena jumlah bagiannya adalah
lima.
Begitu seterusnya, yang
penting tidak ada salah satu dari suami atau istri.
Hukum keadaan Ketiga
Apabila para ahli waris
semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai salah satu dari suami
atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok masalahnya dari
sahib fardh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya
dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Sebagai misal, seseorang
wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan
seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat) dibagikan kepada anak
secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari
empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya
(yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata.
Misal lain, seseorang wafat
dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta
seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari empat, karena angka
itu diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri, yang
bagiannya dalam keadaan demikian seperempat (1/4).
Contoh lain, seseorang wafat
dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Pokok
masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardh yang tidak dapat
di-radd-kan (tidak berhak untuk ditambah). Maka istri mendapatkan seperdelapan
(1/8) bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya tujuh per delapan
(7/8) merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara
mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan setelah ditashih pokok masalahnya
menjadi empat puluh, hitungan (bagiannya) sebagai berikut: ibu mendapatkan
seperdelapan dari empat puluh, berarti lima bagian, sedangkan sisanya --tiga
puluh lima bagian-- dibagikan secara merata kepada kelima anak perempuan
pewaris, berarti masing-masing menerima tujuh bagian.
Contoh lain, seseorang wafat
dan meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan. Dalam hal ini pokok
masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai sahib fardh yang tidak dapat
di-radd-kan. Pembagiannya: istri mendapatkan seperempat (1/4) bagian, sedangkan
sisanya --tiga per empat (3/4)-- dibagi secara merata untuk keempat anak perempuan
pewaris.
Dalam contoh ini juga harus
ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karena itu, pokok masalah yang
mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehingga pembagiannya seperti
berikut: bagian istri seperempat (1/4) dari enam belas berarti empat bagian.
Sedangkan sisanya dua belas bagian dibagikan secara merata kepada keempat anak
perempuan pewaris. Dengan demikian, setiap anak memperoleh tiga bagian.
Hukum keadaan Keempat
Apabila dalam suatu keadaan
terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dan di dalamnya terdapat pula
suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kita harus menjadikannya
dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau
istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Kemudian
kita buat diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah kita lihat kedua
ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga kriteria yang ada, mana yang
paling tepat. Sedangkan ketiga kriteria yang dimaksud ialah tamaatsul
(kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).
Contoh I :
Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari : anak
perempuan dan ibu. Harta warisannya sebesar Rp. 12.000.000,- bagian
masing-masing adalah :
>> Jika tidak ditempuh cara radd :
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (6)
|
HW Rp. 12.000.000,-
|
Penerimaan
|
Anak pr
|
1/2
|
3
|
3/6 x 12.000.000
|
Rp. 6.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
1/6 x 12.000.000
|
Rp. 2.000.000
|
4
|
Jumlah
|
Rp. 8.000.000
|
Terdapat sisa harta sebesar Rp. 4.000.000,-
>> Jika diselesaikan dengan cara radd :
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (6-4)
|
HW Rp. 12.000.000,-
|
Penerimaan
|
Anak pr
|
1/2
|
3
|
3/4 x 12.000.000
|
Rp. 9.000.000
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
1/4 x 12.000.000
|
Rp. 3.000.000
|
4
|
Jumlah
|
Rp. 12.000.000
|
Anak perempuan yang semula menerima bagian Rp. 6.000.000,- berubah
mendapat bagian Rp. 9.000.000,- dan ibu yang semula menerima bagian Rp.
2.000.000,- mendapat bagian Rp. 3.000.000,-
Contoh II :
Seseorang meninggal
dunia, ahli warisnya tediri dari : saudara perempuan sekandung, saudara
perempuan seayah, dan saudara perempuan seibu. Harta warisannya sejumlah Rp.
30.000.000,- bagian masing-masing adalah :
>> Jika tidak diselesaikan dengan cara radd
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (6)
|
HW Rp. 30.000.000,-
|
Penerimaan
|
Sdr pr skd
|
1/2
|
3
|
3/6 x 30.000.000
|
Rp.15.000.000
|
Sdr pr seayh
|
1/6
|
1
|
1/6 x 30.000.000
|
Rp. 5.000.000
|
Sdr pr seibu
|
1/6
|
1
|
1/6 x 30.000.000
|
Rp. 5.000.000
|
5
|
Jumlah
|
Rp. 25.000.000,-
|
Jadi ada kelebihan harta sebanyak Rp. 5.000.000,-
>> Jika diselesaikan dengan cara radd
Ahli Waris
|
Bag.
|
AM (6-5)
|
HW Rp. 30.000.000,-
|
Penerimaan
|
Sdr pr skd
|
1/2
|
3
|
3/5 x 30.000.000
|
Rp.18.000.000
|
Sdr pr seayh
|
1/6
|
1
|
1/5 x 30.000.000
|
Rp. 6.000.000
|
Sdr pr seibu
|
1/6
|
1
|
1/5 x 30.000.000
|
Rp. 6.000.000
|
5
|
Jumlah
|
Rp. 30.000.000,-
|
Untuk lebih memperjelas
masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contoh kasusnya:
Seseorang wafat dan
meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut:
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan
suami dan istri:
Pokok masalahnya dari enam,
dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari jumlah bagian yang ada).
Bagian nenek seperenam (1/6)
berarti satu bagian.
Bagian kedua saudara
perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.
Ilustrasi kedua menyertakan
suami atau istri:
Pokok masalahnya dari empat,
yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu
istri.
Bagian istri seperempat
(1/4) berarti memperoleh satu bagian.
Sisanya, yakni tiga bagian,
merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat kedua
ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian
dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti
tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
Kemudian bila istri mendapat
bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian.
Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya
tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua
itu sebagai pokok masalah.
Contoh lain: seseorang wafat
meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu.
Pada ilustrasi pertama
--tanpa menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari enam, dan dengan
ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian yang ada.
Sedangkan dalam ilustrasi
kedua --menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari delapan, karena
merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-kan, yakni istri.
Apabila istri mengambil
bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya tujuh per delapan (7/8), dan
sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secara fardh dan radd.
Seperti kita ketahui bahwa
antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian langkah berikutnya kita
kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok masalah pertama (lima). Maka
hasil perkalian antara kedua pokok masalah itu adalah pokok masalah bagi kedua
ilustrasi tersebut.
Kini, setelah kita kenali
pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, maka bagian istri adatah seperdelapan
dari empat puluh bagian yang ada, berarti ia mendapat lima (5) bagian.
Bagian kedua anak perempuan
dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri --yang tersisa tiga puluh lima
(35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut: bagian kedua anak perempuan
adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam ilustrasi pertama) dengan
tujuh (yang merupakan sisa bagian pada ilustrasi kedua) berarti dua puluh
delapan (28) bagian.
Adapun bagian ibu adalah
hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama (satu bagian) dengan
tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi kedua) berarti tujuh (7)
bagian.
Jadi, dari jumlah
keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak perempuan, ditambah
bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40:
GHARAWAIN
Gharawain artinya dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang
cara penyelesaiannya yaitu :
Pembagian warisan jika ahli warisnya suami, ibu dan bapak
Pembagian warisan jika ahli warisnya istri, ibu dan bapak
A. Al-Gharawain (umariyatin) dan penyelesaiannya
Gharawain, bentuk tasniyah dari lafadz ghara (binatang cemerlang).
Itu disebut demikian karena kemasyhurannya bagaikan bintang yang cemerlang.
Nama lain dari gharawain adalah Umariyatin karena cara penyelesaiannya tersebut
diperkenalakan oleh Umar bin Khattab r.a.[1]
Masalah gharawain adalah salah satu bentuk masalah dalam kewarisan
yang pernah diputuskan oleh Umar dan diterima oleh mayoritas sahabat dan
diikuti oleh jumhur ulama. Masalah ini terjadi waktu penjumlahan beberapa
furudh dalam satu kesus kewarisan yang hasilnya tidak memuaskan beberapa
pihak.[2]
Masalah gharawain terjadi hanya dalam dua kemungkinan, yaitu
sebagai berikut:
1. Jika seorang yang meninggaldunia memiliki ahli waris suami,
ibu, dan ayah
2. Jika seorang meninggal memiliki ahli waris istri, ibu, dan ayah
Yang dimaksud ahli waris disini adalah ahli waris yang tidak
terhijab karena boleh jadi ahli waris lain masih ada tetapi terhijab oleh ayah.
Dengan demikian, untuk menentukan apakah suatu kasus warisan itu
merupakan kasus gharawain atau tidak, terlebih dahulu harus ditentukan siapa
saja yang menjadi ahli waris orang yang meninggal, kemudian siapa yang
terhijab, dan ternyata ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan, yaitu
suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah.
Apabila ahli waris yang berhak untuk mendapatkan bagian warisan
hanya terdiri atas suami, ibu, dan ayah, atau istri, ibu, dan ayah, dapat
dipastikan bahwa persoaln warisan tersebut adalah persoalan yang khusus yang
diistilahkan dengan gharawain.[3]
Penyelesaian kasus gharawain tidaklah seperti penyelesaian
kasus-kasus kewarisan pada umumnya. Apabila diselesaikan secara biasa, hasilnya
sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 6 = 2
Ayah ¼ ¼ x 6 = 1 (asabah: 6-5 = 1)
Apabila penyelesaian dengan seperti diatas, terlihat bahwa
hasilnya untuk ibu adalah 1/3 x 6 = 2, sedangkan ayah hanya memperolah 1.
Padahal semestinya pendapatan ayah harus lebih besar daripada pendapatan ibu.
Disamping itu, ayah selain sebagai ashabul furud juga merupakan ahli waris yang
berhak menerima bagian dengan asabah.
Jadi, persoalan gharawain ini terletak pada penerimaan ibu yang
lebih besar daripada penerimaan ayah. Untuk menghilangkan kejanggalan ini,
haruslah diselesaikan secara khusus, yaitu penerimaan ibu bukanlah 1/3 harta
peninggalan, melainkan hanya 1/3 dari sisa harta peninggalan.
Ada perbedaan pendapat diantara para ulama faradiyun dalam masalah
ini.
1. Menurut Umar r.a, yang kemudian diikuti pleh para sahabat,
seperti Usman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, serta para ahli ra’yi dan para
ahli fuqaha, seperti Al-Hasan, As-Saury, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, ibu
menerima bagian 1/3 sisa. Dengan demikian, penyelesaiannya adalah sebagai
berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 sisa 1/3 x (6-3) = 1
Ayah Asabah 6-4 = 2
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ¼ ¼ x 4 = 1
Ibu 1/3 sisa 1/3 x (4-1) = 1
Ayah Asabah 4-2 = 2
Mereka berpendapat demikian dengan mengemukakan alas am sebagai
berikut:
1. Rangkaian kalimat فلأ مه الثلث dalam firman Allah SWT. Surat
An-Nisa ayat 11, maksudnya adalah sepertiga peninggalan, baik seluruh harta
peninggalan atau sebagiannya. Andaikan tidak mengacu pada pengertian demikian,
niscaya firman Allah SWT. وورثه ابوه tidak berarti apa-apa. Ketika menerangkan
bahwa jika yang mewarisi hanya ibu dan ayah saja, Allah menjelaskan bagian ibu,
yaitu 1/3 nya, yang berarti 1/3 harta yang diwarisi oleh ibu dan ayah. Jadi,
sekiranya ibu dan ayah tidak bersama-sama dengan suami atau istri, mereka
mendapat hak atas seluruh harta penunggalan sehingga bagian ibu pun, adalah 1/3
seluruh harta peninggalan. Apabila ibu dan ayah mewarisi bersama-sama denagn
salah seorang suami istri, bukan seluruh harta peninggalan yang dijadikan hak
oleh keduanya, melainkan sisa setelah diberikan kepada salah seorang suami
istri, ibu hanya menerima 1/3 sisa harta peninggalan.
Sesuai dengan nash Al-Qur’an, bila ahli warisnya hanya ibu dan
ayah saja, ibu mendapat bagian 1/3 secara fard dan ayah menerima sisanya, yaitu
2/3, dengan perbandingan 1:2. ketentuan ini tidak berlaku bila ibu-ayah
mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami istri. Kalau ini dijalankan,
bagian ibu tentumelebihi dari separuh bagian ayah.
Dalam maslah pertama, ibu mendapat 1/3 dari asal masalah 6 = 2,
sedangkan ayah hanya mendapat sisanya, yaitu 6-3-2 = 1.
Dalam masalah kedua, ibu menerima 1/3 dari asal masalah 12 = 4,
sedangkan ayah hanya menerima 12-3-4 = 5.
Jadi, perbandingan penerimaan saham ibu dengan ayah dalam masalah
pertama
= 2:1, dan perbandingan penerimaan saham ibu dengan ayah dalam
maslah kedua = 4:5, yang demikian ini bertentangan dengan nash.
2. Ibnu Abbas r.a, berpendapat bahwa ibu dalam kedua masalah
tersebut mendapat bagian 1/3 harta peninggalan. Oleh karena itu, penyelesaiannya
adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 6 =2
Ayah Asabah 6-5 =1
Ahli Waris Fard Asal masalah: 12 sahamnya
Suami ¼ ¼ x 12 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 12 = 4
Ayah Asabah 12-7 = 5
3. Ibnu Sirin dan Abu Tsaur mengatakan bahwa dalam masalah
pertama, suami bersama-sama dengan ibu dan ayah maka ibu mendapat 1/3 sisa
harta peninggalan. Adapun dalam masalah yang kedua, istri bersama-sama ibu dan
ayah, maka ibu mendapatkan 1/3 harta peninggalan, seperti pendapat Ibnu Abbas
r.a, sehingga penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/3 sisa 1/3 x (6-3) = 1
Ayah Asabah 6-4 =2
Ahli Waris Fard Asal masalah: 12 sahamnya
Suami ¼ ¼ x 12 = 3
Ibu 1/3 1/3 x 12 = 4
Ayah Asabah 12-7 = 5
dua masalah tersebut berasal dari Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin
Tsabit. Kemudian disepakati oleh jumhur
fuqaha. Dua hal tersebut diatas dianggap sebagai masalah karena jika di bagi
dengan perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil dari pada ibu. Untuk
itu dipakai pedoman penghitungan khusus sebagaimana dibawah ini :
untuk masalah pertama maka bagian masing-masing adalah suami 1/2,
ibu 1/3 sisa (setelah diambil suami) dan bapak ‘ashobah. Misalkan harta
peninggalannya adalah Rp. 30.000.000,-. Maka cara pembagiannya dalah sebagai
berikut :
suami 1/2 x Rp. 30.000.000,-
= Rp. 15.000.000,- sisanya adalah Rp. 15.000.000,-
ibu 1/3 x Rp.15.000.000,-
= Rp. 5.000.000,-
Bapak (‘ashobah) = Rp. 10.000.000,-
Jumlah = Rp.
30.000.000,-
(dan begitu pula untuk pembagian pada masalah ke-2 yakni dengan
ahli waris istri 1/4, ibu 1/3 sisa (setelah diambil hak istri) dan bapak ‘
ashobah )
MUSYARAKAH
Musyarakah atau Musyarikah ialah yang diserikatkan. Yaitu jika
ahli waris yang dalam perhitungan mawaris memperolah warisan akan tetapi tidak
memperolehnya, maka ahli waris tersebut disyarikatkan kepada ahli waris lain
yang memperolah bagian.
Masalah ini terjadi pada ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2
orang saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung, yang jika dihitung menurut
perhitungan semestinya mengakibatkan saudara laki-laki sekandung tidak
memperoleh warisan. Dalam masalah ini. Menurut Umar, Utsman, dan Zaid yang
diiuti oleh Imam Tsauri, Syafe’i dan lain-lain, pembagian tersebut tidak adil.
Al-Musyarakah dan penyelesaiannya
Persoalan musyarakah juga merupakan persoalan yang khusus untuk
menyelesaikan persoalan warisan antara saudara-saudara seibu (baik laki-laki
maupun perempuan sama saja) dengan saudara laki-laki sekandung. Untuk lebih
jelasnya dapat dikemukakan bahwa kasus Al-Musyarakah ini terjadi apabila ahli
waris terdiri atas:
1) Suami
2) Ibu atau nenek
3) Saudara laki-laki sekandung
4) Saudara seibu lebih dari seorang
Untuk menyelesaikan masalah musyarakah, perhatikanlah contoh
berikut:
a. Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas suami, ibu, dua
saudara perempuan seibu, dan lima saudara laki-laki sekandung.
Dalam kasus tersebut, fard masing-masing adalah :
Suami ½
Ibu 1/6 (ada saudara lebih dari seorang)
2 sdri pr seibu
4 = 1/3 (karena lebih dari seorang)
2 sdr lk seibu
5 sdr lk sekandung asabah binafsih
Kalau didasarkan pembagian secara biasa, hasilnua adalah sebagai
berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
2 sdri pr seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
2 sdr lk seibu
5 sdr lk sekandung asabah binafsih = habis
Dari penyelesaian diatas, tampak terlihat bahwa saudara seibu
memperoleh warisan, sedangkan saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh
bagian karena tidak ada sisa pembagian.
Penyelesaian kasus seperti ini tentu merupakan suatu kejanggalan
karena ahli waris yang hanya merupakan saudara seibu mendapat bagian, sedangkan
saudara yang sekandung tidak memperoleh bagian sama sekali. Bukankah saudara
seibu dan saudara sekandung lahir dari ibu yang sama?
Oleh karena itu, saudara laki-laki yang seibu dan seayah
menyampaikan keberatannya atas penyelesaian dengan cara biasa ini dengan
mengemukakan alasan sebagai berikut:
“ Anggaplah bapak kami himar (keledai) atau hajar (batu), namun
ibu kami adalah sama, maka tidaklah pantas kalau saudara seibu mendapatkan
bagian, sedangkan kami yang mempunyai ibu sama tidak mendapat bagian.” Itulah
sebabnya kasus seperti ini disebut juga dengan istilah himariyah atau
hijariyah.
Untuk mengatasi persoalan ini, dibagilah harta warisan secara
khusus, yaitu mensyariatkan seluruh saudara, antara saudara seibu dan saudara
laki-laki sekandung. Dalam hal ini, saudara laki-laki sekandung digabungkan
dengan saudara seibu. Bagian mereka digabungkan tanpa dibedakan antara
laki-laki dan perempuan, sebab ahli waris saudara seibu, tidak dibedakan lagi
antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, penyelesaian masalah musyarakah ini adalah
sebagai berikut:
Ahli Waris Fard Asal masalah:(x9) Tashih
6 sahamnya masalah=54
Suami ½ ½ x 6 = 3 3 x 9 = 27
Ibu 1/6 1/6 x 6 =1 1 x 9 = 9
2 sdri pr seibu (x9)
2 sdr lk seibu 1/3 1/3 x 6 = 2 9 x 2 =18
5 sdr lk sekandung
Mencari sah masalah (tashih):
Jumlah Adadur Ruus dibagi saham = 18 : 2 = 9 (tabayun)
Tashih masalah: 6 x 9 = 54
Seluruh saudara memperoleh: 9 x 2 = 18
1 saudara memperoleh: 1 x 18/9 = 2
Kemungkinan, masalah musyarokah itu banyak sekali, namun harus
memenuhi syarat, yaitu jika ahli waris (setelah selesai halang menghalangi)
terdapat:
1. Suami
2. Ibu atau nenek
3. Saudara seibu dari seorang (baik laki-laki maupun perempuan)
4. Saudara laki-laki sekandung
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi
musyarakah. Perlu diketahui bahwa saudara perempuan sekandung tidak menjadi
persyaratan. Ini karena apabila saudara laki-laki itu tidak ada, saudara
perempuan sekandung akan menjadi ashobah bil ghair. Begitu pula apabila saudara
seibu hanya satu orang tidak terjadi musyarokah karena akan ada sisa harta
(untuk ahli waris ashobah).
b. Seorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas:
1 suami
2 saudara laki-laki ayah sekandung
3 saudara perempuan ayah sekandung (dzawil arham)
2 saudara perempuan ayah sekandung (dzawil arham)
2 saudara angkat (bukan ahli waris)
5 saudara perempuan seibu
2 saudara laki-laki seibu
3 saudara laki-laki sekandung
2 saudara laki-laki seayah
1 ibu
1 nenek
Dalam kasus tersebut, setelah dikerjakan sesuai dengan
tahapan-tahapannya (penentuan ahli waris, hijab, ashobah), ternyata ahli waris
yang berhak menerima hanya terdiri atas: suami, ibu, saudara seibu, saudara
laki-laki sekandung.
Komposisi ahli waris tersebut sudah memenuhi syarat unuk
terjadinya musyarokah walaupun saudara perempuan sekandung tidak ada (saudara
perempuan tidaklah menjadi syarat untuk terjadinya musyarokah).
Untuk menyelesaikan kasus ini, perlu kehati-hatian sebab secara
sepintas persoalan ini bukanlah kasus istimewa dan bisa diselesaikan seperti
halnya penyelesaian kasus biasa. Padahal semestinya penyelesainnya harus
dilakukan secara khusus, yaitu melalui penyelesaian musyarokah.[4]
Penyelesaian biasa:
Ahli Waris Fard Asal masalah: 6 sahamnya
Suami ½ ½ x 6 = 3
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1
sdri pr seibu
1/3 1/3 x 6 = 2
sdr lk seibu
sdr lk sekandung asabah binafsih = habis
Dengan cara penyelesaian biasa ini, terlihat bahwa saudara
laki-laki sekandung tidak memperoleh bagian sama sekali, sebab tidak ada sisa.
Sebaliknya saudara seibu baaik yang laki-laki maupun perempuan memperoleh
bagian, tentu penyelesaian seperti ini adalah penyelesaian salah. Penyelesaian
dengan musyarokah:
Ahli Waris Fard Asal masalah:(x5) Tashih
6 sahamnya masalah=30
Suami ½ ½ x 6 = 3 3 x 5 = 15
Ibu 1/6 1/6 x 6 =1 1 x 5 = 5
5 sdri pr seibu (x5)
2 sdr lk seibu 1/3 1/3 x 6 = 2 2x 5 =10
3 sdr lk sekandung
Mencari sah masalah (tashih):
Jumlah Adadur Ruus dibagi saham = 10 : 2 = 5 (tadakhul)
Tashih masalah: 6 x 5 = 30
Hasil akhir:
Suami : 15/30 = ½ dari harta warisan
Ibu : 5/30 = 1/6 dari harta warisan
10 saudara : 10/30 = 1/3 dari harta warisan
1 saudara : 1/30 dari harta warisan
Maka, untuk pemecahannya saudara kandung disyarikatkan dengan
saudara seibu didalam baigiannya yang 1/3. sehingga penyelesaian tersebut dapat
diketahui dalam pembagian berikut :
Suami 1/2 = 3/6 = 3
Ibu 1/6 = 1/6 = 1
Dua orang saudara seibu dan saudara (lk) sekandung 1/3 = 2/6 = 2
Jumlah = 6.
Bagian saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung dibagi rata,
meskipun diantara mereka ada ahli
waris laki-laki maupun perempua
HAK WARIS DZAWIL ARHAM
A. Definisi Dzawil Arham
Arham adalah bentuk jamak
dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti 'tempat
pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian dikembangkan menjadi
'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian
ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka.
Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat',
baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allah berfirman:
"... Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu. " (an-Nisa': 1)
"Maka apakah kiranya
jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan
kekeluargaan?" (Muhammad: 22)
Rasulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa yang
berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya, maka
hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Adapun lafazh dzawil arham
yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai
bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah, dan bukan
pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang
bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham
adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka
tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula secara 'ashabah.
Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki
ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak
perempuan, dan sebagainya.
B. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil
Arham
Para imam mujtahid berbeda
pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan
pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini
ada dua penapat:
Pertama: golongan ini
berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris.
Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh
atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal
kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya.
Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil
arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a.
dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat
dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.
Kedua: golongan kedua ini
berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada
ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima harta pewaris. Lebih jauh
golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham adalah lebih berhak untuk
menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan
dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan untuk menerima harta
tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya
Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat
Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.
Adapun dalil yang dijadikan
landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan pertama) ialah:
1. Asal pemberian hak waris
atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash syar'i dan qath'i dari
Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash yang pasti dan
kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila
kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan
hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat
Islam adalah batil.
2. Rasulullah saw. ketika
ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupun dari ibu-- beliau
saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa
dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun."
Memang sangat jelas betapa
dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun saudara perempuan ibu
dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak untuk menerima
harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak
dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi
tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah
tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik
pengertian bahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para
bibi, maka tidak pula kepada kerabat yang lain.
3. Harta peninggalan, bila
ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik dari ashhabul
furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmal akan dapat
mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan
kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan
dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang
merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa
kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas
dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang
tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para kerabat.
Adapun golongan kedua, yakni
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham atau para
kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:
"... Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
Makna yang mendasar dari
dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan menegaskan dalam
Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak
waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah
umum, termasuk ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek
kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih
umumnya hubungan darah.
Ayat tersebut seolah-olah
menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun mereka, baik ashhabul furudh,
para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalah yang lebih berhak untuk
menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat
dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka berikanlah harta waris itu
kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah
maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang
baitulmal.
Hal ini juga berdasarkan
firman-Nya yang lain:
"Bagi laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak
bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisa': 7)
Melalui ayat ini Allah SWT
menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk menerima warisan
yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang
disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para
kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.
Kemudian sebagaimana
dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-mansukh (menghapus)
kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaum muslimin saling
mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang
dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh
karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima harta peninggalan
seorang pewaris.
Adapun dalil dari Sunnah
Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat masyhur, dalam
riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka
Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui
nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal
sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya
anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir.
Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu
Lubabah bin Abdul Mundzir.
Keponakan laki-laki dari
anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan dari
ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan pemberian Rasulullah
saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas dan pasti
bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak
mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para 'ashabah.
Dalam suatu atsar
diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin
Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal
bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang.
Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara
laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu
Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena
sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"(Saudara laki-laki
ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan atau
kerabat yang berhak untuk menerimanya."
Atsar ini --yang di dalamnya
Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.--- merupakan dalil yang kuat
bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang
baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan
pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan 'ashabah-nya,
maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul
Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin
Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengu tamakan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti
yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.
Adapun dalil logikanya
seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima
harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan
pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewaris seorang
muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan
dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan
rahim.
Oleh sebab itu, ikatan dari
dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah.
Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung laki-laki
dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang
dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab,
ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya
dari ayah.
Di samping itu, kelompok
kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik dan
Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas.
Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat
waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah.
Jadi, yang jelas --jika
melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawaban Rasulullah saw.
tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada
'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas
bertentangan.
Setelah membandingkan kedua
pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok
kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena memang merupakan pendapat
mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka
kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan
dengan kondisi kehidupan dewasa ini.
Sebagai contoh, kelompok
pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal ketimbang kerabat, sementara
di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal dengan persyaratan
khusus. Di antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya, adil, dan
amanah; adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam
menyalurkan harta baitulmal.
Maka muncul pertanyaan,
dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnya pada masa kita sekarang
ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu kecuali: "telah
lama tiada". Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-musuh
Islam berhasil memutus kelangsungan hidup khilafah Islam dengan
memporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian
membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan.
Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya:
"Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidak
mempunyai imam."
Melihat kenyataan demikian,
para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i mutakhir memberikan fatwa
dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah abad
ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga
terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kedua
kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakan
pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat
terlihat tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada,
dari mulai akhir abad ketiga Hijriah hingga masa kita dewasa ini.
C. Cara Pembagian Waris Para
Kerabat
Di antara fuqaha terjadi
perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat,
dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.
1. Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak
waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat
waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa
membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Misalnya, seseorang wafat
dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang
keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi
(saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki
seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa
melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan
sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau
membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal
pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan
seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialh bahwa seluruh ahli waris menyatu
haknya karena adanya ikatan kekerabatan.
Mazhab ini tidak masyhur,
bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para
imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan
telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam
disiplin ilmu mawarits.
2. Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini disebut
ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan
pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang
ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul
furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli
waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni
pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat
para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Untuk memperjelas pemahaman
tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti berikut:
Bila seseorang wafat dan
meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki
keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara
laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan
anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh
karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah
(1/2) bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian,
sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan
saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu ia mendapatkan
sisanya. Inilah gambarannya:
Anak kandung pr. 1/2, Sdr.
kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.
Seseorang wafat dan
meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan
perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan
saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara
laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan
saudara kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan
perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6)
sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunan saudara
perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh, dan sepupu
perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam (1/6) bagian
sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris
meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara
perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya:
Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr.
seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6
Begitulah cara pembagiannya,
yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada
pewaris.
Adapun yang dijadikan dalil
oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada
Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara
perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada
ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per
tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak
ibu).
Selain itu, juga
berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang
pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan
anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka
Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian
lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa
hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan
betapa kuatnya pendapat mereka.
Adapun dalih orang-orang
yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa
memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan
berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian
mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara
jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang
lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih
berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah
dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk
mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau
menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada
pewaris.
3. Menurut Ahlul Qarabah
Adapun mazhab ketiga
menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat
kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan
mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di antara
mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat
dan kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah
diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab
ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris
para 'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya
dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada.
Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian
laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
Mazhab ini merupakan
pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi.
Di samping itu, mazhab
ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat
golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan
keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang
tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah:
Orang-orang (ahli waris)
yang bernisbat kepada pewaris.
Orang-orang yang dinisbati
kekerabatan oleh pewaris.
Orang-orang yang bernisbat
kepada kedua orang tua pewaris.
Orang-orang yang bernisbat
kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris.
Yang bernisbat kepada
pewaris sebagai berikut:
Cucu laki-laki keturunan
anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
Buyut laki-laki dari
keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik
laki-laki ataupun perempuan.
Yang dinisbati oleh pewaris:
Kakek yang bukan sahih, dan
seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).
Nenek yang bukan sahih, dan
seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.
Yang bernisbat kepada kedua
orang tua pewaris:
Keturunan saudara kandung
perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun
perempuan.
Keturunan perempuan dari
saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya.
Keturunan dari saudara
laki-laki seibu dan seterusnya.
Yang bernisbat kepada kedua
kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:
Bibi (saudara perempuan
ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara
laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara
ayah) ibu.
Keturunan dari bibi (saudara
perempuan ayah), keturunan dari pamannya (saudara laki-laki ibu), keturunan
bibinya (saudara perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang
seibu, dan seterusnya.
Bibi dari ayah pewaris, baik
yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan
bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman
dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
Seluruh keturunan kelompok
yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan
perempuan dari bibi sang ayah.
Paman kakak yang seibu, dan
juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari
kakek dan nenek.
Seluruh keturunan kelompok
yang saya sebutkan di atas (Butir e) dan seterusnya.
Itulah keenam kelompok yang
bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris.
Perbedaan antara
Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah
Dari uraian-uraian
sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab
ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:
Ahlut-tanzil tidak menyusun
secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu
dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan
mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi nafsihi..
Dasar yang dianggap oleh
ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah "dekatnya
keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan
oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan
kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita
sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.
Cara Pembagian Waris Menurut
Ahlul Qarabah
Telah saya kemukakan bahwa
ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam pembagian hak
waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul
qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris
(anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah,
kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara
laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman
(dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang
sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah.
Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok
ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.
D. Syarat-syarat Pemberian
Hak Waris bagi Dzawil Arham
Tidak ada shahibul fardh.
Sebab, jika ada shahibul fardh, mereka tidak sekadar mengambil bagiannya,
tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd.
Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam
penerimaan waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham.
Tidak ada penta'shib
('ashabah). Sebab 'ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang ada, bila
ternyata tidak ada shahibul fardh. Dan bila ada shahibul fardh, maka para
'ashabah akan menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil hak para
shahibul fardh.
Namun, apabila shahibul
fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akan menerima hak
warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab
kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawil arham.
Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil arham.
Beberapa Catatan Penting:
Apabila dzawil arham (baik
laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahli waris, maka ia akan
menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan dengan salah satu
dari suami atau istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bila bersamaaan
dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai berikut:
Mengutamakan dekatnya
kekerabatan. Misalnya, pewaris meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari
keturunan anak perempuan, dengan anak cucu perempuan dari keturunan anak
perempuan, maka yang didahulukan adalah cucu perempuan dari anak perempuan.
Begitu seterusnya.
Apabila ada kesamaan pada
kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebih berhak untuk dintamakan adalah
yang paling dekat dengan pewaris lewat shahibul fardh atau 'ashabah. Misalnya,
seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki,
dan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan, maka yang lebih didahulukan
adalah cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki.
Dalam contoh ini, tampak ada
kesamaan derajat di antara kedua ahli waris, keduanya memiliki hubungan
kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai cucu. Hanya saja, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki bernasab kepada pewaris lewat ahli waris, sedangkan
cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan melalui dzawil arham.
Apabila segi derajat dan
kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslah mengutamakan mana yang lebih
kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak
perempuan dari saudara kandung laki-laki (yakni keponakan kandung) dengan anak
perempuan dari saudara laki-laki seayah (keponakan bukan kandung), maka dalam
keadaan seperti ini kita harus mengutamakan keponakan kandung, dan berarti
seluruh harta waris menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan
kandung lebih kuat kekerabatannya. Begitulah seterusnya.
Apabila dalam suatu keadaan
terjadi persamaan, maka pembagiannya dilakukan secara merata. Artinya, semua
ahli waris dari dzawil arham berhak menerima bagian. Misalnya, seseorang wafat
dan meninggalkan seorang anak perempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan
dari anak paman yang lain (kandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman
kandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini meninggalkan
tiga putri keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnya dibagi secara
merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki derajat yang sama dari segi
kekerabatan.
Catatan lain
Di antara persoalan yang
perlu saya kemukakan di sini ialah bahwa dalam pemberian hak waris terhadap
para dzawil arham , bagian laki-laki dua kali lebih besar bagian perempuan,
seperti halnya dalam pembagian para 'ashabah, sekalipun dzawil arham itu
keturunan saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.
HAK WARIS BANCI DAN WANITA
HAMIL
A. Definisi Banci
Pengertian al-khuntsa
(banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti 'lunak' atau
'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau
cara jalan seorang laki-laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok.
Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Allah SWT melaknat
laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki."
Adapun makna khanatsa
menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan
kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama
sekali. Keadaan yang kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil,
artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat
kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin
perempuan.
Kejelasan jenis kelamin
seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta
waris sesuai bagiannya.
Oleh karena itu, adanya dua
jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekali tidak ada-- -disebut
sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan,
kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya
dengan mencari tahu dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenya
keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris
sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina,
ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun,
bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara
berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan
tetap musykil hingga datang masa akil baligh.
Di samping melalui cara
tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan badannya, atau
mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan
perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi dewasa (maksudnya mimpi dengan
mengeluarkan air mani, penj.), apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh
payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila tanda-tanda
tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.
Dikisahkan bahwa Amir bin
adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu ketika
ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita
melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai
laki-laki dan perempuan.
Mendengar jawaban yang
kurang memuaskan itu orang-orang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima vonis
tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena
memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir
dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan
majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya,
dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah
dengan cara melihat dari mana keluar air seninya."
Amir merasa puas dengan
gagasan tersebut. Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis
yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai kaumku, lihatlah jalan
keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi
bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan." Ternyata vonis
ini diterima secara aklamasi.
Ketika Islam datang,
dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa
Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam keadaan
demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempat
keluarnya air seni."
B. Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci
Ada tiga pendapat yang
masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci musykil
ini:
Mazhab Hanafi berpendapat
bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih) sedikit bagiannya di antara
keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu pendapat
Imam Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.
Mazhab Maliki berpendapat,
pemberian hak waris kepada para banci hendaklah tengah-tengah di antara kedua
bagiannya. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan,
kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian
banci.
Mazhab Syafi'i berpendapat,
bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit.
Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris.
Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan
kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya.
Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi'i.
C. Hukum Banci dan Cara
Pembagian Warisnya
Untuk banci --menurut
pendapat yang paling rajih-- hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang
paling sedikit di antara dua keadaannya --keadaan bila ia sebagai laki-laki dan
sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya
dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu
di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya
berpindah kepada ahli warisnya.
Makna pemberian hak banci
dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha mawarits mu'amalah bil
adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka
hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai
sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai
laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus
ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam
Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya
dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai
laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak warisnya.
Beberapa Contoh Amaliah Hak
Waris Banci
1. Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, dan seorang anak
banci. Bila anak banci ini dianggap sebagai anak laki-laki, maka pokok
masalahnya dari lima (5), sedangkan bila dianggap sebagai wanita maka pokok
masalahnya dari empat (4). Kemudian kita menyatukan (al-jami'ah) antara dua
masalah, seperti dalam masalah al-munasakhat. Bagian anak laki-laki adalah
delapan (8), sedangkan bagian anak perempuan empat (4), dan bagian anak banci
lima (5). Sisa harta waris yaitu tiga (3) kita bekukan untuk sementara hingga
keadaannya secara nyata telah terbukti.
2. Seseorang wafat
meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara laki-laki banci. Pokok masalahnya
dari enam (6) bila banci itu dikategorikan sebagai wanita, kemudian di-'aul-kan
menjadi delapan (8). Sedangkan bila sang banci dianggap sebagai laki-laki, maka
pokok masalahnya dari enam (6) tanpa harus di- 'aul-kan. Dan al-jami'ah
(penyatuan) dari keduanya, menjadilah pokok masalahnya dua puluh empat (24).
Bagian suami enam (6),
saudara kandung perempuan enam (6) bagian, sedangkan yang banci tidak diberikan
haknya. Adapun sisanya, yakni dua (2) bagian dibekukan. Ini tabelnya:
D. Definisi Hamil
Al-hamlu (hamil) dalam
bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata hamalat. Dikatakan:
"al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (wanita itu
hamil apabila ia sedang mengandung janin).Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Kami perintahkan
kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)
..." (al-Ahqaf: 15)
Sedangkan menurut istilah
fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik laki-laki maupun
perempuan.
Dalam masalah hamil ini ada
beberapa hukum yang berkaitan dengan hak waris, dan pada kesempatan ini saya
hanya akan utarakan secara global. Hanya kepada Allah saya memohon pertolongan.
Pada pembahasan sebelumnya
--tentang persyaratan hak waris/mewarisi-- telah saya kemukakan bahwa salah
satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup)
ketika pewaris wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masih di dalam kandungan
ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat
diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi tersebut akan lahir selamat atau
tidak, laki-laki atau perempuan, dan satu atau kembar. Setelah bayi tersebut
lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalam keadaan
hidup pada saat pewaris wafat; demikian juga jika ia lahir dalam keadaan mati,
maka kita nyatakan bahwa ahli waris tidak ada ketika pewaris wafat.
Secara ringkas dapat
dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat diketahui dengan pasti
keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian waris yang
harus diterimanya. Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus
menunggu setelah bayi itu lahir.
Namun demikian, tidak
tertutup kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat --menyangkut
kemaslahatan sebagian ahli waris-- yang mengharuskan kita untuk segera membagi
harta warisan dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikan kepada
masing-masing ahli waris secara lengkap setelah kelahiran bayi. Berkaitan
dengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukum-hukum khusus secara rinci
dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris
yang ada.
E. Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam kandungan berhak
menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
Janin tersebut diketahui
secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat.
Bayi dalam keadaan hidup
ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang
berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat
terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya bayi dari
dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada
dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan
menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada dalam
falkah mighzal."
Pernyataan Aisyah r.a.
tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah saw.. Pernyataan
ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam
Ahmad.
Adapun mazhab Syafi'i dan
Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun.
Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang
disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Sedangkan persyaratan kedua
dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyata-nyata hidup. Dan tanda
kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut
menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut
mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi
tersebut.
Adapun menurut mazhab
Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan
hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya
kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang
dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia
tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.
"Apabila bayi yang baru
keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan
berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang
keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya
hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak
stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.
. Keadaan Janin
Ada lima keadaan bagi janin
dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:
Bukan sebagai ahli waris
dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki ataupun
perempuan.
Sebagai ahli waris dalam
keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli
waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci).
Sebagai ahli waris dalam
segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun perempuan.
Sebagai ahli waris yang
tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan.
Sebagai ahli waris tunggal,
atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya karena adanya
janin.
Keadaan Pertama
Seluruh harta waris yang ada
dibagikan kepada ahli waris yangada secara langsung, tanpa harus menunggu kelahiran
janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak termasuk
ahli waris dalam segala kondisi.
Sebagai misal, seseorang
wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri
pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu
pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya oleh adanya ayah
pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan kepada istri seperempat
(1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan sisanya
menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4).
Keadaan Kedua
Seluruh harta waris yang ada
dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin yang
dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagiannya
dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak
warisnya diberikan kepadanya. Namun, bila lahir dan ternyata bukan termasuk
dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli
waris yang ada.
Sebagai misal, seseorang
wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar perempuan yang
sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka pembagiannya seperti
berikut: istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya yang dua per tiga (2/3)
dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan itu lahir. Bila yang lahir
anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa harta yang
dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-laki
keturunan saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibanding
kedudukan paman kandung.
Namun, apabila yang lahir
anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak paman.
Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan saudara laki-laki) termasuk
dzawil arham.
Contoh lain, seseorang wafat
dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuan seibu, dan istri ayah yang
sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istri ayah tersebut
melahirkan bayi laki-laki, berarti menjadi saudara laki-laki seayah. Maka dalam
keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan waris, karena tidak ada sisa dari
harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada.
Namun, bila ternyata bayi
tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuan seayah, maka dalam hal
ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokok masalahnya dari enam (6)
di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudh menerima bagian
masing-masing, kita lihat sisanya yang menjadi bagian bayi yang masih dalam
kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa bagian yang dibekukan
menjadi bagiannya, namun bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa harta
waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada.
Sisanya tiga (3), untuk
sementara dibekukan hingga janin telah dilahirkan.
Keadaan Ketiga
Apabila janin yang ada di
dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya --hanya saja hak
waris yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki dan bisa perempuan)-- maka
dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan
untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk
kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh bagian daripada bayi
perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan
bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya
kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang
ada lebih sedikit dari bagian-bagian masing-masing.
Sebagai contoh, seseorang
wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam keadaan
demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki, berarti kedudukannya
sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam
(1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya
merupakan bagian anak laki-laki sebagai 'ashaloub.
Sisanya satu (1), dibekukan.
Keadaan Keempat
Bila bagian janin dalam
kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun perempuan, maka kita
sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli waris yang ada
secara sempurna.
Sebagai misal, seseorang
wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan
ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar
dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia
laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu
atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian, kedudukan bayi
akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua keadaannya, baik
sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Inilah tabelnya.
Keadaan Kelima
Apabila tidak ada ahli waris
lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan tetapi
mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita
tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut.
Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah yang akan mengambil hak
warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang ada
akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya.
Sebagai misal, seseorang
wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dan anak
laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam
kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki atau
perempuan. Karenanya, akan menggugurkan hak waris saudara laki-laki pewaris
yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti
kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan
begitu ia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai
'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan, maka ia sebagai cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapat bagian separo (1/2)
harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai tambahan (ar-radd)
bila ternyata tidak ada 'ashabah.
Contoh lain, seseorang wafat
dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudara kandung laki-laki. Maka
bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara laki-laki tidak mendapat
bagian bila janin yang dikandung tadi laki-laki. Akan tetapi, bila bayi
tersebut perempuan maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, anak
perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung
laki-laki sebagai 'ashabah.
Masyarakat Minangkabau
adalah berbeda secara geografis dengan masyarakat Sumatera Barat, karena
masyarakat Minagkabau kalau ditarik secara kultural meliputi sebagian dataran
kerinci dan sebagian jambi. Didalam hukum waris adat Minangkabau harta terbagi
atas dua macam:
Masalah waris di Indionesia
di minangkabau
1. Harta pusaka tinggi
2. Harta pusaka rendah
1. Harta pusaka tinggi adalah harta yang diperoleh
secara turun temurun yang tidak dapat dialihkan kepemilikannya, tetapi hanya
dapat dinikmati hasilnya untuk kepentingan bersama.
2. Harta pusaka rendah adalah harta yang
dapat diwariskan atau dialihkan kepemilikannya. Harta pusaka rendah bermacam-macam
jenisnya yaitu harta suarang, harta bawaan, harta pencarian. Contohnya adalah
tanah yang diperoleh sepasang suami istri sejak pernikahannya, mobil yang
dibawa kedalam perkawinan, dan lain-lain.
2. Abdul ghofur Anshori
dalam bukunya mengatakan Hukum Islam khususnya hukum kewarisan Islam dan
perubahan sosial merupakan dua konsep yang sepanjang sejarah perkembangan hukum
Islam mengalami diskursus diantara para ahli. Hukum Islam dianggap sebagai
hukum yang bersifat transendental dan karenanya dianggap abadi.2 Ada dua
kelompok pendapat dari ahli hukum Islam bagaimana hukum Islam yang bersifat
transendental tersebut menghadapi tantangan perubahan sosial atau budaya dalam
masyarakat yaitu:
1. Kelompok yang berpendapat bahwa hukum
Islam tidak dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Pandangan ini beralasan
karena dilihat dari sisi konsep, sifat dan metodologinya hukum Islam adalah
hukum yang abadi. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar orientalis dan
kebanyakan tradisionalis Islam.
2. Kelompok yang berpendapat bahwa hukum
Islam dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Kelompok ini beralasan karena
dalam hukum Islam dikenal prinsip maslahah (human good), fleksibilitas hukum
dan ijtihad.
Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya tentang
hukum waris Islam mengatakan bahwa meskipun Al quran dan sunnah Rasul telah
memberi ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa
hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang belum diatur
didalam Al quran dan Sunnah Rasul. Menurut KH. Ahmad Azhar Baasyir, MA dalam
bukunya tentang hukum waris Islam, bahwa hukum waris Islam mempunyai prinsip
yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah
antara memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta
peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendaki, seperti yang
berlaku dalam kapitalisme/individualisme, dan melarang sama sekali pembagian
harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui
hak milik perorangan yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem warisan.
2. Warisan adalah ketetapan hukum. Yang
mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan
tanpa perlu pada pernyataan menerima dengan sukarela atau dengan keputusan
hakim. Namun tidak berarti bahwa ahli waris dibebani dengan melunasi hutang
mayyit (pewaris)
3. Warisan terbatas dalam lingkungan
keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan
nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan si
mayyit (pewaris) lebih diutamakan
daripada yang lebih jauh; yang lebih kuat hubungannya dengan mayyit (pewaris)
lebih diutamakan daripada yang lemah. Misalnya ayah lebih diutamakan daripada
kakek, dan saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara seayah.
4. Hukum waris Islam lebih cenderung
membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan membagikan
bagian tertentu kepada beberapa ahli waris, misalnya apabila ahli waris terdiri
dari ayah, ibu, atau istri dan anak-anak, mereka semua berhak atas harta
warisan.
5. Hukum Islam tidak membedakan hak anak
atas harta warisan. Anak yang sudah besar, yang masih kecil atau yang baru saja
lahir, semuanya berhak atas harta warisan orang tuanya. Namun perbedaan besar
kecilnya bagian diadakan sejalan dengan perbedaan besar kecil beban kewajiban
yang harus ditunaikan dalam keluarga. Misalnya anak laki-laki yang memikul
beban tanggungan nafkah keluarga mempunyai hak yang lebih besar daripada anak
perempuan yang tidak dibebani tanggungan nafkah keluarga.
6. Hukum waris Islam membedakan besar
kecilnya bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam
hidup sehari-hari disamping memandang jauh dekat hubungannya dengan mayyit
(pewaris).
3. Sulaiman Abdullah dalam bukunya Sumber
hukum Islam, permasalahan dan fleksibilitasnya mengatakan bahwa Sumber hukum
Islam sesungguhnya bagaikan mata air yang tak pernah kering bahkan memiliki
deposit yang mampu menyirami setiap perkembangan hukum yang memenuhi tuntutan
keadilan dan kepentingan/mashlahat umat sepanjang masa yang berbeda dan tempat yang berlainan budaya.
4. Syafruddin Halimy
Kamaluddin mengatakan suatu yang kontras melihat semangat pengamalan ajaran
agama (Islam) masyarakat Minangkabau. Ungkapan orang Minang adalah umat Islam
ada benarnya. Kalau mereka orang Minang berarti Islam. Akan tetapi, uniknya
semangat pengamalan keagamaan tersebut menimbulkan pertanyaan besar. Penilaian
itu semakin kuat dimana di Minangkabau terlahir tokoh-tokoh (ulama) Islam
ternama di pentas nasional maupun internasional. Seperti nama Syeik Ahmad
Khatib al-Minangkabawi (imam masjid al-haram, Mekkah), M. Natsir, HAMKA, Agus
Salim dan lain-lain. Mencermati hal
demikian, menanggapi keber-agamaan orang Minang dapat dikelompokkan kepada
beberapa bagian:
a. Kelompok ulama radikal. Ini diwakili oleh
Syeik Ahmad Khatib mengatakan bahwa masyarakat Minangkabau baru Islam pada
kulit-kulitnya saja, tidak sempurna, meniadakan satu bagian penting aspek
hukum.
b. Kelompok ulama moderat diwakili oleh buya
HAMKA. Gerakannya ialah reformasi adat,
tapi tidak menolak secara keseluruhan. Pola yang dipakai adalah pendekatan
dakwah, pendidikan, persuasif, dan lontaran ide-ide.
c. Kelompok pembela adat dan mengklaim bahwa
adat Minangkabau sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka
mengatakan adat Minangkabau adalah Islami, lebih Islam dari bangsa lain.
d. Kelompok terakhir adalah kelompok yang
ragu-ragu. Mayoritas masyarakat terpelajar. Diyakininya hukum Islam berbeda
dengan hukum adat Minangkabau. Sayangnya mereka belum bisa berbuat banyak dan
cenderung mengamini pengamalan keagamaan umat. Termasuk kelompok manakah yang
membela sistem pewarisan hukum adat dan berpendapat sistem pewarisan sudah
sesuai dengan hukum Islam secara komunal (tanah harta pusak tinggi), akan
dikaji dalam tesis ini secra rinci
4. Orang Minangkabau secara umum menolak
agama Kristen, meskipun hingga kini berdiri Gereja-gereja di beberapa kota di
Sumatera Barat, itu tidak lain hanya diperuntukkan bagi warga Nasrani di tanah
Minang sebagai toleransi beragama, Namun demikian, palang salib gagal mendobrak
palang pintu rumah gadang, suatu realiti sejarah yang tidak boleh dinafikan. Di
pertengahan abad ke-20, komunisme pun sempat menjadi tamu, namun ia sekadar
meminjam semangat redikalismenya dalam mencapai kemerdekaan, kemudian dihalau
setelah ”biduak sampai ka pulau”. Jejak ateisme itu dikikis habis dari tanah
Minang. Muncul satu pertanyaan, apa sebab agama-agama dan ideologi yang pernah
singgah di Minangkabau ditolak kecuali Islam? Jawabannya tidak lain dan tidak
bukan; hanya Islamlah satu-satunya ajaran yang mempunyai persamaan pandangan
dengan falsafah ajaran Minangkabau. Dalam hal ini sistem pewarisan tanah harta
pusaka tinggi apakah sudah sesuai dengan sistem pewarisan yang diajarkan dalam
Al quran dan sesuai dengan sumber hukum Islam, akan dikaji dan diteliti untuk
lebih hati-hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar